Oleh: Jamil Musanif (Purnabhakti Kementerian Pertanian, kini aktif sebagai Konsultan pertanian dan AMDAL; Sekjen Dewan Kopi Indonesia (Dekopi); Ketua Umum Coffee Lovers Indonesia).
MMewujudkan swasembada pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, hingga saat ini masih merupakan tantangan utama dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Untuk itu, sejak puluhan tahun yang lalu, berbagai upaya dan pendekatan pembangunan di bidang pertanian telah banyak dilakukan. Namun, faktanya hal tersebut belum juga dapat dicapai secara hakiki. Masih banyak permasalahan baik teknis maupun non teknis yang harus dipecahkan agar tujuan yang mulia tersebut dapat dicapai.
Memasuki periode pembangunan nasional yang baru, pada 2019-2024 ini, adalah momen yang tepat untuk mengkaji dan mempertimbangkan berbagai pemikiran dan konsep untuk membagun pertanian dan perdesaan yang lebih baik, salah satunya ialah sebuah pemikiran dan konsep mengenai Panca Dharma Pertanian.
Butir-butir Panca Dharma Pertanian
Panca Dharma Pertanian terdiri dari 5 butir kebijakan operasional terkait dengan pembangunan pertanian dan perdesaan. Masing-masing kebijakan tersebut mempunyai latar belakang permasalahan, langkah-langkah dan sasaran spesifik yang dapat dijelaskan secara lebih rinci dan mendalam. Pada pokoknya, Panca Dharma Pertanian terdiri dari:
- Membentuk dan memfungsikan secara optimal Badan Layanan Umum (BLU) Pembiayaan Pertanian.
- Mendorong perusahaan swasta dan BUMN/BUMD untuk berperan sebagai developer pertanian rakyat.
- Mengembangkan kawasan-kawasan pembangunan ekonomi masyarakat berbasis agribisnis (KAPEMBA).
- Mengembangkan industri benih rakyat dengan mendorong produksi Benih Sebar (Extention Seed) oleh petani penangkar benih, dan memperbanyak Kebun Induk, Benih Pokok, Breeder Seed, dan Parent Stock oleh Balai-balai Lbang dan Balai-balai Benih.
- Melaksanakan Gerakan Nasional Penyehatan Lahan.
Badan Layanan Umum (BLU) Pembiayaan Pertanian
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU), yang telah diubah dengan PP No. 74 tahun 2012, BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. BLU Pembiayaan Pertanian merupakan suatu lembaga pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan masyarakat dalam bidang pembiayaan untuk usaha pertanian rakyat.
Mengapa perlu BLU Pembiayaan Pertanian?
Petani memerlukan modal untuk menjalankan usaha agribisnis. Tanpa modal yang memadai maka petani akan melakukan usahanya secara apa adanya, dengan skala usaha yang relatif sempit dan pengelolaan yang tidak sesuai dengan cara-cara yang seharusnya yaitu good agricultural practices (GAP) dan good handling practices (GHP). Sehingga, produktivitas dan mutu produk yang dihasilkan umumnya rendah.
Sistem bantuan pembiayaan yang ada yaitu melalui kredit perbankan belum cocok bagi petani Indonesia karena dianggap masih terlalu sulit bagi petani pada umumya, sedangkan sistem bantuan sosial (Bansos) yang saat ini banyak diterapkan di berbagai sektor dianggap kurang mendidik dan rawan bermasalah dari segi akuntabilitasnya, mengingat juga bahwa sesungguhnya Bansos lebih ditujukan guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial. Risiko sosial yang dimaksud adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial baik itu yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat sebagai dampak dari krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi yang wajar.
Beberapa contoh BLU yang sudah berjalan antara lain Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) di bawah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup; Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Kementerian Keuangan; dan lebih dari 150 BLU lainnya.
Mendorong perusahaan swasta dan BUMN/BUMD agar berperan sebagai developer pertanian rakyat.
Masalah utama pertanian rakyat pada umumnya ialah (1) sempitnya lahan atau skala usaha, (2) keterbatasan modal, (3) keterbatasan kemampuan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil, sehingga mutu dan nilai tambah produk yang dihasilkan rendah, dan (4) keterbatasan kemampuan pemasaran. Gabungan dari berbagai permasalahan tersebut menyebabkan petani sulit beranjak dari kemiskinan dan ketidakberdayaan. Hadirnya perusahaan swasta dan BUMN/BUMD sebagai developer pertanian rakyat diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah/kendala pada pertanian rakyat tersebut. Berbagai pola kerjasama antara perusahaan swasta/BUMN/BUMD dan petani mitranya dapat dikembangkan, antara lain dengan pola KPR sebagaimana yang biasa dilakukan pada sektor perumahan rakyat. Dalam hal ini, perusahaan pengembang pertanian rakyat (developer) dengan insentif tertentu dari pemerintah membangun terlebih dahulu paket-paket usaha pertanian yang kemudian diserahkan kepada petani mitra dengan sistem kredit yang dibayar dari hasil panen. Perusahaan developer diharapkan juga berperan sebagai agen pemasaran bagi produk yang dihasilkan oleh petani mitranya.
Kawasan Pembangunan Ekonomi Masyarakat berbasis Agribisnis (KAPEMBA)
Masalah utama dan kronis pada sektor pertanian di Indonesia ialah paradigma kolonial Belanda pada ratusan tahun silam yang masih terwarisi hingga jauh setelah Indonesia merdeka. Pada masanya, Pemerintah Belanda di Indonesia membangun sentra-sentra produksi pertanian (agri center) seperti sentra produksi karet di Sumatera Utara; sentra produksi kopi antara lain di Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Toraja dan Flores; sentra produksi lada di Lampung dan Bangka-Belitung; sentra produksi teh di Jawa Barat; sentra produksi gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur; sentra produksi cengkeh dan pala di Maluku; dst. Tujuannya tidak lain ialah untuk memperoleh hasil komoditi pertanian yang sebanyak-banyaknya guna keperluan perdagangan internasional oleh pihak kompeni. Hasilnya adalah produksi pertanian yang melimpah, tetapi petani pelaku produksi berbagai komoditas pertanian tersebut sangat sengsara, karena yang dibangun oleh Belanda pada masa itu adalah sentra-sentra produksi (agri center) semata, bukan agro based profit center. Tolok ukur keberhasilannya adalah luas areal dan produksi komoditas, bukan peningkatan kesejahteraan masyarakat/petani pelakunya. Hal ini sesungguhnya telah lama disadari oleh para pemangku kepentingan pembangunan pertanian. Salah satu moment kesadaran tersebut ialah ketika peringatan 100 tahun jawatan pertanian pada 20 tahun lalu, dipahami bahwa selama 100 tahun jawatan pertanian berkiprah ternyata nasib petani tidak banyak berubah, kesejahteraan masyarakat tani rata-rata tidak bertambah secara nyata. Maka, sejak saat itu dipertegas bahwa kesejahteraan petani adalah sebagai salah satu tujuan dari pembangunan pertanian. Namun, tujuan tersebut tampaknya masih berupa keadaan yang diasumsikan akan tercapai bila sasaran-sasaran antaranya tercapai, lagi-lagi yaitu luas areal dan produksi komoditas pertanian. Meskipun telah tercantum sebagai salah satu tujuan pembangunan pertanian, tetapi para fasilitator pembangunan pertanian tampaknya belum berani/belum mau untuk menggunakan peningkatan kesejahteraan petani secara kuantitatif sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan pertanian.
Konsep KAPEMBA lebih menekankan lagi bahwa sasaran utama yang hendak dicapai dalam pembangunan petanian ialah kesejahteraan masyarakat khususnya petani, dengan indikator utamanya yaitu tingkat pendapatan masyarakat yang terkait dengan usaha di bidang pertanian/agribisnis. Pendekatan yang dilakukan ialah pengembangan kawasan sebagai agro/agricultral based profit center melalui keterpaduan program lintas sektor dan antar wilayah.
Pengembangan Industri Benih Rakyat
Beberapa kendala terkait kedaulatan pangan Indonesia antara lain ialah masih besarnya masalah dan tantangan untuk swasembada yang berkelanjutan. Permasalahan yang nyata untuk keberlanjutan sawasembada pangan antara lain ialah bahwa sebagian input untuk produksi pangan, seperti benih/bibit, pupuk, pestisida, dan pakan ternak, sebagian masih diimpor dari negara lain. Artinya sekalipun kebutuhan bahan pangan seperti beras, jagung, ayam dll telah dapat dipenuhi dari produksi di dalam negeri, namun untuk memproduksi berbagai bahan pangan tersebut masih belum sepenuhnya bebas dari ketergantungan terhadap negara lain penghasil sarana produksi yang diperlukan.
Salah satu sarana produksi pertanian yang masih merupakan kendala yang utama dalam pencapaian swasembada komoditas pertanian khususnya untuk bahan pangan ialah ketersediaan benih di Dalam Negeri. Kemampuan penyediaan Benih Penjenis (Breeder Seed), Benih Pokok, Grand Parent Stock, dan Parent Stock serta Benih Sebar (Extention Seed) di Dalam Negeri adalah suatu prasyarat dalam mewujudkan swasembada yang berkualitas atau kedaulatan pangan. Tanpa ketersediaan benih-benih tersebut di Dalam Negeri, maka kalaupun swasembada dapat dicapai, namun dapat dikatakan sebagai swasembada semu, karena pada dasarnya masih tergantung kepada pihak asing. Mengingat hal tersebut, maka perlu adanya upaya pengembangan industri perbenihan masyarakat, yang dilakukan dengan mendorong produksi Benih Sebar (Extention Seed) oleh petani penangkar benih, dan memperbanyak Kebun Induk, Benih Pokok, dan Parent Stock oleh Balait-balai Litbang Pertanian dan Balai-balai Benih.
Gerakan Nasional Penyehatan Lahan
Lahan yg sehat ialah lahan dengan tanah yang sehat, yaitu tanah dengan sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman secara sehat. Menurunnya kesehatan lahan/tanah atau terdegradasi dapat terjadi a.l bila tanah tidak mendapat asupan bahan organik (secara alami maupun dengan perlakuan), pemakaian pupuk yang berlebihan, terjadinya pencemaran bahan kimia berbahaya (seperti pestisida kimia), pembakaran di atas lahan, erosi, dan cara pengelolaan tanah yang tidak tepat.
Lebih 70% lahan sawah di Indonesia, berada dalam kondisi yang kurang sehat atau sakit, sekitar 23% di antaranya dalam kondisi yang sakit berat. Lahan-lahan di sentra sayuran juga kebanyakan dalam kondisi sakit. Dalam pada itu, menurut FAO lahan kritis juga merupakan lahan yang sakit atau terdegradasi. Lahan yang telah terdegradasi atau lahan yang sakit produktivitasnya menurun hingga 50% bahkan lebih. Jika diusahakan untuk pertanian, lahan yang telah terdegradasi atau lahan yang sakit memerlukan input terutama pupuk kimia yang lebih banyak, dan ini menyebabkan lahan tersebut semakin rusak/sakit.
Mengingat luasnya lahan yang kondisinya tidak sehat dan tersebar di seluruh Indonesia serta tantangan kebutuhan terhadap produk-produk pertanian yang semakin meningkat, efisiensi usaha pertanian, yang tentunya terkait dengan kesejahteraan petani, maka perlu adanya Gerakan Nasional Penyehatan Lahan.
Kunci utama dalam penyehatan lahan adalah penambahan bahan organik (kompos dan atau pupuk kandang) hingga kandungan bahan organik tanah 3%-5% serta pengelolaan lahan yang baik, termasuk menjaga kondisi lengas tanah (soil moisture) yang sesuai bagi tanaman yang diusahakan. Maka, program kegiatan yang direkomendasikan untuk Gerakan Nasional Penyehatan Lahan antara lain: 1) Pengembangan industri pupuk organik/kompos/pupuk kandang berbasis kawasan dan kelompok tani, melalui insentif pembangunan rumah kompos dan bantuan usaha peternakan; 2) Pengembangan kawasan agribisnis terpadu dengan prinsip zero waste dan penyehatan lahan; 3) Pengembangan infrastruktur irigasi perdesaan, berupa embung/pompa air bertenaga surya atau pembangunan saluran-saluran irigasi dimana memungkinkan.