Perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI) karet, PT Royal Lestari Utama (RLU) akan mendapatkan kucuran pembiayaan dari Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF), sebuah kemitraan antara UN Environment Programme, World Agroforestry Centre (ICRAF), ADM Capital, dan BNP Paribas.
Pembiayaan bersumber dari obligasi berkelanjutan (Sustainability Bond) senilai 95 juta dolar AS atau sekitar Rp1,3 Triliun dan akan membantu perusahaan patungan antara Michelin dari Perancis dan Grup Barito Pacific dari Indonesia itu untuk produksi karet alam yang ramah iklim dan satwa liar, dan menyertakan aspek-aspek sosial di Provinsi Jambi di Sumatera, dan Provinsi Kalimantan Timur.
Demikian pernyataan pers yang diterima, Rabu (28/2/2018). Nantinya, dari luasan HTI sebesar 88.000 hektare, sekitar 45.000 hektare akan dicadangkan untuk mata pencaharian masyarakat setempat dan kegiatan konservasi. Juga akan terlibat dalam kegiatan ini adalah WWF, yang telah bekerja bersama melindungi hutan dengan Cadangan Karbon Tinggi (High Carbon Stock/HCS) dan Nilai Karbon Tinggi (High Carbon Value/HCV) yang masih tersisa di kawasan HTI RLU, serta daerah-daerah konservasi satwa liar dan riparian yang sangat penting.
Di Jambi, kedua daerah HTI yang dimiliki oleh RLU dan dua wilayah kerja Restorasi Ekosistem (RE) WWF membentuk sebuah zona penyangga berdampingan yang melindungi Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang merupakan salah satu lokasi terakhir di Indonesia dimana merupakan habitat gajah, harimau, dan orangutan hidup bersama. Ketika pengembangan HTI telah mencapai usia matang, HTI karet ini diharapkan akan memberikan sekitar 16.000 lapangan pekerjaan yang dapat menjadi sumber pekerjaan bagi masyarakat setempat.
“Kami merasa terhormat dapat mengambil langkah penting ini bersama TLFF dalam membentuk sebuah kemitraan yang memberikan dampak bagi pengembangan industri karet yang lebih berkelanjutan,” kata Direktur Utama RLU David Sulaiman.
Sementara Ketua TLFF Kuntoro Mangkusbroto menyebut keselarasan proyek ini dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) melalui pendekatan triple bottom line holistik yang menempatkan masyarakat dan alam sebagai inti dari semua proyek TLFF.
“Proyek ini mendemonstrasikan komitmen kami terhadap pasar karet yang berkembang dan berkelanjutan untuk negara ini, dan dukungan positif bagi masyarakat setempat,” katanya.
Hingga Desember 2017, 18.100 hektar perkebunan karet telah ditanami, dan obligasi TLFF yang dikeluarkan ini akan berkontribusi pada pembiayaan pengembangan lebih lanjut perkebunan dimana USAID telah memberikan jaminan kredit sebagian untuk transaksi tersebut.
Direktur Eksekutif UN Environment Erik Solheim, mengapresiasi kemajuan yang telah dicapai sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama antara UN Environment dan BNP Paribas pada One Planet Summit di Paris pada bulan Desember 2017, yang menargetkan pembiayaan berkelanjutan inovatif senilai 10 miliar dolar AS hingga tahun 2025 untuk proyek-proyek yang mendukung pertanian dan kehutanan berkelanjutan dengan cara-cara yang membantu mengatasi krisis iklim.
Direktur Utama PT Bank BNP Paribas Indonesia Luc Cardyn, menyatakan sebagai Pengelola Utama transaksi Obligasi Berkelanjutan terobosan ini, BNP Paribas merasa bangga dapat membantu memberikan manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial kepada Indonesia.
Salah satu pendiri dan mitra ADM Capital, Chris Botsford, mengatakan, membalikkan tren deforestasi dan perubahan iklim merugikan yang ada saat ini akan membutuhkan miliaran dolar. Modal sektor swasta harus menjadi bagian penting dari solusi ini. “Kami harap transaksi ini akan mengilhami banyak pihak lain untuk segera mengambil tindakan,” katanya.
Sementara Direktur Jenderal World Agroforestry Centre (ICRAF) Tony Simons, merasa sedang senang telah dilibatkan dalam pendekatan pendanaan yang dilaksanakan. “Sebuah paradigma baru telah terbentuk dengan investasi bernilai tinggi untuk memberikan keuntungan lingkungan dan sosial yang substansial serta keuntungan keuangan dengan risiko bersama.” Transaksi ini adalah obligasi berkelanjutan korporasi pertama di Asia dan obligasi berkelanjutan yang pertama di ASEAN. Sugiharto