Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya memicu kontroversi ketika menjelaskan langkah-langkah pemerintah menurunkan laju deforestasi, terutama di media sosial. Belakangan, Komisi IV DPR juga ikut mengecam. Padahal, tidak ada yang aneh ketika pembangunan tetap bisa terus berlangsung, seiring dan sejalan dengan upaya penurunan deforestasi.
“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.” Satu dari rangkaian cuitan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar — di akun resmi @SitiNurbayaLHK pada awal November — kontan memicu kontroversi, yang ditandai dengan belasan ribu kali retweet dari netizen di Twitter. Padahal, penjelasan Siti di pertemuan dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Glasgow, Selasa (2/11/2021), di sela kehadirannya pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC, juga memberi pesan di utasnya itu agar netizen membaca secara utuh tentang deforestasi dengan memberi tautan ke aplikasi Facebook.
Yang menarik, jajaran pimpinan dan anggota Komisi IV DPR juga ikut bersuara keras mengritik pernyataan Siti dan membenturkan pernyataan Siti — yang seolah berseberangan — dengan pandangan Presiden Joko Widodo di depan para pemimpin dunia saat pertemuan puncak iklim tersebut. “Saya bingung juga, menteri mengatakan, untuk pembangunan Indonesia, apapun akan dilakukan, termasuk deforestasi. Sementara, presiden bicaranya lain lagi,” kata Ketua Komisi IV, Sudin dalam rapat kerja dengan jajaran Eselon I KLHK, Senin (22/11/2021).
Kritik pimpinan Komisi IV ini seolah mengamplifikasi kecaman yang dilakukan kalangan LSM. Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, Rio Rompas menyatakan, pernyataan Siti kontraproduktif dengan analisis dan dan narasi yang dibangun. Misalnya saja soal terjadinya banjir di Kabupaten Sintang yang telah merendam beberapa pekan yang diakibatkan oleh deforestasi. Bahkan, pihak Greenpeace juga “menantang” data yang dipaparkan pemerintah secara ilmiah. “Sayangnya, upaya kami untuk men-challenge secara akademis malah dibungkam dengan cara yang tidak demokratis,” katanya.
Dia juga menyatakan, masih terjadinya deforestasi di Indonesia sesungguhnya tidak mengejutkan karena berdasarkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk penurunan emisi gas rumah kaca UNFCCC, Indonesia masih memberi ruang untuk deforestasi sekitar 400.000 hektare (ha) setiap tahun hingga tahun 2030.
Kegaduhan ini coba dijelaskan oleh Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB, Prof. Dodik R. Nurrochmat. Dia menilai, zero deforestasi jangan diartikan tidak ada deforestasi sama sekali. Menurutnya, jika suatu saat terjadi angka deforestasi yang nihil, itu artinya reforestasi (pemulihan hutan) dan aforestasi (pembangunan hutan baru) terjadi lebih luas. “Jadi, zero deforestasi berarti reforestasi dan aforestasinya lebih besar,” katanya.
Untuk itu, Dodik mengajukan konsep ekonomi hijau di mana sumberdaya alam dimanfaatkan untuk pertumbuhan secara efisien, bersih, dan memiliki daya lenting menghadapi perubahan lingkungan. “Ada peta jalan keberlanjutan di mana ada ruang kita bisa memanfaatan sumberdaya alam tanpa melebih batas dan bisa kembali pulih tanpa harus menerapkan kebijakan zero deforestasi. Ini adalah sebuah konsensus yang harus kita ambil bersama,” katanya. AI