Indonesia memperoleh pinjaman dana sebesar 400 juta dolar atau hampir Rp6 triliun (kurs Rp14.996/dolar AS) untuk merehabilitasi mangrove dari World Bank (Bank Dunia). Dana ini akan disalurkan dari Kementerian Keuangan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Hal ini kontan menuai pro-kontra. Utang untuk membiayai rehabilitasi mangrove dinilai tidak tepat di tengah masih banyaknya opsi yang bisa dipilih. Apalagi, jika dilihat dalam konteks pengendalian perubahan iklim, sesungguhnya Indonesia harusnya mendapat pembiayaan.
Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana mengingatkan, Indonesia perlu melakukan refleksi sebelum bicara soal utang luar negeri untuk rehabilitasi mangrove.
Menurut dia, kerusakan mangrove terjadi karena pemerintah mengobral konsesi di mangrove. Sebagai contoh proyek terminal LNG di Bali yang justru diberikan di kawasan mangrove dengan kerapatan tinggi.
“Banyak juga perkebunan yang ternyata masuk ke kawasan mangrove,” kata dia ketika dihubungi, Jumat (15/7/2022).
Menurut Wahyu, jika merujuk ke Undang-undang 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, maka sesuai prinsip strict liability, mereka yang menyebabkan kerusakan lingkungan harus bertanggung jawab. “Jadi, pemilik konsesi itu yang seharusnya diberi kewajiban untuk merehabilitasi,” kata Wahyu.
Ancaman kerusakan mangrove juga semakin meningkat seiring dengan hilangnya ketentuan soal luas kawasan hutan minimal 30% seperti diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja (UUCK). Tanpa ketentuan tersebut, kawasan mangrove bisa dengan mudah diberi konsesi atas nama kepentingan strategis nasional.
“Jadi, sebelum bicara rehabilitasi, pendekatan untuk mengembalikan fungsi itu bisa dilakukan. Lakukan review perizinan,” kata Wahyu.
Menurut Wahyu, kalau memang mau merehabilitasi mangrove, maka seharusnya kawasan pesisir Jawa diletakkan sebagai prioritas rehabilitasi, tapi kenyataannya tidak. Padahal, di pesisir Jawa kawasan mangrovenya sudah hancur. Ini karena banyak terdapat konsesi industri, bahkan pertambangan.
Dia melanjutkan, jika tangung jawab pemegang konsesi bisa ditegakkan dan pengembalian fungsi mangrove bisa dilakukan, maka tidak mendesak untuk berutang untuk merehabilitasi mangrove.
“Kalau konteksnya pandemi COVID-19 dan kita butuh penanganan kesehatan, itu baru mendesak. Kalau untuk mangrove, tidak ada urgensinya karena upaya lain masih memungkinkan,” tegas Wahyu.
“Jadi, kenapa mesti utang? Yang bayar kan generasi selanjutnya. Masa kita punya anak baru lahir sudah punya utang,” katanya.
Wahyu juga mempertanyakan jika pembayaran utang nantinya akan memanfaatkan skema perdagangan karbon. Menurut dia, Walhi dan organisasi global Friends of The Earth menolak implementasi perdagangan karbon karena yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak publik. “Itu kawasan kelola masyarakat kok tiba-tiba diperdagangkan,” katanya.
Tidak tepat
Kritik untuk pemanfaatan utang luar negeri untuk rehabilitasi mangrove juga datang dari akademisi. Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak, Profesor Gusti Hardiansyah mengatakan, kondisi mangrove saat ini memang butuh perhatian.
“Upaya untuk merehabilitasi memang perlu kita lakukan karena ini adalah ekosistem yang sangat penting,” katanya.
Namun, Gusti menyatakan tidak tepat jika pembiayaan untuk rehabilitasi tersebut berasal dari utang. “Sektor kehutanan sebenarnya masih punya sumber-sumber pembiayaan yang bisa dimanfaatkan,” katanya, ketika dihubungi Jumat (15/7/2022).
Misalnya dengan meningkatkan pendapatan negara dari pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu. Menurut Gusti, selama ini penerimaan belum optimal karena masih ada kebocoran.
Gusti juga menilai pemanfaatan utang untuk rehabilitasi mangrove sebuah kegiatan yang menjadi bagian dari aksi perubahan iklim tidaklah tepat. Menurut dia, dalam aksi iklim ada prinsip “common but differentiated responsibilities (CBDR)”. Artinya, meski sama-sama punya kewajiban untuk melakukan aksi iklim, namun tanggung jawab terbesar ada di negara maju sebagai pengemisi gas rumah kaca terbesar.
“Jadi, kalau ada pembiayaan dari luar negeri untuk aksi iklim itu adalah kewajiban mereka. Jangan kita harus berutang dan membayar bunganya pula,” kata Gusti.
Meski ada kritik, namun dukungan terhadap langkah pemerintah mendapat dukungan dari Komisi IV DPR. Anggota Komisi IV Darori Wonodipuro, yang juga mantan pejabat di KLHK mengatakan, pihaknya mendukung pemerintah untuk mencari pendanaan guna rehabilitasi mangrove.
“Saya secara prinsip mendukung asal sasarannya tepat,” katanya.
Darori mengatakan, soal pemanfaatan dana pinjaman dari Bank Dunia untuk rehabilitasi mangrove ini sudah diutarakan oleh Kepala BRGM, Hartono Prawiraatmadja saat rapat kerja dengan Komidis IV DPR beberapa waktu lalu.
Darori mengatakan, dana pinjaman diperlukan karena rehabilitasi mangrove mendesak, sementara anggaran pemerintah dari APBN tidak tersedia. Peminjaman dana dari Bank Dunia ini juga sudah sepengetahuan Presiden.
“Saya kira untuk rehabilitasi dan konservasi tidak adak masalah (memanfaatkan dana pinjaman). Wong negara saja ngutang untuk macam-macam hingga Rp1.000 triliun,” katanya. Sugiharto
Setiap Tahun, Indonesia Kehilangan 13.000 Ha Mangrove
Mangrove Indonesia punya peran penting secara ekologi dan ekonomi. Namun, kawasan mangrove Indonesia saat ini dalam ancaman sehingga butuh upaya rehabilitasi.
World Bank mencatat Indonesia kehilangan 13.000 hektare (ha) mangrove setiap tahun atau lebih luas dari Kota Paris!
Dalam penjelasannya, World Bank memaparkan Indonesia punya luas mangrove sekitar 3,4 juta ha. Ini mencakup lebih dari 20% luas mangrove global. Selain itu, sebanyak 40 dari 54 spesies mangrove sejati ada di Indonesia, yang berarti menjadi ekosistem dengan keankeragaman hayati terkaya di dunia.
Hutan mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar ton CO2 setara dengan emisi GRK dari sekitar 2,5 miliar kendaraan penumpang yang dikendarai selama satu tahun. Eksosistem mangrove biasa disebut sebagai “karbon biru” bersama dengan padang lamun, terumbu karang, dan eksosistem lautan lainnya.
Mangrove adalah komponen utama mata pencaharian masyarakat pesisir, menyediakan sumber makanan dan pendapatan yang penting. Menurut World Bank, sekitar 55% dari total biomassa tangkapan ikan di Indonesia terdiri dari spesies yang bergantung pada mangrove, dengan total produksi tahunan senilai 825 juta dolar AS.
Mangrove juga memiliki nilai pariwisata hampir 30 juta dolar AS/tahun. Penelitian World Bank baru-baru ini menunjukkan, mangrove memiliki nilai tahunan 15.000 dolar AS hingga hampir 50.000 dolar AS/ha di Indonesia.
Mengingat nilainya yang signifikan, mangrove Indonesia perlu direhabilitasi. Dalam 20 tahun terakhir, Indonesia kehilangan sekitar 13.000 ha hutan bakau setiap tahun, lebih besar dari ukuran kota Paris.
Kerusakan mangrove didorong oleh faktor tidak langsung termasuk permintaan global untuk produk seperti udang yang sering dibudidayakan di tambak yang sebelumnya mangrove, serta sebagai keseluruhan kurangnya nilai ekonomi mangrove yang dirasakan.
Menurut World Bank, masyarakat pesisir yang bergantung pada mangrove untuk ketahanan dan mata pencaharian mereka termasuk yang paling rentan di Indonesia.
Mereka memiliki akses terbatas ke layanan seperti sekolah menengah, air bersih, listrik, dan transportasi, dan mengalami tingkat kemiskinan 1,27% lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di desa non-pesisir.
Sekarang, dengan krisis COVID-19 yang berkepanjangan, tingkat kemiskinan kemungkinan akan meningkat yang semakin menekankan perlunya kebijakan dan investasi yang ditargetkan untuk masyarakat pesisir. Sugiharto