Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mulai merebak terjadi saat ini banyak terjadi di kawasan hutan open access yang tidak dibebani izin pengelola. Situasi ini tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebagai penanggung jawab kawasan tersebut, pemerintah selayaknya meningkatkan koordinasi untuk mencegah karhutla terus meluas.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Profesor Yanto Santosa mengingatkan, sesuai peraturan perundang-undangan, pemerintah menjadi penanggung jawab kawasan hutan open access. “Sesuai undang-undang, seperti itu. Kawasan hutan menjadi tanggung jawab pemerintah. Kecuali jika dibebani izin, maka tanggung jawab ada pada pemegang izin,” kata Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Profesor Yanto Santosa, di Jakarta, Sabtu (28/7/2017).
Meski menjadi penanggung jawab terhadap kawasan hutan open access, sayangnya, kata Yanto, pemerintah tak memiliki infrastruktur, sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang memadai. Ini membuat pada beberapa kasus kebakaran, pemerintah butuh dukungan pasukan pemadam kebakaran dan helikopter milik perusahaan swasta untuk memadamkan api.
Yanto mengingatkan kawasan hutan seharusnya ‘dikeloni’. “Jadi tidak boleh dibiarkan tanpa ada pengelola yang menjaganya,” katanya.
Data dari sistem monitoring karhutla Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sipongi.menlhk.go.id) mengungkapkan berdasarkan pantauan satelit TERRA/AQUA lonjakan kenaikan titik api sepanjang Juli ini, mencapai 293 titik.
Provinsi Nangroe Aceh Darusalam dan Nusa Tenggara Timur menjadi lokasi titik api terbanyak masing-masing dengan 37 dan 47 titik, selain Kalimantan dengan 89 titik.
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Gusti Hardiansyah mengungkapkan, sekitar 70% titik api berada di kawasan open access. Sayangnya, kata dia, koordinasi pemerintah belum optimal untuk mengendalikan karhutla di kawasan tersebut.
Dia mencontohkan, program pembuatan sekat kanal dan sumur bor yang dilakukan Badan Restorasi Gambut yang belum bisa optimal karena lambannya dana turun ke lapangan. Situasi ini cukup ironis mengingat serapan BRG yang baru sekitar Rp11 miliar dari anggaran sekitar Rp860 miliar. “Ini seharusnya di kawal. Koordinasi ditingkatkan sehingga program restorasi gambut bisa berjalan,” katanya.
Contoh lain adalah program pembagian traktor bagi petani untuk mengolah lahan yang seharusnya bisa dilakukan jelang musim kemarau. Menurut Gusti, hal itu bisa dilakukan jika Kementerian LHK dan Kementerian Pertanian saling berkoordinasi. “Masyarakat kita adalah masyarakat agraris yang masih ada budaya membakar untuk membuka lahan. Kalau pembagian traktor bisa dilakukan akan sangat membantu mengurangi kegiatan pembukaan lahan dengan membakar,” katanya.
Gusti mengingatkan potensi karhutla yang akan meningkat dalam dua bulan ke depan saat musim kemarau mulai memasuki puncaknya. Menurut dia, kondisi alam membuat karhutla saat ini juga terjadi di negara-negara lain seperti Portugal, Spanyol, dan Kanada. “Sebagian karhutla memang dipicu oleh manusia. Tapi, faktor alam yang membuatnya membesar dan bisa menyebar dari satu titik ke titik lain termasuk ke lahan yang ada izin pengelolanya. Jadi semua pihak harus waspada,” katanya. Sugiharto