Ir. Indah Megahwati: Jika Lahan Sawah Tidak Dijual, Petani Dapat Insentif

Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan, PSP, Ir. Indah Megahwati

Masalah lahan pertanian menjadi perhatian pemerintah, terutama Kementerian Pertanian (Kementan). Apalagi setelah keluarnya hasil pemotretan lahan baku sawah oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), bahwa telah terjadi penurunan luas sawah Indonesia.

Jika tahun 2013 tercatat luas sawah baku mencapai 7,75 juta hektare (ha), namun dalam lima tahun berselang (2018) turun menjadi 7,1 juta ha atau turun sekitar 650.000 ha. Konversi lahan ini terjadi untuk perumahan, industri dan infrastruktur lain, seperti jalan.

Terlepas dari itu, yang jelas alih fungsi lahan pertanian memang sulit dihindari. Buktinya, berbagai aturan, mulai dari Undang-undang (UU) hingga Peraturan Pemerintah (PP), sudah ada. Namun, konversi lahan tetap terjadi.

Kuncinya memang ada di Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Jika Pemda konsisten untuk pertahanan lahan pertanian, maka konversi bisa diatasi.

Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ir Indah Megahwati, MP mengatakan, lahan pertanian harus dipertahankan untuk memproduksi pangan.

Lahan pertanian produktif yang masih ada saat ini dipertahankan dengan menerapkan ketentuan peraturan yang ada. Di samping itu, Kementan juga selalu mencari potensi lahan baru, baik melalui program cetak sawah baru atau mengoptimalkan lahan-lahan tidur yang selama ini belum di manfaatkan.

Sebagai contoh, tahun 2019 mendatang, Kementan akan mengembangan sedikitnya 550.000 hektare (ha) lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak di enam provinsi. Jika program ini terlaksana dengan baik, potensi penambahan produksi mencapai 6,6 juta ton.

“Selain itu, program cetak sawah tetap diteruskan. Tahun 2019, kita akan cetak sawah baru sekitar 12.000 ha,” kata Indah Megahwati kepada Agro Indonesia sebelum mengikuti pemaparan empat tahun kinerja Ditjen PSP di Jakarta, Jumat (23/11/2019). Berikut petikannya.

Lahan baku sawah Indonesia turun, pendapat Anda bagaimana?

Hasil pemotretan yang dilakukan BPS masih harus kita cek lapangan. Kita bukan tidak percaya, mengingat beda sistem penghitungan, hasilnya pasti berbeda. Pengurangan lahan baku sawah tetap ada, tapi  jumlahnya tidak sebanyak itu. Kami masih akan melakukan pengecekan di lapangan.

Menurut pendapat saya, lahan itu tidak hilang atau beralih fungsi. Lahan yang dikatakan berkurang itu tetap ada, cuma selisih atau cara melihatnya berbeda.

Apa Anda yakin penyusutan lahan terjadi karena beda sudut pandang dan cara penghitungan saja?

Iya! Soalnya, informasi yang kami terima, pemotretan dilakukan pada saat musim hujan, sehingga lahan rawa tergenang air, maka hasil pemotretannya lahan itu terlihat. Mungkin di sini error-nya. Apalagi, pengurangan lahan baku sebanyak 650.000 ha itu banyak terjadi di Sumatera Selatan dan Kalimantan. Provinsi ini adalah daerah rawa.

Di daerah Jawa, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogjakarta, saya baru dapat kabar bahwa lahan sawah justru bertambah sekitar 200.000-an hektare.

Bagaimana realiasi cetak sawah dalam empat tahun ini?

Saya ini baru menjabat. Jadi belum banyak tahu. Tapi dari data yang ada, realisasi adanya cetak sawah baru dalam kurun waktu empat tahun terakhir hingga awal November tercapai 215.811 ha di berbagai daerah.

Capaian tertinggi terjadi pada 2016, yakni 129.096 ha. Sementara pada 2015 tercapai seluas 20.070 ha, dan tahun 2017 seluas  60.243 ha. Untuk tahun ini baru mencapai 6.402 ha.

Apakah cetak sawah ini salah satu cara untuk menambah luas lahan?

Iya dong! Program cetak sawah merupakan upaya untuk menambah luas baku lahan sawah, sekaligus sebagai salah satu solusi dan kompensasi terhadap alih fungsi lahan yang terjadi saat ini.

Selain itu, dengan peraturan perundang-undangan yang ada, kita berusaha untuk mempertahankan lahan sawah yang sudah ada. Kunci untuk mempertahanan lahan sawah itu ada di Pemda setempat.

Kenapa di Pemda?

Kita sudah punya UU No. 41 tahun 2009 tentang Pelindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, berserta Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan. Selain itu, ada PP No. 12/2012 tentang Insentif, PP No. 21/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Berkelanjutan.  Juga UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang berserta PP.

Tapi dengan perangkat aturan, kalau Pemda-nya tidak konsisten mempertahankannya, ya lahan sawah tetap beralih fungsi. Pemda punya peran paling besar untuk mempertahankannya. Namun, sayangnya, Pemda sering kali berlindung dengan revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Dalam revisi itu seringkali ada pemulihan lahan pertanian yang mau dikonversi.

Untungnya, Dirjen kami (Pending Dadih Permana, Red.) tidak mau tanda tangan perubahan atau revisi RTRW kalau isinya ada menyangkut konversi lahan atau pemutihan lahan pertanian.

Apa tanggapan Anda tentang adanya usulan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang lahan baku pertanian?

Kami berharap Perpres ini nantinya akan melengkapi peraturan yang sudah ada. Dalam Perpres tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) akan ada insentif bagi pemilik lahan yang tidak mengalihfungsikan lahannya.

Begitu juga dengan pemilik lahan yang ingin membuka sawah. Insentif bisa berbentuk sarana produksi pertanian (saprodi) seperti  bibit, pupuk.  Untuk insentif keuangan belum disepakati.

Saat ini Perpres LP2B sudah berada di Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM) untuk menunggu pemberian nomor Perpres. PSP