Dunia ingin memangkas dan membatasi pemanasan global hanya 1,50 Celsius? Bisa, kok. Syaratnya, pangkas permintaan bahan bakar fosil minimal 25% atau lebih sampai akhir dasawarsa ini.
Itulah perhitungan yang dikemukakan Badan Energi Internasional (IEA). Batubara, minyak dan gas bumi semuanya perlu diganti dengan energi bersih dengan kecepatan yang konstan untuk menjaga dunia tetap di jalurnya dalam memangkas emisi gas rumah kaca menjadi net zero atau netral karbon pada tahun 2050, demikian hitungan tahunan lembaga pengawas energi bentukan negara-negara maju alias OECD ini.
Proyeksi ini merupakan peringatan terbaru IEA terhadap sektor minyak dan gas sejak badan ini menyentak kaget industri migas global pada tahun 2021. Saat itu, IEA mengatakan tidak boleh ada proyek-proyek eksplorasi migas baru jika batas atas pemanasan global ingin dicapai.
Proyeksi terbaru IEA kali ini muncul di saat meningkatnya ketegangan dengan para produsen minyak menjelang digelarnya pertemuan tahunan iklim PBB di Uni Emirat Arab (UAE) dalam 10 pekan ke depan, di mana kubu OPEC menuding IEA memicu “volatilitas” dan menakutkan investor.
Industri migas global juga telah berusaha melemahkan proyeksi IEA, dengan meningkatkan berbagai retorika dalam konferensi dua tahunan di Calgary, Kanada, pekan lalu.
Sementara IEA juga menegaskan kembali pandangannya bahwa ladang-ladang migas baru menghadapi “risiko komersial yang besar” jika pengurangan permintaan dilakukan, mengingat pasokan yang ada dari proyek-proyek saat ini.
Namun, IEA juga mengingatkan bahwa pasok energi bersih diperlukan sesuai dengan berkurangnya pasok bahan bakar fosil. Hal ini guna menghindari terjadinya kekurangan pasok energi dan lonjakan harga.
“Tingginya harga energi dalam waktu yang lama akan terjadi jika penurunan investasi bahan bakar fosil dalam skenario ini terjadi sebelum perluasan energi bersih,” kata IEA, seraya menyebut sebuah transisi yang “tertib” “sulit untuk dijamin”, seperti dikutip The Financial Times, Rabu (27/9).
Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol mengatakan, bahan bakar fosil masih akan dibutuhkan sampai tahun 2030 dan pemerintah di dunia perlu “memberikan kerangka kerja” guna menjamin pergeseran yang mulus menuju energi yang lebih ramah lingkungan.
IEA didirikan beberapa saat setelah negara-negara Arab mengembargo ekspor minyak tahun 1970-an sebagai lembaga penasehat mengenai ketahanan energi. Para anggotanya diambil dari negara-negara OECD, termasuk AS, Inggris dan Jepang.
Pernyataan IEA itu sendiri disampaikan bersamaan dengan laporan terkininya yang menguaraikan penilaiannya mengenai jalur dunia untuk memangkas emisi menjadi net zero pada tahun 2050.
Hal ini dipandang penting untuk membatasi secara ideal pemanasan global 1,5C di atas era pra-Revolusi Industri, dan di bawah 2C, sesuai dengan komitmen yang ditandatangani hampir 200 negara dalam Perjanjian Paris 2015.
IEA mengatakan, “kebijakan yang ketat dan efektif” berdasarkan proyeksinya akan “mendorong penyebarluasan energi bersih dan memangkas permintaan bahan bakar fosil lebih dari 25% pada tahun 2030 dan 80% pada tahun 2050.”
Ini akan melibatkan pengurangan permintaan minyak dari 100 juta barel per hari (bph) menjadi 77 juta bph pada 2030; dan permintaan gas alam menurun dari 4.150 miliar meter kubik (bcm) pada 2022 menjadi 3.400 bcm pada periode yang sama.
Menurut IEA, sudah ada “kemajuan yang positif” dalam dua tahun terakhir, antara lain terjadinya penggunaan panel surya dan kendaraan listrik yang pesat.
Namun, IEA menyerukan “aksi yang lebih berani”, di mana dibutuhkan kenaikan investasi energi bersih dari 1,8 triliun dolar AS tahun ini menjadi 4,5 triliun dolar AS tiap tahunnya sampai awal tahun 2030.
IEA juga mewanti-wanti bahwa tindakan yang terlalu lamban bisa menimbulkan biaya yang signifikan, yang jumlahnya berpotensi mencapai 1,3 triliun dolar AS/tahun untuk menghapus emisi karbon dioksida dari udara setelah tahun 2050 dibandingkan dengan menghindari mereka sejak awal.
Jumlah ini akan lebih dari 50% investasi total dalam pasok bahan bakar fosil tahun 2022, dan menimbulkan “tantangan besar yang membutuhkan kerja sama erat internasional,” kata IEA.
Birol juga mengritik keputusan PM Inggris Rishi Sunak yang menunda larangan penjualan mobil dengan BBM bensin dan solar tahun 2035, seraya menyebut negara-negara maju harus memimpin di depan dan “menaikkan ambisi ketimbang malah menurunkannya.”
“Mempertahankan target pembatasan pemanasan global sebesar 1,5C membutuhkan kerja sama dunia yang sangat cepat. Kabar baiknya adalah kita tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.” AI