Harga global untuk sejumlah komoditi, seperti gandum dan gula, sudah turun ke level semula setahun lalu, namun konsumen kemungkinan masih harus merasakan gigitan kenaikan harga saat membayar belanjaan di kasir.
Tidak nyambungnya harga ini terjadi akibat ketidakpastian yang luar biasa mengenai masa depan produksi pangan pokok seperti gandum, serta akibat tekanan harga di sektor lainnya — termasuk harga energi dan upah — bisa punya dampak besar terhadap uang belanja.
Indeks Harga Pangan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), yang paling luas diamati, turun ke posisi 135,7 poin pada November, demikian terlihat pada Jumat (2/12). Indeks ini merangkum berbagai harga pangan mulai dari sereal, minyak nabati, produk susu, daging sampai gula.
Indeks ini sudah menurun selama delapan bulan berturut-turut setelah sempat mencetak rekor pada Maret, ketika Rusia menyerang Ukraina sehingga membuat harga biji-bijian melonjak. Meski demikian, harga indeks FAO ini masih tetap di atas level beberapa tahun sebelumnya.
Sementara itu, pergerakan harga di bursa komoditi tidak serta merta diikuti dengan penurunan harga pula di rumah tangga. Data resmi terbaru menunjukkan harga-harga pangan di level rumah tangga AS mencetak harga tertinggi sepanjang masa pada Oktober, naik 12% sepanjang tahun ini.
Bahkan di era pergerakan harga yang kurang volatil, perubahan harga komoditi bisa butuh waktu 3-6 bulan untuk bisa dirasakan dalam tagihan belanjaan, tergantung pada produk dan pasarnya. Ketidakpastian mengenai perkiraan (outlook) produksi pangan masa depan membuat hubungan menjadi lebih suram dari biasanya, di mana trader yang melakukan transaksi produksi pertanian enggan mengurangi harga yang mereka kenakan kepada supermarket dan perusahaan makanan.
Salah satu alasan penting naiknya harga belanjaan adalah trader tidak yakin berapa banyak biji-bijian, dan dengan kualitas apa, yang akan diproduksi tahun depan, kata Joe Glauber, peneliti senior di International Food Policy Research Institute di Washington DC.
Perang di Ukraina, salah satu eksportir besar biji-bijian, telah menimbulkan dampak yang mirip dengan bencana kekeringan, di mana luas tanam yang dilakukan petani pada tahun depan lebih sedikit. Selain itu, kata Glauber seperti dimuat Wall Street Journal, stok gandum global belum pulih terisi lagi dalam beberapa tahun belakangan, yang juga membuat harga naik.
Stok gandum akhir dunia pada musim 2022-2023 kemungkinan sedikit di bawah 268 juta ton, turun dari 290 juta ton pada dua tahun sebelumnya, demikian rilis Departemen Pertanian AS (USDA).
Harga energi dan listrik yang lebih mahal juga membuat inflasi harga pangan. “Barang-barang yang ada di rak-rak pasar swalayan memiliki harga minyak yang tinggi di dalamnya,” ujar Kathy Kriskey, pakar komoditi Invesco.
Harga energi yang lebih mahal berarti makin tingginya harga transportasi dan makanan kemasan, sementara supermarket harus membayar tagihan listrik lebih banyak lagi untuk toko swalayan mereka. Harga gas yang lebih mahal juga berarti naiknya biaya pupuk, sementara tagihan gaji juga meningkat pesat.
Pasar-pasar swalayan punya insentif lebih besar untuk membekukan makanan ketimbang menurunkan harga, tambah Kriskey, karena hal itu lebih memberi keleluasaan jika biaya input lainnya seperti energi naik lebih jauh dalam beberapa bulan ke depan.
Naiknya harga pangan selalu dirasakan lebih berat di negara-negara miskin, di mana lebih banyak penduduknya yang terancam kelaparan, makin tinggi APBN yang dipakai untuk belanja makanan, dan rantai pasok jadi lebih rapuh.
“Makin kompleks sebuah negara, maka semakin banyak konflik yang Anda hadapi, selanjutnya harga akan lebih tinggi,” ujar Máximo Torero, kepala ekonom FAO. AI