Hapus Diskriminasi Sertifikasi FSC

Pengusaha Indonesia berpeluang memperluas pasar kayu dan produk berbasis kayu jika lembaga pengembang sertifikasi internasional yang punya pengaruh besar di pasar global, Forest Stewardship Council (FSC), menghapus diskriminasi kebijakan terkait pengelolaan hutan tanaman di Indonesia. Sertifikasi FSC ini juga akan menguntungkan karena meningkatkan kualitas pengelolaan hutan dan memperkuat pencegahan deforestasi.

Indonesia boleh saja punya Sistem Verifikasi Legalitas Kelestarian (SVLK), yang di Uni Eropa diakui sebagai satu-satunya skema sertifikasi yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT. Namun, pasar lain belum tentu menerima skema itu dan meminta sertifikasi dari lembaga lain, salah satunya dari Forest Stewardship Council (FSC). Inilah organisasi nirlaba internasional yang dibentuk pasca KTT Bumi Rio de Janeiro tahun 1992 untuk mendorong perbaikan tata kelola hutan dengan pendekatan pasar.

Sayangnya, FSC punya aturan yang bersifat diskriminatif, yakni kebijakan cut off date November 1994. Dengan kebijakan ini, maka konsesi hutan tanaman Indonesia (HTI) — yang sebagian besar dilakukan era 1990-an — tidak bisa diikutkan untuk memperoleh sertifikat FSC. Dengan kata lain, produk pulp dan kertas sebagai pengguna kayu dari HTI juga sulit memperoleh sertifikasi FSC. Ini berbeda dengan produk yang sama dari negara-negara maju, yang sudah membabat hutan alamnya menjadi hutan tanaman lebih dulu. Mereka bisa disertifikasi FSC.

Untungnya, hambatan itu berpeluang dihapus dengan lahirnya mosi 37/2021, yang akan dibahas dalam General Assembly FSC di Bali mulai 9-14 Oktober 2022. Berdasarkan mosi itu, batas cut off date November 1994 akan diubah menjadi 31 Desember 2020. Mosi ini diajukan oleh beberapa pihak di dalam FSC, antara lain para member, termasuk anggota terkemuka (prominent), yang berpandangan bahwa FSC selayaknya memandang ke depan dan tidak berkutat ke masa lalu.

“Jika mosi ini diterima, maka akan memberi kesetaraan yang adil bagi seluruh pengelola hutan di seluruh dunia, termasuk Indonesia,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Silverius Oscar Unggul, Selasa (27/9/2022). Berdasarkan mosi itu akan ada kebijakan baru FSC terkait Policy for Association (PfA), Policy to Address Conversion (PAC) dan Remedy Framework.

Menurut pria yang akrab dipanggil Onte ini, kehutanan Indonesia punya potensi besar untuk memainkan perannya di panggung dunia, tapi terganjal oleh kebijakan cut off date November 1994 dari FSC. “Kebijakan tersebut menjadi barrier to entry produk-produk kehutanan Indonesia masuk ke pasar tertentu. Tidak adil rasanya, ketika negara lain sudah buka hutan sebelum tahun 1994, terus tiba-tiba di-cut sehingga Indonesia tidak bisa masuk,” katanya.

Penghapusan diskriminasi itu juga mendapat dukungan dari peneliti Pusat Studi Kehutanan Internasional (Cifor), Herry Purnomo, karena aturan itu harus menyesuaikan dengan kondisi pada sebuah negara atau wilayah. “Secara scientific standard, seharusnya adaptif sesuai konteks. Tidak ada satu standar yang cocok untuk semua kondisi karena ekosistem atau sosialnya pasti berbeda,” katanya. AI