Industri Butuh Penjadwalan Kredit

Industri kehutanan, terutama skala kecil-menangah, mulai sempoyongan dihantam pandemi penyakit virus korona baru (COVID-19). Penutupan usaha dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai mengancam ribuan pekerja furnitur dan kayu pertukangan. Di hulu pun, kinerja HPH dan HTI mulai menurun. Stimulus pemerintah dibutuhkan sebelum masalah menjadi makin parah.

Efek pandemi COVID-19 mulai dirasakan industri kehutanan. Apalagi, produk industri ini mayoritas untuk pasar ekspor. Itu yang dialami industri furnitur, kayu pertukangan bahkan industri kayu lapis. Permintaan dari pasar Amerika, Eropa dan China meredup, bahkan berhenti.

“Buyer di negara-negara di kawasan itu sudah mulai menghentikan ordernya ke anggota kami,” ujar Sekjen Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur yang dihubungi di Jakarta, Jumat (24/4/2020). Padahal, Eropa dan Amerika merupakan pasar utama yang menyumbang 80% pendapatan ekspor produk furnitur nasional, dengan besaran masing-masing 800-900 juta dolar AS/tahun.

Industri kayu pertukangan juga tak kalah pahitnya. Bahkan, Ketua Umum Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan Kayu Pertukangan Indonesia (ISWA), Soewarni menyebut, COVID-19 makin memperburuk kondisi yang sudah terjadi sebelumnya. Dari 547 unit industri, sudah 113 industri skala kecil dan 6 industri skala besar tak lagi beroperasi akibat dampak pandemi korona. “Situasi ini sudah terjadi sejak sebelum pandemi COVID-19 dan makin terasa  dampaknya sekarang,” kata Soewarni.

Industri kayu lapis pun sama. Menurut Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), Bambang Soepijanto, industri mulai mengalami penurunan produksi. Jika sebelumnya 137 industri kayu lapis yang ada mampu berproduksi 8,5 juta m3 atau rata-rata 717.357 m3/bulan, namun produksi Januari-Februari 2020 hanya berproduksi 548.987 m3 atau rerata 275.000 m3/bulan. Hanya saja, Bambang menyebut tren penurunan produksi lebih kepada mahalnya kayu bulat (log) akibat menurunnya produksi di hulu.

Penurunan produksi log diakui Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto. Pada triwulan I tahun 2020, produksi kayu dari pemegang IUPHHK Hutan Alam alias HPH turun hingga 20% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara produksi kayu dari IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI) memang masih naik 19%. “Tapi pada triwulan II, dampak COVID-19 akan makin terasa. Pelaku usaha di hulu maupun hilir akan turun kinerjanya,” katanya.

Itu sebabnya, pelaku usaha kehutanan sepakat menyatakan perlunya stimulus dari pemerintah yang lebih membantu. Sejauh ini pemerintah memang memberikan insentif perpajakan (pajak penghasilan atau PPh Pasal 21, Pasal 22 dan Pasal 25), namun dinilai tidak efektif jika produksi anjlok dan terhenti. Yang paling dibutuhkan dan sangat membantu justru penjadwalan kredit, baik modal kerja maupun kredit lainnya, serta suntikan kredit baru.

“Kalau satu ini saja bisa diberikan, sudah sangat membantu,” ujar Bambang. AI

Selengkapnya baca:

Tabloid AgroIndonesia, Edisi No. 764 (28 April-4 Mei 2020)

Menunggu Insentif Paling Dinanti

Pinjaman Lunak sampai Talangan THR