Pengendalian Iklim, RI Berutang ke Bank Dunia

Presiden Jokowi bersama sejumlah duta besar dan country director WB menanam mangrove

Indonesia kembali harus menambah utang luar negeri. Kali ini, ironisnya, utang itu atas nama penyelamatan lingkungan dalam rangka pengendalian iklim. Alih-alih memprioritaskan hibah, pemerintah malah rela menerima pinjaman Bank Dunia sebesar 400 juta dolar AS (hampir Rp6 triliun) guna mengejar target penyelamatan ratusan ribu hektare hutan mangrove, yang hasilnya akan dinikmati seluruh umat manusia.

Presiden Jokowi dengan bangga mengumumkan Program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) serta World Mangrove Center di Teluk Balikpapan, saat meresmikan Persemaian Rumpin di Rumpin, Bogor, Jumat (10/6/2022). Persemaian ini merupakan kerja sama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian PUPR dan kelompok APRIL, yang akan menghasilkan persemaian modern dan memproduksi bibit berkualitas yang siap dikirim ke daerah-daerah yang membutuhkan.

Namun, yang menarik, dalam kesempatan itu Presiden juga mengucapkan terima kasih kepada Bank Dunia atas dukungannya dalam memulihkan lingkungan. Lho, kok? Bank Dunia? Jangan kaget, Indonesia ternyata punya program merehabilitasi 600.000 hektare (ha) kawasan mangrove (hutan bakau) sampai akhir 2024, tahun terakhir kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. Dan, ini yang jadi ironis, proyek itu harus berutang. Jadi, ucapan terima kasih itu adalah bentuk penghargaan Indonesia kepada Bank Dunia yang bersedia memberi utangan 400 juta dolar AS (hampir Rp6 triliun) — yang disetujui pada Mei 2022.

Keputusan pemerintah berutang untuk memulihkan lingkungan jelas memicu pertanyaan banyak pihak. Apalagi, kecuali hibah, selama ini sektor kehutanan tidak pernah mau menerima utang luar negeri. Namun, untuk proyek M4CR, kehutanan harus menerima utang tersebut, bersama dengan BLU Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Proyek ini akan berkontribusi pada Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC), khususnya pada komitmen Net Sink 2030 untuk sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (Forest and Other Land Use, FOLU).

Utang ini yang dikritik Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak, Prof. Gusti Hardiansyah. Meski mengakui rehabilitasi mangrove memang perlu dilakukan karena dia ekosistem yang sangat penting, namun tidak tepat jika pembiayaan dilakukan dengan utang. “Sektor kehutanan sebenarnya masih punya sumber-sumber pembiayaan yang bisa dimanfaatkan,” katanya saat dihubungi, Jumat (15/7/2022).

Gusti menilai, pemanfaatan utang untuk kegiatan yang menjadi bagian dari aksi perubahan iklim tidaklah tepat. Apalagi, dalam aksi iklim ada prinsip “common but differentiated responsibilities (CBDR)”. Artinya, meski sama-sama punya kewajiban untuk melakukan aksi iklim, namun tanggung jawab terbesar ada di negara maju sebagai pengemisi gas rumah kaca terbesar. “Jadi, kalau ada pembiayaan dari luar negeri untuk aksi iklim, itu adalah kewajiban mereka. Jangan kita harus berutang dan membayar bunganya pula,” tegas Gusti.

Kecaman juga datang dari Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana. “Kenapa mesti utang? Yang bayar kan generasi selanjutnya. Masa kita punya anak baru lahir sudah punya utang,” katanya. Dia juga mempertanyakan, jika pembayaran utang nantinya akan memanfaatkan skema perdagangan karbon. Walhi dan organisasi global Friends of The Earth akan menolak implementasi perdagangan karbon karena yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak publik. “Itu kawasan kelola masyarakat kok tiba-tiba diperdagangkan,” katanya. AI