Langkah Kemenhut mempermudah proses bisnis penataan usahaan hasil hutan menuai peringatan. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada perusahaan jangan sampai menjadi celah baru untuk meloloskan kayu ilegal.
Menurut Hariadi Kartodihardjo, Koordinator tim untuk Bidang Kehutanan pada Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam yang dilakukan Departemen Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apa yang dilakukan Kemenhut merespon kajian yang dilakukan secara umum sudah memadai. Khususnya untuk ketentuan yang terkait penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan penerbitan dokumen IHMB dan rencana kerja pemegang izin. “Hasil kajian kami merekomendasikan Kemenhut menutup potensi adanya biaya transaksi dalam proses perizinan kehutanan,” kata dia di Jakarta, Jumat (11/7/2014).
Hariadi melanjutkan, kajian yang dilakukan juga membedah peraturan terkait penatausahaan hasil hutan kayu. Ketentuan yang lama, cukup banyak celah yang memungkinkan kemunculan biaya transaksi. KPK pun menyarankan perbaikan. “Termasuk soal tata waktu pengesahan dokumen tata usaha kayu,” katanya.
Namun, katanya, perbaikan yang disarankan bukan sekadar percepatan pengesahan dokumen. Melainkan bagaimana petugas yang bertanggung jawab benar-benar melakukan tugasnya di lapangan, tidak lagi dari kantor atau bahkan di hotel-hotel. “Substansi perbaikan yang kami sarankan adalah agar proses pengesahan dan penerbitan dokumen benar-benar dilakukan. Ketika harusnya dilakukan pemeriksaan, ya harus dilakukan pemeriksaan. Jadi, tidak sekadar cepat,” tandas Hariadi.
Hariadi mengingatkan, percepatan proses tata usaha kayu jangan sampai mengendurkan pengawasan. Sebab, hal itu bisa memunculkan celah baru pencucian kayu ilegal.
Apalagi, Agro Indonesia menemukan modus baru dalam pencucian kayu ilegal. Caranya, kayu yang bersumber dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) tidak diproses dengan penatusahaan kayu IPK. Melainkan disamarkan sebagai kayu yang berasal dari IUPHHK. Hal ini dilakukan untuk menghindari pembayaran Penggantian Nilai Tegakan (PNT) dengan nilai tinggi yang merupakan kewajiban bagi kayu IPK. Kayu dari IUPHHK sendiri cukup membayar PSDH-DR.
Hariadi pun mengaku sudah mendengar informasi soal modus tersebut. “Makanya substansi dari penatausahaan kayu itu adalah bagaimana pemeriksakaan kayu dilakukan secara benar dan tidak menimbulkan biaya transaksi,” katanya.
‘Baju’ IPK
Sementara itu Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Christian Bob Purba menyatakan, modus pencucian kayu IPK sangat dimungkinkan karena saat ini banyak IUPHHK yang kesulitan beroperasi. Mereka bisa saja mencoba mengambil keuntungan dengan memberi “baju” IPK sebagai kayu hasil produksinya.
“Kemenhut perlu diberi warning, agar langkah-langkah perbaikan tata kelola hutan yang coba dilakukan tidak dimanfaatkan oleh perusahaan yang nakal,” katanya.
Bob sendiri melihat langkah yang dilakukan Kemenhut dengan merevisi sejumlah peraturan terkait perizinan merupakan bagian dari implementasi kajian KPK. Hanya saja, dia menyarankan kemudahan dalam penatausahaan hasil hutan tidak diberikan secara ‘cuma-cuma’ kepada semua pemegang izin.
“Tidak semua pemegang izin punya itikad baik mengikuti aturan Kemenhut dengan patuh. Ada juga yang mencari celah untuk bermain-main,” katanya.
Untuk itu, dia menyarankan agar pemberian kewenangan yang lebih kepada pemegang izin seperti untuk pengesahan LHP dan penerbitan SPP PSDH-DR, hanya diberikan kepada perusahaan yang telah membuktikan kinerjanya baik. Misalnya telah mengantongi sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL).
Bob menekankan, perbaikan tata usaha kayu yang dilakukan Kemenhut tidak akan banyak berarti jika persoalan mendasar tata kelola kehutanan tidak diperbaiki. Termasuk persoalan itu adalah korupsi, kolusi dan persoalan terkait tenurial. “Kalau persoalan mendasar itu tidak dibenahi, perbaikan peraturan yang dilakukan tidak lebih dari tambal sulam saja,” katanya. Sugiharto
APHI: Ini Tanggung Jawab Berat
Reaksi positif perbaikan penatausahaan hasil hutan kayu datang dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Kelompok pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) itu siap memastikan anggotanya bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan.
Wakil Ketua APHI Irsyal Yasman menyatakan, Kemenhut melimpahkan tanggung jawab yang besar kepada pemegang IUPHHK dengan terbitnya Permenhut No.41/Menhut-II/2014 dan Permenhut No.42/Menhut-II/2014. “Pelimpahan kewenangan untuk pengesahan LHP, penerbitan SPP PSDH-DR, dan pemeriksaan kayu bulat adalah tanggung jawab yang berat,” katanya.
Irsyal sendiri berharap agar Kemenhut terus secara ketat mengawasi kinerja pemegang IUPHHK.
Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto menegaskan, pihaknya mengapresiasi langkah Kemenhut yang menutup celah-celah biaya transaksi dalam proses penatausahaan hasil hutan. Terbitnya Permenhut No.41/Menhut-II/2014 dan Permenhut No.42/Menhut-II/2014 sendiri cukup mengakomodasi suara para pemegang IUPHHK. “Kami berterima kasih karena Kemenhut mendengar suara kami,” kata Purwadi.
Meski demikian, Purwadi tak langsung optimis bahwa dengan terbitnya permenhut-permenhut tersebut kinerja pemegang izin khususnya hutan alam bakal langsung meroket. Pasalnya, Kemenhut mengharuskan seluruh kayu hasil operasional di lapangan, hingga diameter 10%, dimasukan dalam LHP. Kayu ukuran kecil tersebut dahulu dikategorikan limbah yang kerap ditinggal di lapangan.
“Kini kami harus memasukannya dalam LHP dan membayar PSDH-DR, mengangkutnya ke luar hutan, untuk kayu yang mungkin tidak akan ada pembelinya itu,” katanya.
Yang bikin makin berat, pemerintah baru saja menaikan tarif PNBP untuk PSDH-DR untuk kayu-kayu berukuran kurang dari 30 cm seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No.12 tahun 2014 Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kemenhut. Berdasarkan ketentuan tersebut, kayu bulat dengan diameter kurang dari 30 cm dikenakan tarif DR sebesar 4 dolar AS dengan tarif PSDH sebesar 10% dari harga patokan.
Dirjen Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono berharap pemegang IUPHHK tetap optimis. Dia menyatakan dengan perbaikan proses bisnis yang dilakukan, maka biaya produksi yang besar akibat adanya biaya tidak resmi akan hilang. “Kalau biaya produksinya bisa ditekan harapannya margin yang diperoleh dari harga jual saat ini bisa lebih besar,” katanya. Sugiharto