Hutan DAS Barito Kalsel Menyusut

Banjir besar yang merendam Kalimantan Selatan memicu perdebatan panjang. Benarkah akibat musnahnya hutan, yang berganti menjadi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batubara, atau memang curah hujan yang ekstrem selama beberapa hari? Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang menujukkan bahwa  tutupan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Kalsel mengalami penurunan, berganti dengan kebun sawit, pertambangan, sawah, dan permukiman.

Provinsi Kalimantan Selatan harus mengalami banjir besar yang dialami 11 dari 13 kabupaten/kota yang ada. Di saat ribuan warga mengungsi, perdebatan panas pun terjadi dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seolah jadi pesakitan. Hutan rusak karena obral izin perkebunan dan pertambangan. Benarkah?

Sejauh ini, pemerintah, seperti yang dikemukakan Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi banjir di Kelurahan Pekauman, Martapura, Banjar, Kalsel, Senin (18/1/2021), banjir terjadi akibat curah hujan yang sangat tinggi alias ekstrem. Kementerian LHK membenarkan hal ini dan menyebut anomali cuaca sebagai penyebab banjir, bukan soal berkurangnya luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel. ”Penyebab utamanya terjadi anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi. Selama lima hari, dari tanggal 9-13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya. Air yang masuk ke Sungai Barito sebanyak 2,08 miliar m3, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3,” ungkap Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) LHK, MR Karliansyah saat media briefing virtual, Selasa (19/1/2021).

Pernyataan ini jelas untuk menjawab tudingan banyak pihak, terutama LSM, bahwa banjir akibat masifnya deforestasi, pembukaan lahan untuk kebun dan pertambangan. Nur Hidayati, contohnya. Direktur Eksekutif Walhi Nasional ini menyatakan, sekitar 60% daratan Indonesia sudah dialokasikan untuk berbagai izin yang dikelola korporasi. “Tidak heran jika Kalimantan jika kemarau kebakaran, musim penghujan kebanjiran,” katanya pada diskusi daring, Jumat (29/1/2021).

Khusus untuk Kalsel, data Walhi Kalsel menunjukkan, dari 3,7 juta hektare (ha) luas Kalsel, separuhnya sudah dibebani izin industri ekstraktif, yaitu pertambangan 33% dan perkebunan sawit 17%. Data izin ekstraktif itu di luar izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK).

Namun, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Belinda Arunarwati Margono mengatakan, kondisi hutan di hulu DAS Barito Kalsel masih bagus. Pasalnya, sekitar 80,8% masih memiliki tutupan hutan, di mana 79,3% adalah hutan alam dan 1,4% hutan tanaman. Luas DAS Barito Kalsel sendiri mencapai 1,8 juta ha dari total DAS Barito seluas 6,2 juta ha yang melintasi empat provinsi, yaitu Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kalbar.

Hanya saja, berdasarkan telaah perubahan tutupan hutan secara seri, dengan menggunakan matriks transisi perubahan tutupan lahan, khusus untuk wilayah DAS Barito di Kalsel, telah terjadi penurunan tutupan hutan. Hal ini dijelaskan Kepala Biro Humas KLHK, Nunu Anugrah. “DAS Barito Kalsel terjadi penurunan tutupan hutan. Sebaliknya, terdapat kenaikan areal perkebunan, sawah, pertambangan dan pemukiman. Perubahan perkebunan dan pertambangan terjadi dari waktu ke waktu,” katanya, Sabtu (23/1/2021). Apakah ini penyebab banjir? Belum tentu, memang. AI