Kegagalan konferensi perubahan iklim COP ke 25 di Madrid, Desember 2019, untuk mencapai kesepakatan tentang pasal 6 Persetujuan Paris, mendorong Indonesia untuk bergerak lebih cepat mengembangkan pasar karbon domestik. Langkah itu diharapkan bisa mendukung tercapainya target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia sebesar 29% pada tahun 2030 mendatang.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong yang juga Ketua Delegasi Indonesia pada konferensi tersebut menjelaskan, operasionalisasi pasal 6 Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang salah satunya mengatur tentang pasar karbon gagal disepakati oleh peserta konferensi karena beberapa hal. Diantaranya adalah kekhawatiran tentang adanya penghitungan ganda.
Hal lain adalah sejumlah negara besar yang telah lebih dulu masuk ke pasar karbon berdasarkan Protokol Kyoto, seperti Brazil, China, dan India, ngotot agar karbon kredit yang mereka miliki bisa diakui berdasarkan Persetujuan Paris. Ini dikhawatirkan bisa membuat harga karbon kredit jatuh.
“Mereka itu top country dengan skema Clean Development Mechanism (CDM). Kalau usulan mereka disepakati, harga bisa crash,” kata Wamen Alue saat diskusi Pojok Iklim di Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Menurut Alue, Indonesia sejatinya sangat berkepentingan dicapainya kesepakatan tentang Pasal 6 Persetujuan Paris. Pasar karbon diharapkan ikut mendukung tercapainya komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% pada 2030 seperti teruang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang sudah didaftarkan ke sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Untuk itu, lanjut Alue, Indonesia akan mendorong pengembangan pasar karbon domestik. Mekanisme yang dilaksanakan bisa CDM maupun cap and trade. “Segera kita siapkan untuk mendukung pencapaian NDC,” katanya.
Pengembangan pasar karbon domestik juga sebagai persiapan jika akhirnya Pasal 6 Persetujuan Paris disepakati dalam COP ke 26 yang akan berlangsung di Glasgow, Skotlandia.
Sugiharto