ITC: EUDR ‘Bencana’ buat Perdagangan Global

Pembukaan lahan hutan untuk kebun sawit di Kalteng. Foto: the guardian.com

Aturan baru Uni Eropa untuk mengatasi deforestasi, yakni EU Deforestation Regulation (EUDR), mendapat kecaman dari International Trade Centre (ITC). Badan gabungan antara PBB dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ini menyebut EUDR bisa jadi “malapetaka” terhadap perdagangan global.

Hal itu terjadi karena dengan aturan tersebut blok ekonomi Eropa tidak membantu sama sekali petani-petani kecil dan negara berkembang untuk beradaptasi. Bahkan aturan itu sama saja mendukung perusahaan besar karena kemampuannya dan memutus para pemasok kecil, kata Direktur Eksekutif ITC, Pamela Coke-Hamilton.

Kepada The Financial Times, dia menegaskan bahwa larangan terhadap berbagai produk yang dikaitkan dengan deforestasi untuk masuk ke UE menguntungkan perusahaan besar, karena mereka bisa melacak dari mana asal barang yang mereka hasilkan dan berisiko “memotong” pemasok yang lebih kecil.

“Apa yang mungkin dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar adalah, karena para petani kecil ini tidak mampu melakukan ketertelusuran (traceability), gampangnya tinggal putus saja,” ujarnya, Senin (21/8).

Negara-negara seperti Brasil atau Honduras, selaku pemasok utama komoditi kopi ke UE, atau Indonesia dan Malaysia selaku eksportir utama dunia untuk minyak sawit dan karet, adalah negara yang paling terdampak oleh regulasi baru EUDR.

Coke-Hamilton memperingatkan bahwa para eksportir dari negara-negara tersebut bisa mengakali EUDR dengan mengirim barang-barang ekspornya ke negara-negara yang kurang ketat aturan impornya, yang buntutnya bisa mengganggu arus perdagangan.

Tergantung pada seberapa baik UE menangani jangkauannya ke negara-negara berkembang, yang jelas dampak UU tersebut terhadap perdagangan global bisa jadi “bencana atau bisa juga baik-baik saja,” tambahnya.

Regulasi yang akan berlaku efektif pada akhir 2024 ini merupakan UU pertama di dunia yang melarang impor berbagai produk yang terkait dengan penggundulan hutan, antara lain untuk komoditi minyak sawit, kakao, kopi, kayu, kedele, karet dan ternak.

UU ini merupakan salah satu agenda lingkungan yang ambisius, yang ditetapkan oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen tahun 2019, dalam rangka UE mencapai target net zero emisi gas rumah kaca pada tahun 2050.

Para menteri dari Indonesia dan Malaysia, yang khawatir bahaya UEDR terhadap industri minyak sawit mereka, tercatat paling gencar mendesak UE melonggarkan aturan tersebut.

Lingkaran setan

Jika para petani kecil tidak bisa memenuhi persyaratan untuk mengekspor barang yang masuk dalam daftar EUDR, maka UU itu berisko menciptakan “lingkaran setan”, kata Coke-Hamilton. “Sekali saja Anda kehilangan pangsa pasar, maka Anda kehilangan pemasukan, dan selanjutnya bakal banyak menaikkan angka kemiskinan, dan berikutnya menaikkan angka deforestasi karena akar dari deforestasi adalah kemiskinan.

“Kita (berisiko) masuk dalam perangkap untuk memperkuat sesuatu yang sebetulnya sedang coba kita ubah,” tambahnya. ITC memberikan dukungan teknis mengenai masalah-masalah perdagangan kepada negara-negara yang lebih kecil.

EUDR akan mengkategorikan negara-negara berdasarkan risiko deforestasi atau hutan yang terdegradasi dalam skala rendah, “standar” atau tinggi. Barang-barang dari negara dengan risiko deforestasi yang tinggi harus mengalami pengecekan dan due diligence atau uji tuntas oleh petugas pabean.

Seluruh 27 negara anggota UE akan bertanggung jawab menjalankan pemeriksaan dan menolak masuk barang yang berasal dari kawasan hutan yang dibabat atau dirusak sejak tahun 2020.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) memperkirakan hutan seluas 420 juta hektare (ha) — kawasan yang lebih luas dari Uni Eropa — telah musnah di seluruh dunia antara tahun 1990-2020. Setiap tahun dunia terus kehilangan kawasan hutan seluas 10 juta ha, kata komisi tersebut.

UEDR menyatakan, “ketika mendapatkan produk, berbagai upaya yang layak perlu dilakukan untuk menjamin bahwa harga yang adil dibayar kepada produsen, terutama petani kecil, sehingga memungkinkan pendapatan untuk hidup dan mengatasi secara efektif kemiskinan sebagai akar penyebab deforestasi.”

Komisi telah mengadakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan dari sejumlah negara, termasuk salah satunya di WTO pada Juni.

Menurut Coke-Hamilton, menimbang krisis iklim yang akut, dia mendukung maksud dan tujuan dari EUDR. Namun, meski diberikan kelonggaran untuk petani kecil, persyaratan informasi dan kewajiban penggunaan teknologi geolokasi masih tetap jadi beban berat.

“Banyak (petani kecil) yang mencoba bertahan selama era pasca-COVID, krisis biaya hidup, dan perubahan iklim. Mereka terjebak dalam pusaran untuk bertahan hidup,” tambahnya.

Komisi Eropa mengatakan, EUDR “berlaku pada komoditi, bukan negara, dan tidak bersifat hukuman ataupun proteksionis, tapi menciptakan permainan yang setara. Aturan ini akan diterapkan dalam cara yang adil yang tidak bersifat diskriminasi yang sewenang-wenang atau tidak dapat dibenarkan kepada produsen negara-ketiga, atau restriksi perdagangan yang terselubung.”

Ditambahkan pula, EUDR akan “sesuai sepenuhnya” dengan aturan WTO dan “diperkirakan meningkatkan peluang pasar untuk produsen-produsen yang lestari tanpa memandang besarannya.”

Brussells harus mengkaji UU ini dan dampaknya, terutama untuk petani kecil dan masyarakat adat, pada Juni 2028. AI