Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah komando Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak henti-hentinya menciptakan konflik di kalangan usaha perikanan tangkap. Kisruh terakhir terjadi ketika muncul surat Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP No. B-195/SJ/II/2016, tanggal 11 Februari 2016 yang ditujukan kepada 42 badan hukum dan 39 perorangan, yang mencakup 388 kapal perikanan.
Surat Sekjen itu merupakan bagian dari tindak lanjut kebijakan moratorium terhadap kapal-kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri atau kapal eks asing — yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan NKRI dan perubahannya, Permen KP 10/2015. Tindak lanjut ini kemudian menghasilkan analisis dan evaluasi (anev) terhadap 1.132 kapal eks asing.
Berdasarkan anev, yang berisi data tingkat kepatuhan pelaku usaha terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perikanan tangkap, diketahui siapa saja pengusaha yang masuk daftar hitam. Sesuai surat Sekjen, dari ribuan kapal yang sudah dianalisis dan dievaluasi, hanya 388 kapal ikan yang lolos masuk “daftar putih” dan sisanya masuk dalam daftar hitam.
Buat pengusaha, lolos dari daftar hitam jelas melegakan karena bisnis masih bisa jalan. Artinya, perusahaan tidak terkena sanksi pencabutan Surat Izin Usaha Perikanan dan tidak menjalani proses penyelidikan dan/atau penyidikan aparat hukum.
Benarkah demikian? Tidak, ternyata. Sayangnya, lolos dari daftar hitam ternyata bukan berarti usaha mereka bisa bebas melenggang. Justru di alenia berikutnya muncul vonis mati buat mereka.
Dengan niat memajukan usaha perikanan tangkap dalam negeri dengan modal dalam negeri dan kapal buatan dalam negeri, pemerintah meminta 81 perusahaan dan perorangan pemilik 388 kapal tersebut menghapus kapal mereka dari Daftar Kapal Indonesia alias deregistrasi. “…Kami sampaikan agar saudara segera mengajukan permohonan penghapusan kapal-kapal perikanan milik saudara dari Daftar Kapal Indonesia,” demikian surat Sekjen yang diteken Sjarief Widjaja.
Selain membuat surat permohonan, para perusahaan dan pemilik kapal eks asing juga diwajibkan membuat surat pernyataan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.
Surat pernyataan tersebut sebagai pengukuhan komitmen dari para perusahaan dan pemilik kapal, yakni tidak akan melakukan tindak pidana perikanan dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap di dalam maupun di luar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia setelah melakukan deregistrasi kapal perikanan eks asing. Selain itu, berisi juga komitmen untuk memenuhi hak-hak tenaga kerja yang masih terhutang.
Aneh
Keluarnya surat pemberitahuan Sekjen ini menuai protes. Bahkan, Ketua Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Muhammad Billahmar menilai aneh. Pasalnya, hasil anev menunjukkan 81 perusahaan tidak termasuk dalam kelompok daftar hitam (black list). Dengan kata lain, puluhan perusahaan tersebut tergolong white list.
Karena bukan daftar hitam, maka sesuai anev perusahaan-perusahaan itu memiliki tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perikanan tangkap maupun bidang-bidang lain yang terkait dengan kegiatan perikanan tangkap yang baik atau masih dapat ditolerir. “Tapi kenapa kapal-kapal yang tergolong white list harus dicoret atau dihapuskan dari Daftar Kapal Indonesia?” sergah Billahmar kepada Agro Indonesia, pekan lalu.
Padahal, kata Billahmar, di dalam Permen KP Moratorium disebutkan, apabila hasil anev terhadap kapal-kapal yang Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) masih berlaku ditemukan pelanggaran, dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Sekali lagi, yang dikenakan sanksi administrasi adalah hanya terhadap mereka yang ditemukan pelanggaran,” tegas Billahmar.
Menurut Billahmar, jumlah kapal eks asing sebanyak 1.132 unit itu berdasarkan data kapal yang SIPI-nya hidup ketika keluar Permen KP Moratorium. Sedangkan kapal-kapal yang SIPI-nya mati tidak tercatat. Dengan demikian, bisa dipastikan jumlah kapal eks asing yang pernah mendapatkan SIPI lebih besar dari 1.132 unit dan itu masih tercatat dalam jumlah realisasi kapal yang dialokasikan dalam masing-masing SIUP.
Dikatakannya, jika yang diminta untuk dihapuskan dari Daftar Kapal Indonesia hanya kapal-kapal yang terkena anev, maka dengan sendirinya kapal-kapal di luar jumlah tersebut masih boleh menggunakan bendera Indonesia. Hanya saja mereka memang tidak boleh digunakan sebagai kapal perikanan.
“Dengan kata lain, kapal-kapal tersebut boleh saja beralih fungsi menjadi kapal niaga guna mendukung konektivitas nasional dari sisi angkutan di perairan, sekaligus mengisi poros maritim dunia yang menjadi nawacita pemerintah sekarang di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.”
Dia mempertanyakan apa keinginan pemerintah sesungguhnya terkait deregistrasi kapal ikan dari Daftar Kapal Indonesia. Dia juga bingung seperti apa kebijakan usaha perikaan tangkap ke depannya. “Bagaimana dua lembar surat pemberitahuan bisa menggugurkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?”
Dia juga menyoroti seringnya perubahan kebijakan usaha perikanan tangkap. “Sejak terbit Permen KP No.17/2006 hingga terbit Permen KP No.26/2013, tercatat sudah 7 kali perubahan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam 7 tahun,” katanya.
Terkait deregistrasi, Billahmar mengingatkan bahwa kapal bukan sekedar besi terapung, tapi punya nilai uang. Kapal adalah modal (investasi). “Untuk itu, status kepemilikan modal dalam perusahaan adalah hal yang penting untuk menjawab siapa sebenarnya pemilik kapal eks asing yang kini terdaftar sebagai kapal ikan Indonesia dengan SIUP, SIPI dan SIKPI yang dikeluarkan KKP,” cetusnya.
Sekjen kok eksekusi?
Oleh karena itu, dia mempertanyakan keluarnya Surat Sekjen No. B-195/SJ/II/2016, tanggal 11 Februari 2016 tersebut. Selain isinya, dia juga mempertanyakan mengapa bukan Dirjen Perikanan Tangkap yang membuat surat?
“Sekjen kok yang mengeksekusi? Karena sebelumnya kan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap yang mengeluarkan Surat Edaran tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan Tangkap pada SIUP/SIPI/SIKPI pada 31 Desember 2015?” sergah Billahmar.
Namun, Sekretaris Jenderal KKP, Sjarief Widjaja minta suratnya jangan dibesar-besarkan. “Karena ini kan sifatnya surat edaran. Bukan kebijakan. Lagi pula, ini hal yang biasa. Jika sifatnya lintas eselon 1, maka bisa saja Sekretaris Jenderal yang mengambil alih. Jadi, tidak perlu lah diperdebatkan,” kata Sjarief kepada Agro Indonesia di sela acara prosesi live streaming penenggelaman kapal perikanan pelaku penangkapan ikan secara ilegal awal pekan lalu di kantor KKP.
Sayangnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, Narmoko Prasmadji tidak kunjung mengindahkan permintaan wawancara dari Agro Indonesia. Narmoko jangan kan bersedia, menjawab layanan WhatApp pun tidak. Begitu pula, Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, Abduh Nuhhidajat yang tidak membalas pesan singkat (short message system). Fenny
10 Besar Kapal Perikanan Eks Asing “White List”
No | Nama Perusahaan | Jumlah Kapal |
1. | PT Binar Surya Buana | 52 |
2. | PT Karunia Laut | 26 |
3. | PT Icinrab Bahari Timur | 25 |
4. | PT Bali Ocean Anugrah Linger Indonesia | 21 |
5. | PT Intimas Surya | 17 |
6. | PT Sinar Abadi Cemerlang | 17 |
7. | PT Hemakaruna Citra | 16 |
8. | PT Ocean Mitramas | 13 |
9. | PT Dwi Bina Utama | 11 |
10. | PT Tri Kusuma Graha | 10 |
11. | 71 Perusahaan, PT & PO | 180 |
Total | 388 |
Keterangan: Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan No. B-195/SJ/II/2016, tanggal 11 Februari 2016 ditujukan untuk 42 badan hukum dan 39 perorangan dengan 388 kapal perikanan.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, diolah