Defisit neraca perdagangan yang besar tidak menyurutkan Indonesia untuk terus membuka pasar dan meneken perdagangan bebas. Bahkan, Indonesia berani menandatangani Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), meski rapor dagang dengan Australia selalu merah. Peternak rakyat pun mengaku ini peluang. Benarkah?
Berbeda dengan kekhawatiran banyak pengamat dan fakta yang ada, Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menyambut baik Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang diteken awal Maret 2019. Bahkan, dari sisi peternak dalam negeri, pembebasan pasar bukan ancaman karena dari sisi produk daging Indonesia masih kurang.
“Selama ini kita memang sudah impor daging dan ternak sapi dari negara itu,” ujar Ketua PPSKI Teguh Boediyana di Jakarta, Jumat (15/3/2019). “Kita harus lihat sisi positifnya. Dengan kerja sama ini, untuk sektor peternakan misalnya, kita harus menguatkan peternak rakyat dengan menjalin kemitraan,” tambahnya.
Optimisme PPSKI ini jelas meringankan kerja pemerintah. Padahal, sapi adalah komoditas impor terbesar ketiga dari lima komoditas impor utama Australia, yang tahun lalu menguras devisa 573,9 juta dolar AS, setelah gandum (639,6 juta dolar AS) dan batubara (632 juta dolar AS). Sementara gula menghabiskan devisa 314,7 juta dolar AS dan bijih besi 209,3 juta dolar AS. Dalam lima tahun terakhir, neraca dagang Indonesia dengan Australia selalu defisit dan jumlahnya terus meningkat, mulai dari 1,79 miliar dolar AS (2014) menjadi 3,00 miliar dolar AS (2018).
Pemerintah Australia jelas senang. Meski kesepakatan ini masih harus diratifikasi parlemen kedua negara untuk membebaskan 100% produk ekspor Indonesia ke Australia — yang mencapai 6.474 pos tarif — sementara 94% pos tarif ekspor Australia ke Indonesia dibebaskan secara bertahap. Pasalnya, Indonesia adalah pasar produk pertanian terbesar keempat, yang tahun 2017 bernilai 3,35 miliar dolar AS.
Dengan pembebasan pasar, Australia memperkirakan impor sapi yang dikuota 575.000 ekor oleh Indonesia akan tumbuh 4% tiap tahun dan menjadi 700.000 ekor dalam lima tahun. Belum lagi daging dan jeroan. Singkatnya, “Peternak sapi dan kambing adalah pemenang terbesar, tarif akan hilang dan makin banyak ternak yang diekspor,” ujar Menteri Pertanian Australia, David Littleproud dalam komentarnya mengenai IA-CEPA.
Sementara untuk peluang ekspor nonmigas Indonesia, kayu dan furnitur — yang tahun lalu ekspornya 214,9 juta dolar AS — bisa jadi harapan. “Kami sebagai pelaku usaha tentu saja berharap perjanjian itu berdampak positif,” ujar Ketua Umum Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan Pertukangan (ISWA) Soewarni. Namun, dia menilai kendala justru dari dalam negeri yang mengurangi daya saing. Salah satunya adalah pengenaan PPN untuk kayu bulat. AI