Logo Baru, Harapan Baru Kementerian Kehutanan: Refleksi Rencana ‘Pemanfaatan’ Hutan Pangan dan Energi

Tumpangsari di kawasan hutan
Hermudananto

Oleh: Hermudananto (Dosen Kehutanan UGM)

Selamat atas logo baru Kementerian Kehutanan baru-baru ini!

 

Makna yang sangat filosofis tertuang pada logo tersebut yang dikutip dari Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 yaitu:

LINGKARAN : melambangkan bumi beserta kehidupan di dalamnya. Bermakna keseriusan Kementerian Kehutanan dalam menjaga kelestarian hutan dan ekosistem di dalamnya.

POHON DENGAN 5 (LIMA) CABANG : melambangkan kehidupan yang lestari dan terus bertumbuh. 5 (lima) dahan bermakna tekad Kementerian Kehutanan dalam melestarikan Hutan Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

5 (LIMA) TITIK AIR : melambangkan hutan sebagai sumber kehidupan. Lima titik air bermakna prinsip Kementerian Kehutanan yaitu prinsip pemerataan pemanfaatan, prinsip pemerataan kesejahteraan, prinsip hutan sebagai sumber energi, prinsip ekologi dan prinsip partisipasi.

3 (TIGA) MANUSIA MENGANGKAT TANGAN : melambangkan manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem hutan. Bermakna peran aktif Kementerian Kehutanan dalam membangun solidaritas, kolaborasi dan partisipasi dalam menjaga hutan Indonesia.

WARNA HIJAU : melambangkan kemakmuran dan kelestarian. Bermakna tekad Kementerian Kehutanan menjadikan hutan sebagai sumber kebaikan dan keadilan ekologi dan ekonomi kerakyatan.

Sayangnya, makna logo tersebut tampaknya hanya angan-angan dalam keputusan resmi Kementerian Kehutanan, setelah Menteri Raja Juli Antoni mengungkapkan rencana “pemanfaatan” 20 juta hektar hutan untuk pangan, energi, dan air, usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan pada 30 Desember 2024.

Banyak pihak, termasuk WALHI, Greenpeace, DPR, DPD, akademisi, serta masyarakat dan pemerhati lingkungan, menolak keras rencana ini karena khawatir akan dampak kerusakan ekologis akibat pembukaan hutan.

Perlu diingat bahwa kehilangan satu hektar hutan dapat melepaskan 120-730 ton karbon, yang jika dihitung untuk 20 juta hektar, berpotensi menghasilkan 8,5 Giga ton emisi karbon (Saatchi et al., 2008; Pan et al., 2011; FAO, 2020; EPA, 2023). Ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam COP29 2024 untuk meningkatkan pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain emisi, dampak lainnya termasuk hilangnya keanekaragaman hayati dan ancaman terhadap keberlanjutan hidup masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan.

Lantas dari mana angka 20 juta hektar? Angka tersebut berasal dari pemaparan Menteri Kehutanan pada 5 Desember 2024, yang menyebutkan 15,53 juta hektar berasal dari hutan lindung dan produksi yang belum berizin, serta 5,07 juta hektar dari Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan persetujuan Perhutanan Sosial, sehingga totalnya mencapai 20,6 juta hektar sebagai usulan hutan cadangan pangan dan energi.

Kekhawatiran saya dan beberapa kolega akademisi di bidang kehutanan terkait angka 20 juta hektar ini, selain area ini berstatus kawasan hutan, adalah kurangnya informasi rinci tentang kondisi tutupan lahan di lapangan, apakah benar berhutan atau tidak. Data tersebut perlu jelas dan didasarkan pada analisis spasial mendalam, memastikan area tersebut tidak berada di wilayah dengan kemiringan ekstrem atau ekosistem gambut. Selain itu, alokasi perhutanan sosial harus menghindari potensi konflik tenurial, mengingat target perhutanan sosial 12,7 juta hektar pada 2024 juga baru tercapai sekitar 8 juta hektar hingga saat ini.

Meskipun Menteri Kehutanan sudah membantah isu pembabatan 20 juta hektar hutan pada 6 Januari 2025, strategi swasembada pangan dan energi harus mencari opsi lain yang tidak merusak hutan. Logo LINGKARAN dan WARNA HIJAU menggambarkan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan ekosistem sebagai sumber kebaikan serta keadilan ekologi dan ekonomi kerakyatan.

Dalam Sarasehan Insinyur bertema “Memperkokoh Sinergi Gerakan Insinyur Bidang Hayati untuk Indonesia Emas 2045” pada 13 Januari 2025 di Universitas Gadjah Mada, tidak satu pun dari enam pembicara utama yang membahas EKSTENSIFIKASI untuk ketahanan pangan. Semua narasumber, termasuk wakil ketua umum Persatuan Insinyur Kehutanan, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial, dan Badan Kejuruan Teknik dari Pertanian, Peternakan, Industri Pertanian, dan Kehutanan, lebih fokus pada INTENSIFIKASI sebagai strategi untuk meningkatkan produksi pangan.

Intensifikasi sebagai alternatif solusi dari ekstensifikasi memiliki lima keuntungan utama, yang digambarkan juga dengan angka “5” pada logo baru Kehutanan, yaitu:

  1. Mengurangi dampak lingkungan: Dengan meningkatkan hasil dari lahan yang ada, intensifikasi dapat mengurangi kerusakan lingkungan, seperti hilangnya habitat satwa, penurunan kualitas tanah, dan pencemaran air yang sering terjadi akibat pembukaan lahan baru.
  2. Mengoptimalkan sumber daya: Intensifikasi mendorong penggunaan teknologi, irigasi, pupuk, dan benih yang lebih efisien untuk meningkatkan hasil. Ini membuat penggunaan sumber daya seperti air, tenaga kerja, dan lahan lebih efektif dibandingkan ekstensifikasi yang hanya memperluas lahan.
  3. Mengurangi tekanan pada lahan baru: Dengan meningkatkan hasil dari lahan yang ada, intensifikasi mengurangi kebutuhan untuk membuka lahan baru, yang sering berada di area hutan atau ekosistem penting lainnya, sehingga mengurangi risiko kerusakan lingkungan.
  4. Peningkatan jangka panjang: Intensifikasi sering melibatkan inovasi teknologi dan praktik pertanian berkelanjutan, yang mendukung peningkatan produksi dan menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang. Ekstensifikasi cenderung memberikan solusi sementara tanpa peningkatan berkelanjutan.
  5. Efisiensi biaya dan waktu: Ekstensifikasi membutuhkan investasi besar dalam membuka dan mengelola lahan baru, sementara intensifikasi, meskipun memerlukan investasi awal, lebih hemat biaya dalam jangka panjang karena mengoptimalkan lahan yang sudah ada.

Lantas, apakah swasembada pangan sangat mendesak untuk dilakukan ekstensifikasi lahan?

Menurut Buletin Konsumsi Pangan (2024), kebutuhan beras Indonesia tahun 2024 diperkirakan mencapai 31,21 juta ton, dengan ketersediaan 40,88 juta ton, termasuk impor 3,6 juta ton. Meskipun demikian, data Badan Pusat Statistik menunjukkan tren peningkatan pengeluaran untuk konsumsi, mencerminkan kebutuhan pangan yang terus berkembang seiring pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi.

Saat ini hasil produksi padi per hektar di Indonesia masih tertinggal dari Vietnam dan China yang mengoptimalkan lahan dengan teknologi pertanian modern, varietas unggul, sistem irigasi, dan program intensifikasi. Rencana pemerintah menggunakan padi gogo di lahan kering baik, namun perlu memperhatikan faktor pendukung lainnya.

Menurut Coaction Indonesia (2024) dan Badan Pusat Statistik, Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, terutama batu bara, yang diperkirakan dapat bertahan hingga 500 tahun. Sementara cadangan minyak diproyeksikan habis dalam 12 tahun dan gas dalam 22 tahun. Oleh karena itu, transisi menuju energi terbarukan menjadi prioritas, mengingat konsumsi energi per kapita terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan populasi.

Rencana pemerintah menanam lebih banyak aren untuk bioethanol perlu dipertimbangkan ulang. Alih-alih menambah komoditas, mengapa tidak fokus pada lahan tebu yang sudah menjadi komoditas utama bioethanol? Indonesia saat ini adalah penghasil tebu terbesar di Asia, dan tebu menghasilkan bioethanol lebih tinggi per hektar per tahun dibandingkan aren, menurut FAO, UNICA, dan IEA.

Pada seminar “Pemikiran Bulaksumur #39” yang diadakan pada 16 Januari 2025, Prof. Ir. Widiyatno, S.Hut., M.Sc., Ph.D., IPM dari Universitas Gadjah Mada juga mengusulkan agroforestri sebagai alternatif selain ekstensifikasi. Agroforestri dapat mendukung ketahanan pangan dan kelestarian hutan dengan mengombinasikan tanaman pertanian dan kehutanan di lahan hutan yang sudah ada, yang pada akhirnya menghindari kerusakan ekosistem.

Selain pertimbangan rasional, sebagai seorang Muslim, setiap keputusan harus didasarkan pada hati (Al-Qolbu). Dalam Surah Qaf ayat 7, Allah SWT memperingatkan orang-orang yang memiliki hati dan mendengarkan peringatan-Nya. Ayat ini menegaskan pentingnya hati dalam memahami dan menerima petunjuk Allah, termasuk dalam mencegah kerusakan di bumi.

Sebagai penutup, saya juga mengutip logo “3 (TIGA) MANUSIA MENGANGKAT TANGAN” untuk menyarankan tiga pertimbangan dalam rencana pemanfaatan 20 juta hektar hutan, yaitu Intensifikasi, Agroforestri, dan Hati.

Saya yakin Kementerian Kehutanan dengan logo barunya berkomitmen untuk tidak hanya berganti logo, tetapi juga mengimplementasikan makna-makna yang terkandung di dalamnya. ****