Lembaga keuangan diingatkan untuk menyalurkan pembiayaan pada industri yang dikelola secara berkelanjutan. Salah satu yang bisa dilirik adalah industri bubur kayu (pulp) dan kertas dengan bahan baku dari hutan tanaman industri (HTI) yang dikelola secara lestari.
Demikian terungkap saat seminar “Peran Sektor Jasa Keuangan Terhadap Pengelolaan Hutan Lestari dan Peningkatan Ekspor Industri Pulp dan Kertas,” di Jakarta, Selasa (27/2/2018).
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menuturkan untuk memicu pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pihaknya mendorong munculnya inovasi pembiayaan yang ramah lingkungan hidup. “OJK mendorong terbentuknya sektor jasa keuangan yang lebih bertanggung jawab, transparan, dan berorientasi jangka panjang,” kata dia.
Wimboh menuturkan, untuk tujuan tersebut, OJK telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan sejak 2014. Kemudian pada tahun tahun 2017 diterbitkan peraturan terkait Keuangan berkelanjutan. Pertama, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi LJK, Emiten dan Perusahaan Publik. “POJK itu merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran sektor jasa keuangan terhadap adanya risiko sosial, lingkungan hidup dan tata kelola pada setiap proses bisnisnya,” kata Wimboh.
Peraturan lainnya adalah POJK Nomor 60 Tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond). Peraturan ini mendorong perluasan sumber pembiayaan atau investasi pembangunan berwawasan sosial dan lingkungan hidup dapat diupayakan melalui instrumen pembiayaan jangka panjang seperti green bond.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) Dradjad H Wibowo menilai positif dan siap mendukung kebijakan OJK yang tertuang dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan. “Sebagai tindak lanjut OJK dan IFCC akan menyiapkan program pelatihan bagi lembaga jasa keuangan untuk mengenalkan potensi bisnis pulp dan kertas serta standar mutu di bidang tersebut sebagai bagian dari manajemen risiko lingkungan hidup dan sosial bagi lembaga jasa keuangan,” katanya.
Industri pulp dan kertas merupakan industri berbasis kehutanan yang mengalami perkembangan dan dapat memberikan kontribusi pada devisa negara cukup besar. Pada tahun 2016, industri pulp dan kertas berkontribusi 6,7% dari total PDB industri pengolahan.Sementara tahun 2017, dijelaskan, industri pulp dan kertas menyumbang devisa negara non migas sekitar 1,73 miliar dolar AS dan 3,57 miliar dolar AS.
Di samping itu, industri ini secara langsung dapat menyerap tenaga kerja sekitar 260.000 orang dan sekitar 1,1 juta orang untuk tenaga kerja tidak langsung berdasarkan data Kementerian Perindustrian. Saat ini Indonesia tercatat sebagai produsen pulp terbesar ke-9 dunia serta produsen kertas terbesar ke-6 dunia.
Sertifikasi
Dradjad menuturkan, untuk menjaga keberlanjutan industri pulp dan kertas tidak hanya diperlukan dukungan pendanaan namun juga pengelolaan yang berkelanjutan dengan melibatkan komponen utamanya yaitu kondisi sosial masyarakat dan ketersediaan sumber daya alam melalui pengelolaan hutan lestari.
Menurut Dradjad, pemenuhan standar kualitas baik yang telah ditetapkan pemerintah maupun yang menjadi persyaratan perdagangan internasional, seperti adanya sertifikat hutan lestari merupakan bentuk pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup bagi lembaga jasa keuangan termasuk mengantisipasi penolakan ekspor produk hutan dan turunannya dari Indonesia.
Untuk diketahui, IFCC adalah pengembang sertifikasi pengelolaan hutan lestari di Indonesia. IFCC direkognisi oleh PEFC (Program for the Endorsement of Forest Certification), sebuah skema sertifikasi pengelolaan hutan lestari global terbesar di dunia.
Saat ini luas hutan yang telah disertifikasi pengelolaan hutan lestari PEFC mencapai 303 juta hektare pada 750.000 unit pengelola. Selain itu ada 19.800 industri yang telah mendapat sertifikat lacak balak (chain of custody/CoC) PEFC, yang berarti bahan bakunya hanya bersumber dari hutan hutan dikelola secara lestari.
Di Indonesia, tutur Dradjad, telah ada 58 unit manajemen hutan yang memperoleh sertifikat IFCC/PEFC dengan luas areal pengelolaan 3,6 juta hektare. Sementara industri yang memperoleh sertifikat CoC IFCC/PEFC sebanyak 32 unit.
Dia menuturkan, sejumlah produsen terkemuka didunia telah memanfaatkan produk dengan sertifikat PEFC. Sebut saja majalah The Economist, produsen busana Zara, dan produsen alas kaki, Bata. Di tanah air, produk yang memanfaatkan sertifikat IFCC/PEF diantaranya Gramedia, dan produsen kertas APP dan April.
Menurut Dradjad, ada kode unik untuk melihat apakah produk bersertifikat PEFC tersebut berasal dari Indonesia atau bukan. Kode itu berupa angka 39. “Salah satu perusahaan yang memanfaatkan adalah Air Asia,” kata dia.
Komitmen
Sementara itu Anggota Dewan Pengurus Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Dian Novarina menegaskan komitmen pemegang izin HTI di Indonesia untuk mengelola hutan secara berkelanjutan.
Saat ini ada sekitar 10,8 juta izin HTI yang telah diterbitkan pemerintah. HTI memproduksi bahan baku untuk industri pulp dan kertas, serta rayon. Tak semua areal konsesi tersebut dijadikan areal hutan tanaman. Berdasarkan ketentuan, maksimum hanya 70% yang bisa dimanfaatkan untuk tanaman inti. Sisanya, sebanyak sebesar minimal 20% untuk tanaman kehidupan, dan minimal 10% untuk konservasi.
“Ini di luar hutan konservasi yang sudah ditetapkan pemerintah,” kata Dian.
Dian menuturkan, untuk memastikan komitmen keberlanjutan diimplementasikan, produsen pulp dan kertas di Indonesia telah membuat kebijakan keberlanjutan komprehensif sebagai panduan kegiatan operasional. “April punya Sustainable Forest Management Policy dan APP punya Forest Conservation Policy,” katanya.
Contoh kebijakan tersebut misalnya menghentikan seluruh aktifitas pembukaan hutan alam untuk HTI oleh perusahaan tersebut dan seluruh rantai pasoknya. Selain itu hanya akan mengembangkan areal yang bukan merupakan hutan, sesuai dengan hasil identifikasi dalam penilaian HCV (High Conservation Value) dan HCS (High Carbon Stock) secara independen.
“Ada juga kebijakan untuk mengkonservasi 1 hektare lahan setiap 1 hektare areal yang dibangun menjadi hutan tanaman,” katanya.
Kebijakan lain adalah memperkuat upaya pengentasan kemiskinan di masyarakat pedesaan sekitar wilayah operasional dan menerapkan prinsip-prinsip FPIC (free, prior and informed consent) sebelum dimulainya kegiatan operasional yang baru. Selain itu ada kebijakan untuk penanganan keluhan masyarakat dan resolusi konflik yang bertanggung jawab.
Kebijakan itu juga termasuk soal pengendalian perubahan iklim. Perusahaan pulp dan kertas nasional membangun sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Dian melanjutkan produsen pulp dan kertas Nasional pun saat ini rutin melansir laporan keberlanjutan yang diaudit oleh pihak ketiga yang independen, seperti KPMG atau Bureau Veritas. Ini sudah sesuai dengan apa yang diarahkan dalam ketentuan OJK.
Sugiharto