Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengambil kebijakan penting terkait bisnis pengusahaan hutan jelang berakhirnya masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah peraturan direvisi, bahkan boleh dibilang dirombak besar-besaran.
Salah satu yang cukup radikal adalah ketentuan tata usaha kayu (TUK). Kini, untuk kayu yang berasal dari Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam (HPH) diatur lewat Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.41/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam. Sementara untuk yang berasal dari IUPHHK Hutan Tanaman Industri (HTI) diatur dalam Permenhut No.42/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. Kedua aturan tersebut diteken Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada 10 Juni 2014.
“Kami ingin memberi kemudahan bagi pemegang IUPHHK dalam menjalankan usahanya pada setiap proses bisnis,” kata Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut, Bambang Hendroyono di Jakarta, Jumat (11/7/2014).
Penatausahaan kayu dari HPH dan HTI sebenarnya mirip-mirip. Hanya ada perbedaan beberapa istilah. Secara umum, kayu yang dipanen di hutan harus melewati beberapa proses tata usaha. Pertama, pembuatan Laporan Hasil Produksi (LHP), yang di HTI disebut dengan Laporan Produksi Kayu Hasil Pemanenan (LP-KHP). Setelah melewati proses pemeriksaan, maka berdasarkan LHP yang disahkan, diterbitkanlah Surat Perintah Pembayaran (SPP) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)-Dana Reboisasi (DR).
Usai PSDH-DR dibayarkan, kayu bulat bisa digerakan keluar dari hutan menuju industri dengan menggunakan dokumen angkutan kayu. Untuk kayu bulat yang berasal langsung dari HPH dokumen angkut menggunakan Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB). Sementara untuk pengangkutan lanjutan menggunakan Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB). FA-KB juga digunakan untuk kayu yang berasal dari HTI. Setelah sampai di lokasi tujuan, dokumen angkut kemudian dimatikan.
“Berdasarkan ketentuan yang baru ada birokrasi tata usaha kayu yang diperbaiki,” kata Bambang.
Untuk pengesahan LHP, misalnya, kini Petugas Pengesah LHP (P2LHP) hanya diberi waktu 2×24 jam untuk mengesahkan LHP yang sebelumnya dibuat oleh karyawan perusahaan IUPHHK dengan kualifikasi tenaga teknis Pengelolaan hutan produksi lestari (GANISPHPL) Pengujian Kayu Bulat (PKB).
Nah, di sini menariknya. Jika setelah tenggat waktu tersebut LHP belum disahkan, maka kewenangan pengesahan LHP dilimpahkan kepada si karyawan pembuat LHP. Pelimpahan kewenangan juga berlaku untuk penerbitan SPP PSDH-DR. Jika dalam waktu 2×24 jam pejabat penerbit belum menerbitkannya, maka dokumen tersebut diterbitkan secara self asessment oleh pemegang izin.
Pelimpahan kewenangan lainnya adalah untuk mematikan dan memeriksa kayu bulat di tempat tujuan. Berdasarkan ketentuan TUK yang baru, jika dalam 1×24 jam dokumen angkutan tidak dimatikan oleh petugas, maka menjadi kewenangan GANISPHPL-PKB perusahaan. GANISPHPL-PKB juga memperoleh pelimpahan kewenangan untuk memeriksa kayu bulat secara administrasi dan fisik 1×24 jam setelah dokumen dimatikan (lihat grafis).
Sanksi
Berdasarkan proses tersebut, Kemenhut memberi kepercayaan yang begitu besar terhadap pemegang izin. Namun, Bambang menegaskan, pelimpahan kewenangan tersebut bukan tanpa syarat. Jika dokumen LHP dan SPP PSDH-DR disahkan oleh pihak perusahan, maka petugas yang mengesahkan wajib membuat surat pernyataan di atas materai. Isinya menegaskan soal tanggung jawab kebenaran dokumen yang disahkan. “Hal ini juga diatur dalam permenhutnya,” kata Bambang.
Dia juga menegaskan, ada konsekuensi jika GANISPHPL-PKB ketahuan tidak membuat LHP dengan benar. Sanksinya adalah pencabutan sertifikat GANISPHPL-PKB. Itu berarti dia akan kehilangan pekerjaannya.
Pengawasan terhadap perusahaan juga tidak akan kendur. Menurut Bambang, dinas kehutanan punya tanggung jawab untuk mengawasi bagaimana pelaksanaan TUK oleh perusahaan. Dinas, katanya, bisa mengecek dokumen-dokumen yang sudah diterbitkan. “Kalau dokumen yang digunakan kebanyakan disahkan oleh GANISPHPL-PKB, maka dinas juga harus memeriksa kinerja petugasnya,” katanya.
Pengawasan pengangkutan kayu, sejatinya juga dilakukan lewat sistem jejaring dengan Sistem Penata Usahaan Hasil Hutan On Line. Bambang mengatakan, ada juga Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang memastikan tidak ada kayu ilegal yang bisa dimanfaatkan.
KPK
Terbitnya ketentuan yang memberi kewenangan besar bagi pemegang izin tak lepas dari hasil kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumber Daya Alam, Studi Kasus Sektor Kehutanan yang dilakukan Departemen Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kajian yang dipaparkan kepada Menhut dan jajarannya, Februari lalu, mengungkap sejumlah celah yang memungkinkan adanya biaya transaksi dalam proses perizinan kehutanan.
Menurut Bambang, terbitnya permenhut tentang penatausahaan kayu tersebut tak lepas dari kajian tersebut. “Jadi, terbitnya revisi peraturan-peraturan ini mengikuti rekomendasi dari KPK,” katanya.
Dia menjelaskan, diberinya tenggat waktu bagi petugas pengesahan LHP, penerbit SPP PSDH-DR, dan pemeriksa kayu bulat ditujukan untuk memperkecil peluang timbulnya biaya tinggi. Pada proses tersebut, oknum petugas yang nakal bisanya mengulur-ulur waktu pengesahan, penerbitan, atau pemeriksaan dokumen. Kalaupun dokumen disahkan, tak jarang tidak dilakukan di lapangan. “Di sinilah biasanya ada biaya tidak resmi yang membebani perusahaan,” katanya.
Pengesahan dokumen dalam proses TUK memang menjadi salah satu titik rawan korupsi. Informasi yang diterima Agro Indonesia, untuk mengesahkan setiap meter kubik kayu bulat biaya tidak resmi yang mesti dikeluarkan bisa mencapai Rp50.000-Rp100.000. Hitung saja untuk sekali angkut produksi kayu dengan menggunakan ponton yang bisa mencapai 2.000 m3, berarti biaya tidak resmi yang dikeluarkan bisa mencapai Rp100 juta-Rp200 juta. Bayangkan berapa yang mesti dikeluarkan jika produksi sebuah IUPHHK dalam setahunnya 30.000 m3. Wow, memang!
Bambang tak mengkonfirmasi soal besaran uang gelap yang beredar. Hanya dia memastikan terbitnya permenhut penatausahaan kayu yang baru akan menghapus situasi yang memaksa timbulnya biaya tidak resmi. “Dengan diberi tenggat waktu, maka kemungkinan adanya biaya transaksi bisa diperkecil,” katanya. Sugiharto
Demi Menggairahkan Bisnis Kehutanan
Selain tata usaha kayu (TUK), proses bisnis yang ingin diperlancar Kemenhut dimulai sejak penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Langkah-langkah ini diharapkan bisa mendongkrak daya saing bisnis pengusahan di tanah air, meningkatkan produktivitas dan menaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kehutanan.
“Kami ingin good governance ditegakkan dalam perizinan kehutanan,” kata Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut, Bambang Hendroyono.
Untuk itu, telah diterbitkan Permenhut No. P.31/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja IUPHHK Hutan Alam, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil HUtan Kayu Restorasi Ekosistem atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi.
Salah satu penegakan good governance yang coba ditegakkan adalah soal tata waktu penerbitan pertimbangan teknis oleh bupati/walikota dan penerbitan rekomendasi dari gubernur. Untuk pertimbangan teknis, tenggat waktu penerbitannya adalah 30 hari kerja. Sementara untuk penerbitan rekomendasi, tenggat waktunya adalah 21 hari kerja.
Proses penerbitan pertimbangan teknis dan rekomendasi memang disinyalir KPK menjadi celah adanya biaya transaksi dalam perizinan kehutanan.
Selain itu, juga diterbitkan Permenhut No.P.30/Menhut-II/2014 tentang Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) dan Rencana Kerja pada IUPHHK HTI dan Permenhut No.P.33/Menhut-II/2014 tentang IHMB dan Rencana Kerja IUPHHK Hutan Alam. “Birokrasi untuk IHMB dan pembuatan rencana kerja juga kami pangkas,” kata Bambang.
Dia melanjutkan, dengan perbaikan proses bisnis, dimulai dari proses bisnis pertama untuk penerbitan IUPHHK, proses bisnis kedua pada pembuatan dokumen IHMB dan rencana kerja, dan proses bisnis ketiga pada penatausahaan hasil hutan akan berdampak positif pada iklim usaha kehutanan.
“Kami berharap bisnis pengusahaan hutan bisa lebih bergairah. Produksi bisa naik dari saat ini rata-rata sekitar 5 juta m3 setahun hingga mencapai 7 juta m3,” katanya. Kenaikan produksi itu pada akhirnya bisa meningkatkan PNBP kehutanan. Sugiharto