Warga yang terkena dampak perubahan iklim kini menggugat pemerintah di lebih dari 30 negara Eropa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa dalam tiga kasus terpisah. Tuduhannya, negara dinilai lamban dalam bertindak sehingga melanggar HAM mereka.
Ini merupakan kasus pertama yang disidangkan di Pengadilan HAM di Strasbourgh, Prancis dan vonisnya bisa memerintahkan pemerintah tergugat untuk memangkas emisi karbon dioksida lebih cepat lagi dari yang direncanakan saat ini. Berikut apa dan bagaimana kasus tersebut, seperti ditulis Reuters, Jumat (24/3).
Apa saja tiga kasus itu?
Kasus pertama akan disidangkan Rabu mendatang (29/3) yang fokusnya pada dampak kesehatan dari gelombang panas akibat perubahan iklim. Kasus ini diajukan oleh ribuan wanita lansia Swiss terhadap pemerintah Swiss sebagai bagian dari pertarungan hukum selama enam tahun.
Pada Rabu itu juga, pengadilan akan menggelar sidang yang diajukan oleh Damien Carême, anggota {arlemen Eropa dari partai Hijau Prancis, yang menentang penolakan Prancis untuk mengambil langkah-langkah mengatasi perubahan iklim yang lebih ambisus.
Kasus ketiga, yang akan disidangkan setelah musim panas, diajukan oleh enam pemuda Portugis, yang akan menghadapi pengadilan di 33 negara — termasuk seluruh 27 anggota Uni Eropa, Inggris, Norwegia, Rusia, Swiss, Turki dan Ukraina.
Mereka juga berdalih negara-negara tersebut teah melanggar HAM mereka dan harus diperintahkan untuk mengambil tindakan yang lebih ambisius untuk mengatasi perubahan iklim. Sebanyak enam kasus iklim lainnya juga sedang menunggu keputusan.
HAM apa yang dilanggar?
Kasus-kasus ini akan jadi yang pertama kalinya buat Pengadilan HAM untuk mempertimbangkan apakah kebijakan mengenai perubahan iklim, jika dianggap terlalu lemah, bisa melanggar HAM warga yang diabadikan dalam Konvensi Eropa.
Kaum wanita lansia Swiss berpendapat, kegagalan memangkas emisi CO2 yang sesuai dengan jalan yang telah ditetapkan untuk membatasi pemanasan global 1,50 Celsius, maka pemerintah Bern melanggar hak mereka untuk hidup.
Kasus ini mengutip hasil penelitian Panel Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim PBB (IPCC) — yang menemukan dengan tingkat kepercayaan sangat tinggi bahwa wanita dan warga lansia merupakan orang-orang dengan risiko tertinggi mengalami kematian akibat kenaikan suhu selama gelombang panas — dan menggunakan catatan medis para penggugat untuk menunjukkan kerentanan mereka.
Sementara gugatan Carême, yang dilakukan sejak 2019 ketika dia masih jadi walikota Grande-Synthe di utara Prancis, akan menilai apakah tindakan pemerintah yang tidak cukup memadai bisa dianggap melanggar hak untuk hidup, karena membuat rumah-rumah warga terkena risiko iklim.
Dalam kasusnya itu, Dewan Negara Prancis telah memerintahkan Paris untuk mengambil langkah-langkah tambahan untuk memangkas emisi CO2 sebanyak 40% dari level 1990 pada tahun 2030.
Carême kini akan meminta pengadilan Strasbourg untuk menilai apakah kegagalan pemerintah melakukan tindakan lebih banyak lagi guna mengatasi perubahan iklim melanggar haknya atas kehidupan dirinya dan keluarganya.
Sedangkan gugatan para pemuda Portugis — yang rentang usianya dari pra-remaja sampai awal 20-an — juga berpendapat bahwa 33 negara sudah gagal bersepakat untuk menahan emisi dengan cukup cepat untuk membatasi pemanasan global 1,5C. Mereka berdalih bahwa hak hidup mereka terancam oleh dampak yang dipicu perubahan iklim, seperti kebakaran lahan dan hutan (karhutla), dan kegagalan untuk mengatasi diskriminasi perubahan iklim terhadap kaum pemuda yang justru akan terpukul paling keras.
Salah satu pemuda yang menggugat telah mengalami pencegahan masuk sekolah karena jumlah kabut asap yang disebabkan oleh karhutla, sementara yang lainnya menggubat karena kebun kelompok mereka tertutup abu karhutla.
Apa pertaruhan pemerintah?
Hasil dari kasus-kasus gugatan di Pengadilan HAM Eropa ini bisa memiliki riak efek yang lebih luas, baik adanya dukungan atau rongrongan dari kemungkinan gugatan kasus yang sama yang di menangkan di masa datang — baik di pengadilan nasional ataupun di Strasbourg.
Kemenangan gugatan juga memperkuat lebih banyak aktivis dan warga untuk mengajukan gugatan yang sama terhadap pemerintah — atau sebaliknya juga, kekalahan para penggugat akan memberi dampak buruk terhadap klaim serupa.
Sekitar delapan negara telah masuk ke proses persidangan Swiss sebagai pihak ketiga — sebuah langkah yang menunjukkan betapa pentingnya kasus ini untuk mereka.
Sebanyak 33 negara dalam kasus gugatan pemuda Portugis juga sudah mencoba, meski gagal, menghentikan pengadilan jalur cepat kasus mereka.
Banyak negara tergugat berdalih kasus ini tidak dapat diterima, seraya menyebut kasus itu bukan tugas Strasbourg menjadi “mahkamah agung” untuk urusan lingkungan atau menegakkan perjanjian iklim, kata Swiss.
Apa keputusan pengadilan?
Fakta bahwa ketigas kasus itu semuanya dirujuk langsung ke majelis tinggi pengadilan — Grand Chamber — maka itu dipandang signifikan karena hanya kasus-kasus yang menimbulkan pertanyaan serius tentang penafsiran Konvensi saja yang dikirim ke sana.
Sudah ada beberapa kasus di mana pengadilan nasional digelar terkait dugaan pelanggaran hak warga terkait dengan perubahan iklim, terutama kasus “Urgenda” di Belanda tahun 2019. Dalam kasus ini, Pengadilan Tinggi Belanda memerintahkan pemerintah untuk mempercepat rencana pengurangan emisi gas rumah kaca, seraya mengatakan apa yang telah dilakukan tidak cukup untuk melindungi warga dari dampak berbahaya perubahan iklim.
Pengadilan HAM Eropa biasanya menangani kasus-kasus dalam waktu tiga tahun, meskipun bisa saja lebih cepat, paling tidak sejak kasus Swiss yang berstatus prioritas.
Kasus Swiss ini meminta pengadilan untuk memerintahkan pemangkasan emisi secara mendalam dalam tiga tahun yang akan menjamin levelnya menjadi “negatif” versus 1990 level pada tahun 2030.
Panel 17 hakim akan memutuskan kasus-kasus tersebut dan hasilnya tidak bisa dibanding. AI