Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), San Afri Awang dan Dirjen Penegakan Hukum Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani terkejut. Bagaimana tidak. Inspeksi mendadak yang dipimpin langsung keduanya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan menemukan, niat baik pemerintah untuk mencapai swasembada gula ternyata disalahgunakan.
Bayangkan saja. Kawasan hutan yang diberikan izin pelepasan untuk pembangunan kebun tebu, malah berubah peruntukannya menjadi kebun sawit!
Inilah modus baru pembukaan hutan di tengah, kebijakan moratorium pembukaan hutan.
Dalang dari pat gulipat ini diduga PT Dinamika Graha Sarana (DGS), anak usaha raksasa agro industri PT Tunas Baru Lampung Tbk. “Indikasi pelanggaran yang kami temukan terus didalami. Kami juga akan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk mengungkap adanya kerugian negara,” kata Awang, di Jakarta, Rabu (14/12/2016).
Sidak di OKI merupakan perintah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berdasarkan surat tugas No PT.30/MENLHK/SETJEN/SET-1/11/2016 tertanggal 4 November 2016. Menteri Nurbaya menugaskan untuk dilakukan monitoring dan evaluasi operasi dan pemeliharaan restorasi gambut. Tugas ini merupakan bagian penting dari sistem pengendalian dan pemantauan pada objek-objek pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan dan pengendalian restorasi gambut di tujuh provinsi dan empat kabupaten prioritas.
Awang menuturkan, monitoring dan sidak dilakukan pada tanggal 22 November 2016 terhadap beberapa perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Sumatera Selatan. Sidak dilanjutkan pada tanggal 26 November 2016 ke PT DGS, di Kabupaten OKI. PT DGS adalah pemegang izin pelepasan kawasan hutan untuk tanaman tebu sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No SK.249/Menhut-II/2012 dengan luas 39.553,16 hektare (ha).
Di lapangan, konsesi DGS ternyata dibangun perkebunan sawit. Ajaibnya, HGU (Hak Guna Usaha) di lahan tersebut justru diberikan kepada perusahaan lain, yaitu PT Samora Usaha Jaya (SUJ) seluas 27.000 ha. Sementara sisanya untuk kebun tebu PT DGS. Tapi itupun HGU-nya belum terbit. “Di sini ada indikasi pelanggaran karena mengubah izin peruntukan pelepasan tebu menjadi kebun sawit,” kata Awang.
Temuan di lapangan sungguh disayangkan. Pasalnya, pemerintah saat ini sedang gencar-gecarnya membangun kebun tebu dan industri gula. Maklum, ketergantungan terhadap gula impor sungguh besar. Setiap tahun impor gula konsumsi sekitar 300.000-400.000 ton, sementara impor gula mentah bisa mencapai 3 juta ton.
“Perusahaan ini tidak taat, tidak disiplin, dan terindikasi menyalahi wewenang dan kepercayan pemerintah,” kata Awang.
Tak hanya itu, di lahan yang hampir seluruhnya gambut itu, ternyata dikelola jauh dari kategori baik. Lahan sudah diolah dan dibuat kanal-kanal baru tanpa pengaturan air. Di tahun 2015, lahan itu juga juga diketahui terbakar, sehingga harusnya pengelolaannya mengikuti arahan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Awang mengungkapkan, lahan dipersiapkan sampai 4.500 ha untuk ditanami sawit, pembibitan sawit terdapat di lapangan, dan di bagian tertentu sudah ditanami sawit. “Seharusnya, areal terbakar tidak boleh ditanami dan tidak boleh dibuat kanal baru karena berada dalam pengawasan pemerintah dan pemegang izin untuk dilakukan restorasi,” katanya.
DPR
Awang menuturkan, terungkapnya dugaan ini tak lepas dari perhatian yang diberikan Komisi IV DPR. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, masalah PT DGS ini sempat mendapat perhatian dan dipertanyakan kepada Kementerian LHK atas kebenaran informasi lapangan. “Untuk itu, KLHK memberikan apresiasi kepada Komisi IV DPR RI yang sangat sensitif terhadap masalah perijinan dan pelepasan kawasan hutan untuk tebu, di mana realisasinya digunakan untuk menanam kelapa sawit,” katanya.
Saat ini, Kementerian LHK terus mendalami dugaan pelanggaran yang dilakukan DGS. Kementerian LHK akan menelusuri pemberian HGU dan dokumen AMDAL perusahaan ini, karena tidak merujuk kepada ruang yang dimohon dan yang diizinkan. Proses penyelidikan akan melibatkan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian LHK.
“Kami sedang dalam tahap pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) dalam rangka proses penyelidikan. Selain itu juga mengkaji instrumen hukum apa yang bisa diterapkan,” kata Rasio Ridho Sani. Sugiharto
Bukan yang Pertama Ganti Komoditi
PT Dinamika Graha Sarana (DGS) adalah satu dari sederet anak usaha dari PT Tunas Baru Lampung Tbk. Payung besar perusahaan tersebut adalah Sungai Budi Group. Dalam situs perusahaan www.tunasbarulampung.com. yang diakses Jumat (16/12/2016), disebutkan Sungai Budi Grup didirikan pada tahun 1947 dan merupakan satu perintis industri pertanian di Indonesia. Saat ini, Sungai Budi Group adalah salah satu pabrikan dan distributor produk konsumen berbasis pertanian terbesar di Indonesia.
Anggota lain dari Sungai Budi Group adalah perusahaan publik PT Budi Starch Sweetener & Tbk (Sebelumnya PT Budi Acid Jaya Tbk), pabrikan tepung tapioka yang terbesar dan paling terintegrasi di Indonesia.
PT Tunas Baru Lampung Tbk didirikan pada tahun 1973. TBLA, demikian kode bursa yang disandang perusahaan itu, berdiri karena keinginan mendukung pembangunan negara dan memanfaatkan keunggulan kompetitif Indonesia di bidang pertanian.
TBLA mulai beroperasi di Lampung pada awal tahun 1975, sejak itu berkembang menjadi salah satu produsen minyak goreng terbesar dan termurah. TBLA mulai terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tanggal 14 Februari 2000.
TBLA memiliki luas kebun mencapai 111.153 hektare. Sebagian besar merupakan kelapa sawit. Selain itu, ada juga tebu dan nanas (lihat grafis).
TBLA sepertinya lekat dengan pat gulipat peruntukan lahan. Saat ini, salah satu anak usahnya, PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL) sedang menghadapi upaya penegakan hukum dari Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Menariknya, jika konsesi di OKI diubah peruntukannya dari tebu menjadi sawit, konsesi BNIL diubah peruntukannya dari sawit menjadi tebu.
“Untuk kasus PT BNIL ini, apa yang kami lakukan dan tegakan sesuai dengan aturan. Itu jelas merupakan acuan kami dalam setiap langkah pengambilan keputusan pada pemerintah daerah kami,” kata Wakil Bupati Tulang Bawang Heri Wardoyo usai rapat yang difasilitasi kantor Kemenko Polhukam, di Jakarta, Kamis (1/9/2016) seperti dikutip sejumlah media.
Dia menjelaskan, Bupati Tulang Bawang memang sempat mengizinkan perubahan jenis tanaman BNIL pada tahun 2013. Namun, perusahaan tersebut diwajibkan untuk melengkapi dengan Amdal. BNIL gagal memenuhi kewajiban tersebut. Bupati Tulang Bawang pun kemudian menerbitkan SK Nomor B/199/II.1/HK/TB/2015 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Tulang Bawang Nomor B/243/II.1/HK/TB/2013 tentang Persetujuan Perubahan Jenis Tanaman Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya PT BNIL pada 18 Mei 2015.
Ditambah lagi, berdasarkan RTRW Tulang Bawang, konsesi BNIL dialokasikan untuk tanaman kelapa sawit.
BNIL sempat mengajukan gugatan atas putusan Bupati Tulang Bawang. Menang di PTUN, BNIL kemudian kalah di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan.
Tidak puas dengan hasil tersebut, BNIL kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Meski demikian, putusan kasasi MA pada 23 Agustus 2016 menguatkan bahwa putusan Bupati Tulang Bawang yang mengeluar SK yang mencabut SK sebelumnya adalah sah.
Heri menegaskan, BNIL melanggar UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena tidak memiliki Amdal untuk budidaya tebu, padahal perusahaan tersebut telah menanam tebu di lahan seluas 6.475 hektare.
BNIL juga melanggar Peraturan Derah Kabupaten Tulang Bawang No 05 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tulang Bawang tahun 2012-2032. Sugiharto
Perkebunan PT Tunas Baru Lampung Tbk
PERUSAHAAN | LOKASI | AREA YG ADA (HEKTARE) | AREA TERTANAM | AREA MATANG | AREA BELUM MATANG | PERKEBUNAN | IZIN |
TBL | Lampung | 17 | 17 | 17 | – | Kelapa Sawit | HGU NO. U 56 HGU NO. U 48 HGU NO. U 10 / LT HGU NO. U 2 / LT HGU NO. U 3 / LT |
TBL | Lampung | 5,466 | 4,116 | – | 4,116 | Tebu | |
TBL | Palembang | 8,000 | 7,507 | 7,313 | 194 | Kelapa Sawit | HGU NO. 9 HGU NO. 10 HGU NO. 11 HGU NO. 12 HGU NO. 13 HGU NO. 18 HGU NO. 19 HGU NO. 20 HGU NO. 64
HGU NO. 65 Ijin lokasi No.528 th.2009 |
TBL | Palembang | 5,000 | 2,872 | 1,317 | 1,555 | Kelapa Sawit | HGU No.72 Ijin lokasi No.319 th.2006 |
TBL – Plasma | Palembang | 2,800 | 2,752 | 1,755 | 997 | Kelapa Sawit | N/A |
SUJ | Palembang – OKI | 27,553 | – | – | – | Kelapa Sawit | N/A |
BSA | Lampung | 970 | 210 | – | 210 | Kelapa Sawit | HGU NO . 59 HGU NO. U28/LT |
BNIL | Lampung | 2,826 | 145 | 145 | – | Kelapa Sawit | HGU NO. U 28 / LT HGU NO. U 59 |
BNIL | Lampung | 3,649 | 3,483 | – | 3,483 | Tebu | N/A |
BNIL – Plasma | Lampung | 9,868 | 9,868 | 9,868 | – | Kelapa Sawit | N/A |
BDP | Lampung | 7,958 | 7,284 | 7,284 | – | Kelapa Sawit | N/A |
BNCW | Lampung | 4,001 | 3,253 | 2,835 | 418 | Kelapa Sawit | HGU NO. U 07 HGU NO. U 06 HGU NO. U 26 HGU NO. U 27 HGU NO. U 28 |
AKG | Lampung | 2,204 | – | – | – | Nanas | HGU NO. U 49 |
AKG | Lampung | 4,441 | 1,574 | 170 | 1,404 | Tebu | |
AKG | Lampung | 2,972 | 1,919 | 1,565 | 354 | Kelapa Sawit | |
BTLA | Lampung | 9,928 | 8,228 | 6,878 | 1,350 | Kelapa Sawit | HGU NO. U 42 HGU NO. U 18 |
BPG | Pontianak | 12,000 | 6,045 | 3,438 | 2,607 | Kelapa Sawit | HGU NO.00063 HGU NO.00034 Ijin lokasi No.135 th.2010 |
SJP | Pontianak | 1,500 | 637 | – | 637 | Kelapa Sawit | Ijin Lokasi No. 243/SETDA/2013 |
TOTAL AREA | 111,153 | 59,910 | 42,585 | 17,325 |
Sumber: www.tunasbarulampung.com