Oleh: Dr. Pernando Sinabutar (Bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado)
Membaca judul di atas, pembaca mungkin bertanya-tanya “Apa iya, dapat membangun hunian baru di Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK)?” Jawabannya dapat, persisnya di HPK tidak produktif yaitu HPK yang penutupan lahannya didominasi lahan tidak berhutan.
Di Provinsi Maluku Utara misalnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mencadangkan dan mengalokasikan seluas lebih kurang 97.695 hektare (ha) HPK tidak produktif (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK. 548/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018) yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk program pembangunan nasional dan daerah/pengembangan wilayah terpadu (membangun hunian baru); pertanian tanaman pangan/pencetakan sawah baru; kebun rakyat; perikanan; peternakan; atau fasilitas pendukung budidaya pertanian. Pencadangan itu telah mempertimbangkan aspek teknis, ekologi dan keanekaragaman hayati, sosial ekonomi dan budaya serta hukum.
Hal ini berarti ada seluas lebih kurang 97.695 Ha HPK tidak produktif yang tersebar di beberapa kabupaten/kota Provinsi Maluku Utara yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk program pembangunan nasional dan daerah/pengembangan wilayah terpadu seperti disebutkan sebelumnya.
Salah satu poin penting Pidato Presiden Republik Indonesia pada Sidang Paripurna MPR RI dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Periode 2019-2024 adalah bagaimana menjamin ‘delivered’ setiap program yang dijalankan birokrasi, bukan hanya menjamin ‘send’. “Saya tidak mau birokrasi pekerjaannya hanya sending-sending saja. Saya minta dan akan saya paksa bahwa tugas birokrasi adalah making delivered. Tugas birokrasi itu menjamin agar manfaat program dapat dirasakan masyarakat,” demikian ditegaskan Presiden waktu itu. Hunian Baru di HPK tidak produktif, adalah salah satu making delivered Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tanah pada HPK tidak produktif adalah satu dari beberapa sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang dimaksudkan untuk redistribusi atau legalisasi melalui Reforma Agraria. Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Penataan Aset adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah. Sedangkan Penataan Akses adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada Subjek Reforma Agraria dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan masyarakat.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor P. 42/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2019 yang merupakan perubahan atas PermenLHK Nomor P. 17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan dan Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk Sumber TORA, disebutkan bahwa untuk mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mengakibatkan ketimpangan struktur ekonomi masyarakat, telah ditetapkan Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial secara nasional.
Disebutkan pula bahwa HPK tidak produktif tersebut diperuntukkan bagi program pembangunan nasional dan daerah/pengembangan wilayah terpadu; pertanian tanaman pangan/pencetakan sawah baru; kebun rakyat; perikanan; peternakan; atau fasilitas pendukung budidaya pertanian.
Selanjutnya, disebutkan juga tahapannya yang meliputi penelitian terpadu, pencadangan, permohonan pelepasan, penerbitan keputusan pelepasan, pelaksanaan tata batas, dan penetapan batas. Aturan itu juga menjelaskan bahwa areal yang dimohon untuk dilepaskan dari HPK tidak produktif musti jelas perencanaan pemanfaatan dan penggunaannya, yang meliputi (1) rencana kegiatan/program pembangunan dari kelompok masyarakat dalam satu klaster pembangunan bernilai ekonomi masyarakat dan pertumbuhan wilayah sesuai dengan rencana pembangunan daerah; (2) penguatan kapasitas kelembagaan para anggota kelompok; (3) kebutuhan dan rencana fasilitasi pasar/hilirisasi; (4) kebutuhan dan rencana pembangunan dan penguatan dukungan infrastruktur dasar; (5) rencana pembangunan teknologi tepat guna; dan (6) kebutuhan fasilitasi permodalan dan rencana pemupukan modal.
Hal lagi penting adalah bahwa perlu ada keterpaduan program pembangunan antar sektor/instansi sesuai dengan rencana pembangunan daerah. Kemudian, harus memiliki rencana pengendalian dampak lingkungan.
Contoh
Labuha adalah sebuah kota yang terletak di Pulau Bacan dan menjadi ibukota Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Kawasan perkotaan Labuha secara geografis terletak di pantai selatan Pulau Bacan. Hari Minggu (14 Juli 2019), terjadi gempa (magnitude 7,2) di Kabupaten Halmahera Selatan yang berdasarkan keterangan dari akun Twitter resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rabu (24 Juli 2019) diberitakan bahwa ada 11 korban jiwa, ada 77 desa di 11 kecamatan yang terkena dampak gempa, ada korban luka-luka berjumlah 129 jiwa, fasilitas umum yang rusak berat ada 42 unit, sebanyak 49.057 jiwa mengungsi, yang tersebar di 15 titik, sebanyak 2.760 unit rumah rusak yang terdiri dari 1.211 rusak berat dan 1.549 rusak ringan.
Di samping itu, disebutkan pula bahwa ada 4 jembatan yang rusak. Dampak gempa tersebut dirasakan juga oleh masyarakat yang berada di Desa Kawasi Pulau Obi. Desa ini berada pada wilayah pesisir dan berada pada 0 (nol) meter di atas permukaan laut, sehingga rawan gempa dan bahaya tsunami. Ruang di desa ini semakin terbatas, akibat migrasi penduduk yang bekerja di areal tambang (hanya sekitar 300 meter dari areal tambang), bahkan pekerja tambang membentuk permukiman liar di sekitar Desa Kawasi.
Oleh karena itu, perubahan pola ruang Desa Kawasi sangat mendesak, karena ruang yang sangat terbatas untuk berkembang. Terbitnya PermenLHK Nomor P. 42/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2019 dan Keputusan Nomor SK. 548/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018, disambut baik Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan untuk mengembangkan wilayah terpadu (hunian baru) di Pulau Obi antara lain membangun fasilitas umum dan fasilitas sosial, permukiman, pusat pemerintahan, kebun rakyat dan sentra industri, termasuk memberikan ruang untuk merelokasi penduduk yang ada di Desa Kawasi.
Pengembangan wilayah terpadu ini sejalan dengan kebijakan umum dan rencana daerah yang memprioritaskan pembangunan ekonomi daerah berbasis kawasan strategis. Pulau Obi dalam Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2012-2032 adalah salah satu kawasan strategis yang ditinjau dari sudut kepentingan sumberdaya alam dan teknologi tinggi. Kawasan ini memiliki sektor unggulan yang memberikan dampak signifikan terhadap pembangunan ekonomi wilayah baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan begitu, pengembangan terhadap sektor unggulan ini akan menyebabkan pengembangan sektor-sektor lainnya. Pembangunan hunian baru tersebut akan menjadikan Desa Kawasi yang lestari dan aman dari bahaya bencana (gempa dan tsunami) dan akan didorong menjadi salah satu persiapan perwakilan pusat pemerintahan kecamatan.
Dalam rangka itu, telah diusulkan hunian baru seluas lebih kurang 695,70 ha (isi proposal Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan) dengan rincian program pembangunan nasional atau daerah untuk pengembangan wilayah terpadu antara lain fasilitas umum dan fasilitas sosial, permukiman/resettlement pusat pemerintahan dan perumahan rakyat seluas lebih kurang 487,25 ha; dan pembangunan kebun rakyat antara lain komiditas kelapa, kakao dan tanaman perkebunan lainnya seluas lebih kurang 208,45 ha.
Rencana pemanfaatan ruang seluas lebih kurang 695,70 ha tersebut akan membentuk 3 klaster, yang terdiri dari : (1) klaster ekonomi masyarakat dan pertumbuhan wilayah sesuai rencana daerah seluas lebih kurang 208,45 ha yang diarahkan untuk pembangunan komoditas perkebunan antara lain kakao, pala, cengkeh, kelapa dan tanaman buah; (2) klaster fasilitasi pasar/hilirisasi seluas lebih kurang 6,37 ha yang diarahkan pada kebutuhan dan rencana pembangunan pasar desa (aktivitas ekonomi desa), dan pembangunan sentra industri kecil minyak atsiri; dan (3) klaster pembangunan dan penguatan dukungan infrastruktur seluas lebih kurang 480,88 ha yang diarahkan untuk pembangunan dan pengembangan permukiman Desa Kawasi (relokasi permukiman Desa Kawasi), pembangunan dan pengembangan fasilitas darat pelabuhan Kawasi, penyediaan areal lapangan terbang, pembangunan infastruktur jalan, pembangunan kantor desa, pembangunan sarana olah raga lapangan sepak bola, pembangunan sarana pendidikan (PAUD, Madrasah, SLTP dan SLTA), pembangunan fasilitas kesehatan, pembangunan fasilitas pemerintahan kecamatan, dan pembangunan sarana peribadatan (Mesjid, Mushola dan Gereja).
Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Nomor P. 12/PKTL/KUH/PLA.2/12/2019 tentang Petunjuk Teknis Permohonan dan Penerbitan Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi Tidak Produktif untuk Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria telah mengarahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan untuk menggesahkan permohonannya.
Tahapannya telah dipenuhi dan dilakukan dengan benar, seluruh persyaratan telah dipenuhi, bahkan tata batas sudah tuntas dengan ditandatanganinya Berita Acara Tata Batas dan Peta Hasil Tata Batas oleh Panitia Tata Batas, kemudian hasilnya telah dilaporkan ke Menteri melalui Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Saat ini, tinggal menunggu Keputusan tentang Penetapan Batas Areal Pelepasan HPK tidak produktif dalam rangka sertifikasi.
Rangkaian yang seolah rumit dan panjang itu, tidak menyurutkan semangat Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan untuk wujudkan hunian baru yang layak bagi masyarakat Desa Kawasi, yang selalu was-was terhadap bencana gempa dan tsunami. Proses dan tahapan yang sudah dilalui ini, hendaknya menjadi contoh bagi kabupaten/kota lainnya di Provinsi Maluku Utara, bahkan wilayah lainnya di Indonesia yang memiliki alokasi indikatif HPK tidak produktif. Lebih kurang 97.695 ha HPK tidak produktif di Provinsi Maluku Utara yang telah dialokasikan pemerintah untuk salah satunya program pembangunan nasional dan daerah/pengembangan wilayah terpadu hendaknya tidak sekedar angka, namun benar-benar dipraktikkan dan memberi manfaat bagi pertumbuhan wilayah.