Bagaimana Bayar Kredit Bank?

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Kebijakan deregistrasi eks kapal asing yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) benar-benar memukul pengusaha perikanan tangkap. Selain harus mem-PHK pekerja, pembelian kapal-kapal itu juga masih menyisakan kredit di bank.

Salah satu perusahaan perikanan tangkap yang terkena aturan surat Sekretaris Jenderal (Sekjen) KKP No. B-195/SJ/II/2016, tanggal 11 Februari 2016 perihal Penghapusan Kapal Eks Asing dari Daftar Kapal Indonesia, adalah PT Ocean Mitramas. Perusahaan ini memiliki 13 kapal yang dibeli (bekas) dari sejumlah negara, masing-masing 8 unit dari Jepang dan 5 unit dari Filipina.

Dari armada kapal ikan tersebut, salah satunya kapal dengan nama Trans Mitramas 5 yang berbobot 712 gross tonnage (GT). Meski bekas, kapal ikan dini harus ditebus seharga kurang lebih Rp30 miliar. Selebihnya adalah 12 kapal pengangkut dan processing, dengan bobot 80-783 GT yang dibeli persero antara Rp4-8 miliar/unit.

Salah satu Direksi PT Ocean Mitramas, Yanti Djuari mempertanyakan kebijakan pemerintah tersebut. “Aset kami sebanyak 13 kapal berkisar Rp100 miliar. Masa akan berakhir begitu saja dan hanya menjadi besi tua yang dihargai Rp1.000/kg?” ungkapnya saat dihubungi Agro Indonesia, Jumat (26/2).

Yang menyesakkan, lanjut Yanti, di antara kapal itu ada kapal purse seine Trans Mitramas 5. Kapal ini, ungkapnya, punya nilai sejarah untuk persero. Kapal tersebut dibeli dari hasil lelang di Papua pada tahun 2010. Kapal tersebut hasil sitaan negara karena dinyatakan terlibat aksi penangkapan ikan ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan (Illegal, Unregulated and Unreported Fishing /IUU fishing).

“Kami tidak gampang untuk mendapatkan Trans Mitramas 5. Kami harus bersaing dengan pihak lain. Bahkan, setelah menang pun kami mendapat ancaman dan teror dari pihak yang diduga menginginkan kapal tersebut,” ungkap Yanti.

Begitu pula dengan pembelian 7 dari 12 kapal pengangkut lainnya yang notabene buatan Jepang, yakni Trans Mitramas 111 (425 GT), Mitramas 9 (628 GT), Mitramas 7 (661 GT), Mitramas 3 (783 GT),   Mitramas 1 (550 GT), Mitramas-8 (321 GT), Mitramas-6 (628 GT).

Dia menjelaskan, Jepang punya aturan yang ketat ketika kapal buatannya akan keluar dari negaranya. Begitu pula sewaktu PT Ocean Mitramas berminat membelinya. Perusahaan di Negeri Matahari Terbit ini mewajibkan PT Ocean Mitramas untuk menghancurkan salah satu kapalnya yang sesuai dengan kapasitas palkanya. Karena Jepang tidak ingin menjual kapalnya begitu saja, tapi ingin menyelamatkan sumberdaya ikan dengan membatasi jumlah kapal yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif.

“Setiap kami membeli kapal bekas dari Jepang, kami diawasi oleh asosiasi Indonesia yang ditunjuk oleh Jepang sendiri. Begitu pula ketika kami men-delete salah satu kapal kami, ini pun diawasi ketat oleh perwakilan dari Jepang,” papar Yanti.

Yang menyesakkan, seluruh 13 kapal yang dimiliki persero itu dibeli dengan kredit bank dan sampai kini pihaknya masih mencicil. Menurutnya, kredit yang harus dibayar tak kurang dari Rp35 miliar. Itu pokoknya, belum termasuk bunganya yang juga harus dibayar.

Belum lagi, sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan NKRI, karyawan PT Ocean Mitramas hanya duduk-duduk manis. Padahal, 1 kapal penangkap ikan dan kapal pengangkutnya layak operasi. Sejak beleid ini berlaku, persero terpaksa merumahkan 200 dari 250 kru kapalnya.

“Padahal, pemerintah akan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Tapi lupa menyelamatkan aset-aset nasional,” keluh Yanti.

Pertanyakan

Ketua Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Muhammad Billahmar pun sepakat dengan pernyataan Yanti. “Terkait kapal eks asing, perlu diketahui bahwa ada dari kapal-kapal yang benar-benar milik perusahaan nasional dengan modal nasional,” terangnya.

Billahmar menyoroti Permen KP 56/2014 dan perubahannya, Permen KP 10/2015. Menurutnya, implementasi beleid ini tidak sesuai dengan lingkup wilayah perikanan. Karena lingkupnya hanya terhadap kapal-kapal yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) NKRI. Namun, diberlakukan sampai dengan kapal-kapal yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPP NKRI. Seperti yang diatur lewat Permen KP 30/2012.

Sedangkan di laut lepas diatur melalui Permen KP No.12/2012 yang pengaturannya disesuaikan dengan ketentuan RFMO yang bersangkutan dan pendaftaran kapalnya pun hanya terhadap kapal-kapal yang bebas dari daftar IUU Fishing di Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) mana pun di dunia.

Billahmar mempertanyakan kebijakan lanjutan KKP. “Mengapa selama satu tahun moratorium KKP tidak mampu melahirkan kebijakan baru tentang usaha perikanan tangkap?”

Billahmar minta Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti tidak hanya sekedar melarang dan menghapus saja. “Tapi bagaimana membangun perikanan tangkap ke depan adalah hal penting dan harus segera diwujudkan saat usia kepemimpinannya telah memasuki akhir bulan ke 16 dari 60 bulan usia kabinet kerja.” Fenny

Tiga Fraksi Menentang Susi

Keberanian dan ketegasan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti ternyata tidak selalu mendapat respons positif para wakil rakyat di Senayan. Tiga fraksi di Komisi IV DPR (F-PDIP, F-Gerindra dan F-PKB) malah menyangsikan seluruh kebijakan Susi yang digadang-gadang membela kepentingan nelayan dan usaha perikanan tangkap dan budidaya.

Bahkan, PDIP, Gerindra dan PKB merasa dibohongi oleh citra yang dibangun oleh Susi, sang pemilik PT ASI Pujiastuti Marine Product — yang bergerak di bisnis perikanan — dan Susi Air, maskapai carter pesawat propeller ini.

Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat DPR Komisi IV dengan 34 pimpinan asosiasi, himpunan, paguyuban, serta serikat di bidang perikanan tangkap dan budidaya nasional pekan lalu (26/2).

Menurut Ono Surono (F- PDIP), paket kebijakan Menteri Susi tidak ada yang mengubah nasib nelayan. Ono malah menilai, kinerja KKP yang diberikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPan RB), Yuddy Chrisnandi di peringkat 2 sebetulnya tidak tepat.

“Yang disurveinya siapa? Ya mungkin bukan nelayan. Karena potret buram nelayan dari dulu sampai sekarang sama saja,” cetus Ono.

Ono juga menilai Menteri Susi ndableg. Pasalnya, dalam rapat sebelumnya yang digelar tahun lalu, Komisi IV DPR sudah mendengar keluhan serupa dan sudah memberi masukan kepada Menteri Susi.

“Tapi faktanya beliau tidak pernah mendengar pendapat yang kami sampaikan. Agaknya, beliau tipe yang tidak pernah mau menerima masukan. Kalau di kementerian lain, sebelum mengambil keputusan selalu public hearing. Di KKP tidak dilakukan,” sergah Ono.

Ono pun minta seluruh asosiasi, himpunan. paguyuban, serikat di bidang perikanan tangkap dan budidaya nasional bersatu melawan seluruh kebijakan Menteri Susi. “Mari kita bersatu. Kita gugat secara hukum seluruh kebijakan Menteri Susi. Entah itu judicial review, PTUN, class action apa pun namanya. Saya siap memimpin.”

Kritik pedas juga dikemukakan Darori Wonodipuro (F-Gerindra). Setelah mendengar keluhan pemimpin asosiasi, himpunan. paguyuban, serikat di bidang perikanan tangkap dan budidaya nasional, Darori merasa dibohongi.

“Saya juga merasa ikut dibohongi. Ternyata, apa disampaikan KKP itu hanya pencitraan semuanya. Saya juga heran kenapa Menteri Susi dianggap nomor 1 di Kabinet Kerja,” kata Darori.

Mantan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan ini pun minta seluruh pernyataan dibuat dalam matrik, yang selanjutnya akan diajukan kepada Menteri Susi. “Biar dijawab secara tertulis. Biar Menteri Susi tidak lagi ngeyel.”

Suara kecewa dengan berbagai kebijakan Susi juga dikemukakan Daniel Johan (F-PKB). “Ternyata saya salah karena telah mengagumi Menteri Susi yang dimata media adalah pahlawan perikanan. Padahal, yang ada malah menghancurkan perikanan Indonesia,” sergah Daniel yang minta seluruh keluhahan ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo.

Menurutnya, ada sejumlah kebijakan “tak ramah” Menteri Susi — yang dilantik 27 Oktober 2014. Pertama, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Perhentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan NKRI. Kedua, Permen KP Nomor 57/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Transhipment serta Permen KP Nomor 58/PERMEN-KP/2014 tentang Disiplin Pegawai KKP Dalam Pelaksanaan Kebijakan Moratorium dan Larangan Transhipment.

Yang menghebohkan, bahkan memantik aksi nelayan turun ke jalan adalah Permen KP Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) serta Permen KP Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

Yang terakhir, yang bikin usaha perikanan tangkap mengkeret, adalah Surat Sekretaris Jenderal KKP No. B-195/SJ/II/2016, tanggal 11 Februari 2016 yang ditujukan untuk 42 badan hukum dan 39 perorangan, total 81 dengan 390 kapal perikanan. Fenny