Lembaga sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) akhirnya resmi rujuk dengan raksasa bubur kayu dan kertas Indonesia Asia Pulp and Paper (APP). Meski demikian masih ada proses panjang yang mesti dilalui sebelum APP bisa menjalani audit dan berhak menggunakan logo FSC.
Dalam pernyataan pers yang dikutip Agro Indonesia dari situs FSC, Kamis (6/4/2016), Dewan Direksi FSC sepakat untuk menyetujui peta jalan untuk rujuk dengan APP yang dicapai pada pertemuan FSC ke 74 di Yogyakarta, Februari lalu.
Keputusan ini diambil setelah beberapa putaran konsultasi dengan pemangku kepentingan selama setahun terakhir, sejalan dengan lima rancangan peta jalan.
Ini adalah persetujuan bersyarat. Dewan direksi FSC mengharuskan perlunya persetujuan dari pemangku kepentingan lainnya dengan amandemen lebih lanjut pada dokumen roadmap. Rencana detil harus dikembangkan dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan harus terus dilakukan. Perlu juga disiapkan batasan bagi APP untuk menyelesaikan roadmap dan verifikasinya.
Nantinya, pengembangan indikator kinerja yang relevan dan rencana verifikasi akan dipimpin oleh FSC dengan dukungan ahli pihak ketiga untuk memastikan pelaksanaan yang benar dari proses ini dan akan disampaikan kepada Direksi FSC untuk persetujuan akhir.
FSC berbasis di Bonn, Jerman dan lembaga ini dipimpin oleh Dewan Direksi Internasional (International Board of Directors) beranggotakan 12 orang yang dipilih oleh seluruh anggota FSC. Mereka mewakili bidang sosial, lingkungan, dan ekonomi. Dewan direksi FSC memiliki masa sidang tiga kali dalam setahun untuk memutuskan standar sertifikasi dan implementasinya. Pertemuan di Yogyakarta adalah sidang dewan direksi FSC yang ke-74.
Dalam pertemuan di Yogyakarta itu, FSC menargetkan penyelarasan “1994 rule” untuk Indonesia tuntas tahun ini agar sesuai dengan kondisi lokal dan industri kehutanan tanah air segera memperoleh sertifikasi dari lembaga nirlaba itu.
“Finalisasi (penyelarasan) standar nasional khususnya bagi Indonesia ini merupakan agenda terbesar kami,” kata Direktur Jenderal FSC Kim Carstensen.
Menurut Carstensen, aturan 1994 (1994 rule) ini memang tidak relevan dengan kondisi industri berbasis hasil hutan di Indonesia, sehingga menjadi hambatan utama dalam memperoleh sertifikasi FSC.
Aturan itu, kata Kim, memang memiliki prinsip tidak akan mensertifikasi lahan hutan tanaman industri (HTI) yang dikonversi setelah 1994. Padahal, sebagian besar HTI di Indonesia baru dibangun setelah 1994. Sugiharto