Pemerintah membangun kawasan pangan atau Food Estate (FE) di antaranya di Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara. Pembangunan FE tidak lain untuk menyediakan pangan masa depan.
Hal ini penting, mengingat areal sawah, terutama di Pulau Jawa, banyak yang beralih fungsi, misalnya menjadi jalan tol, kawasan industri atau perumahan.
Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementerian Pertanian (Kementan) Erwin Noorwibowo mengatakan, perkembangan pelaksanaan FE di Kalteng, cukup baik.
“Kegiatan yang dimulai tahun 2020, kini sudah ada yang berproduksi, meskipun kontribusinya terhadap produksi pangan nasional masih kecil,” katanya kepada Agro Indonesia, di Jakarta, Sabtu (9/7/2022).
Dia mengatakan, pengembangan FE Kalimantan Tengah (Kalteng) dimulai tahun 2020 dan berlangsung sampai sekarang. Pengembangannya dilakukan secara bertahap.
Memang, lanjut Erwin, pengerjaannya tidak bisa dilakukan sekaligus karena terkait dengan kesesuaian dan kesiapan lahan, petani, serta infrastruktur tata air di lokasi yang akan dikembangkan.
“Kegiatan yang dilaksanakan di FE Kalteng adalah intensifikasi lahan dan ekstensifikasi lahan di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau,” tegasnya.
Dia menyebutkan, kegiatan intensifikasi lahan merupakan kegiatan pengembangan budidaya pada lahan pertanian eksisting petani.
“Pada kegiatan jenis ini, pemerintah memberikan bantuan berupa pengolahan tanah dan sarana produksi (benih, pupuk, pembenah tanah dan pestisida) yang sesuai rekomendasi,” tegasnya.
Sedangkan kegiatan ekstensifikasi adalah pengembangan budidaya pada lahan pertanian non-eksisting, yang kemudian pemerintah berikan bantuan berupa pembersihan lahan, infrastruktur tingkat usaha tani, pengolahan tanah dan saprodi.
Menurut Erwin, kegiatan intensifikasi — yang dimulai tahun 2020 hingga 2021 — telah dilaksanakan pada luasan lebih dari 44.135 hektare (ha).
Produksi pada lokasi pengembangan tahun 2020 pada luasan lebih dari 29.000 ha mencapai 114.658 ton gabah kering giling (GKG), sedangkan pada lokasi pengembangan tahun 2021 pada luasan lebih dari 14.135 ha mencapai 49.070 ton GKG.
Hasil produksi GKG dari lokasi intensifikasi lahan tahun 2020 maupun tahun 2021 mencatatkan adanya kenaikan produksi jika dibandingkan dengan produksi sebelum ada kegiatan intensifikasi lahan FE Kalteng. Kenaikan produksi tersebut mencapai 49,8% untuk produksi tahun 2020, dan sebesar 11,7% untuk produksi tahun 2021.
Untuk kegiatan ekstensifikasi lahan dimulai tahun 2021 dengan target luasan mencapai lebih dari 16.000 ha, yang meliputi perapihan/penataan lahan, pembangunan infrastruktur lahan dan tata air tingkat usaha tani, pengolah tanah, dan bantuan saprodi untuk budidaya padi.
Potensi penambahan indeks pertanaman padi dan tambahan produksi diharapkan didapat dari pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi lahan.
Manfaat Bagi Petani
Pengembangan FE Kalteng melalui kegiatan intensifikasi lahan dan ekstensifikasi lahan memiliki fokus pada peningkatan produktivitas lahan, indeks pertanaman dan produktivitas hasil. Dengan dasar pelaksanaan kegiatan pada lahan petani, maka petani menjadi subjek dari pembangunan/pengembangan FE Kalteng, dan tentu saja menjadi pihak yang mendapatkan manfaat dari kegiatan ini.
Peningkatan produksi gabah kering giling dari produksi intensifikasi lahan tahun 2020 dan 2021 tentunya memberikan tambahan nilai ekonomi bagi petani.
“Manfaat ekonomi langsung yang didapatkan oleh petani dari hasil budidaya. Manfaat lainnya adalah lahan-lahan petani menjadi lebih tertata dan terkonsolidasi dalam hal produksi beras,” papar Erwin.
Program FE Kalteng juga diarahkan pada kegiatan multi-komoditas di lahan petani dengan tujuan untuk menghasilkan ragam produk pertanian selain padi, yang tentunya akan lebih mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian serta meningkatkan pendapatan petani dari penjualan produk-produk tersebut.
Multi-komoditas yang telah dikembangkan meliputi budidaya tanaman hortikultura (buah) seluas lebih dari 590 ha, dan budidaya sayuran seluas 233 ha. Untuk pengembangan ternak itik sebanyak 55.000 ekor, dan kelapa genjah 178.000 batang pohon.
Erwin mengatakan, luas baku lahan sawah Indonesia tertacat seluas 7.463.948 ha. Sedangkan luas lahan kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan di Kalimantan Tengah tahun anggaran 2021 seluas 60.776 ha atau setara dengan 0,8 % luas sawah di Indonesia.
Dari lahan yang sudah dimanfaatkan, produksi padi pada 2021 sebanyak 54,42 juta ton GKG. Produksi padi dari kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan Kalteng sebesar 213.697 ton GKG, atau setara dengan 0,39% produksi nasional.
Kontribusi produksi FE saat ini memang masih kecil, namun demikian lahan yang cukup luas tersebut kelak di kemudian hari akan menyediakan pangan untuk masyarakat Indonesia
Peningkatan produksi diusahakan melalui penambahan luas tanam atau peningkatan indeks pertanaman (IP), dan produktivitas tanaman.
Hal tersebut, lanjut Erwin, yang dapat dicapai dengan penggunaan varietas unggul yang memiliki produksi tinggi, memperbaiki sistem usaha tani.
Selain itu meningkatkan layanan irigasi, meningkatkan mekanisasi pertanian, mengurangi kehilangan hasil saat budidaya maupun saat panen dan pasca panen, meningkatkan diversifikasi pangan dan konsumsinya di tingkat masyarakat dan memperbaiki sistem logistik dan distribusi pangan
Erwin mengatakan, produksi pangan, terutama padi, masih sangat memungkinkan untuk ditingkatkan karena lahan pertanian pemanfaatannya masih dapat dioptimalkan untuk produksi pangan utama (padi) maupun pangan lainnya (palawija dan hortikultura).
Selain itu pemanfaatan lahan yang masih kurang produktif (IP 100) menjadi lebih produktif (IP200) melalui kegiatan optimalisasi lahan baik di lahan rawa maupun lahan kering.
Pangan Masa Depan
Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Ali Jamil mengatakan, program FE yang dirancang sejak tahun lalu memiliki target pencapaian hingga tahun 2024.
“Ada beberapa target capaian yang ingin kita raih hingga tahun 2024 mendatang,” katanya.
Pertama, lanjut Ali, terlaksananya penataan ruang dan pengembangan infrastruktur wilayah untuk kawasan sentra produksi pangan yang berkelanjutan.
“Kedua, meningkatnya produksi, indeks pertanaman dan produktivitas pangan melalui pertanian presisi,” paparnya. Capaian ketiga adalah terbangunnya sistem logistik, pengolahan dan nilai tambah, distribusi dan pemasaran berbasis digital.
Keempat, terbangunnya korporasi petani yang mampu dan berdaya guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan petani. “Terakhir, meningkatnya daya dukung ekosistem hutan dan gambut untuk mendukung keberlanjutan kawasan sentra produksi pangan,” tegasnya.
Ali menambahkan, pengembangan lahan rawa di Kalteng sebagai wilayah pengembangan food estate memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan agroekosistem lainnya seperti lahan kering atau tadah hujan.
Ali Jamil menyebutkan, setidaknya ada 8 keunggulan, di antaranya ketersediaan lahan cukup luas, sumberdaya air melimpah, topografi relatif datar, akses ke lahan dapat melalui sungai dan sudah banyak jalan darat serta lokasi ini lebih tahan deraan iklim.
Selain itu, rentang panen panjang, khususnya padi, bahkan dapat mengisi masa paceklik di daerah bukan rawa, keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah cukup kaya, dan mempunyai potensi warisan budaya dan kearifan lokal yang mendukung.
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, program Food Estate telah berhasil 100% di tiga wilayah pertama.
Wilayah yang telah masuk program tersebut di antaranya, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara. “Tiga tempat baru untuk food estate secara keseluruhan 100% berhasil dengan baik,” ujarnya.
Syahrul merinci, pertama FE di Kalimantan tengah. Kementan menangani sekitar 30.000 ha tanah. Secara total, lahan pertanian program FE di Kalimantan Tengah ditargetkan 60.000 ha sampai 2024.
Saat ini baru masuk 30.000 ha, nanti akan masuk bertahap 22.0000 ha ke depannya. “Dari 22.000 ha itu, yang layak hanya 16.000 ha,” jelasnya.
Kedua, FE di Humbang Hasundutan (Humbahas). Pemerintah baru menyediakan 215 ha tanah pertanian, dari 1.000 ha yang dijanjikan. Syahrul mengakui ada permasalah soal lahan tanah di sana.
“Karena lahan yang tersedia terjadi tarik-menarik antara tanah adat dan penduduk setempat. Jadi, bukan karena kita. Jadi, ada 215 ha yang berhasil secara total, ada bawang putih dan kentang,” jelasnya.
Jadi, sisanya sekitar lebih dari 700 ha lagi disebut masih menunggu klarifikasi. Nantinya akan ada FE di Wonosobo dan Temanggung, di mana sebanyak 300 ha.
Ketiga, FE di NTT. Lahan yang sudah tersedia ada 5.000 ha, 2.000 ha untuk padi dan 3.000 ha adalah jagung. Jadi, untuk tiga wilayah pertama food estate itu diklaim sudah berhasil 100%. Kementan berencana akan mencoba food estate di wilayah Beli, NTT.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto pernah mengatakan, program FE dapat menjadi solusi untuk pemenuhan pangan domestik ke depan. Kebutuhan pangan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk harus diantisipasi dari sekarang.
“Terlebih lagi, tren kebijakan ekonomi pascapandemi kemungkinan sebagian besar negara akan konsentrasi bagaimana mendorong kemandirian ekonomi masing-masing, khususnya terkait kebutuhan pangan dan kesehatan,” katanya.
Sementara itu, akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prima Gandhi menilai program FE menjadi salah satu program utama pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional menuai hasil yang positif. “Tolak ukur yang utama keberhasilan Food Estate yakni realisasi luas tanam dan panen yang tinggi, meningkatnya produksi, indeks pertanaman dan produktivitas,” tegasnya. YR/SW