Kekeliruan Mendag Untungkan Pedagang

Musim giling tebu yang dimulai sejak akhir Mei selalu dinanti-nanti petani tebu. Saat itu, mereka berharap jerih payah yang mereka alami selama melakukan budidaya tebu bisa dibalas dengan harga lelang gula yang baik.

Harapan untuk mendapatkan harga lelang yang lebih baik itu awalnya memang terlihat. Pada akhir Mei, harga lelang gula kristal putih (GKP) mencapai kisaran harga Rp11.000/kg. Namun, seiring dengan makin banyaknya tebu yang masuk ke gudang pabrik gula, harga lelang gula pun mulai menurun. Pada awal Juni harga lelang gula mencapai Rp10.200/kg dan di pertengahan Juni harganya turun lagi menjadi Rp9.800/kg.

Harga lelang mencapai titik terendah pada akhir Juni yang sempat menyentuh Rp9.360/kg. Harga ini hanya selisih Rp460 dari harga patokan pembelian petani (HPP) gula yang pada tahun 2015 ini dipatok pemerintah di posisi Rp8.900/kg.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, surat instruksi yang dikeluarkan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel telah menjadi penyebab utama turunnya harga lelang gula petani.

“Keberadaan surat itu makin membuat harga lelang gula petani semakin tertekan di bulan Juni dan Juli,” kata Soemitro.

Surat yang dimaksud Soemitro itu adalah Surat Instruksi Menteri Perdagangan bernomor 490/M-DAG/SD/6/2015 tanggal 23 Juni 2015 tentang Harga Jual Gula dalam rangka Puasa dan Idul Fitri 2015. Surat tersebut ditujukan kepada produsen gula kristal putih badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta, produsen gula rafinasi, Perum Bulog, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, Asosiasi Pedagang Gula Indonesia dan Asosiasi Gula Indonesia (AGI).

Ada empat poin penting yang terdapat dalam surat tersebut. Pertama, meminta para stakeholder gula menjaga agar harga beli gula di tingkat konsumen akhir selama puasa hingga Lebaran (sejak H-25 sampai H+7) pada tingkat harga maksimal Rp11.000/kg, dan untuk keperluan operasi pasar sebesar Rp10.800/kg.

Kedua, meminta para produsen gula bertanggung jawab penuh terhadap pendistribusian gula, dengan melakukan pemantauan, mengawal dan mengawasi, mulai tingkat distributor hingga pengecer.

Ketiga, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memantau harga di lokasi-lokasi tertentu, untuk memastikan apakah produsen menaati instruksi.

Keempat, meminta mereka melaporkan kepada Kemendag melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri terkait perkembangan realisasi penyaluran dan harga di tingkat distributor dan pengecer setiap pekan.

Keliru

Soemitro menilai surat yang dikeluarkan Mendag itu merupakan suatu kekeliruan pola pikir dalam menstabilkan harga komoditas gula kristal putih di dalam negeri.

“Ini merupakan kekeliruan pola pikir. Kalau mau menurunkan harga gula, bukan dengan menekan harga gula petani. Yang diperlukan adalah bagaimana meningkatkan rendemen tebu,” katanya.

Ditegaskan, harga gula akan mengalami penurunan tanpa merugikan petani jika pemerintah mampu meningkatkan rendemen tebu. Saat ini, rendemen tebu rata-rata hanya sebesar 7%. Soemitro meminta agar tingkat rendemen tebu bisa dinaikkan menjadi 10%.

“Jika tingkat rendemen tebu bisa dinaikkan, maka produksi gula petani akan meningkat dan harga juga bisa turun,” ucapnya.

Dia menilai, peran pemerintah meningkatkan rendemen tebu sangat besar mengingat mayoritas pabrik gula yang ada di dalam negeri dimiliki oleh pemerintah. Data APTRI menyebutkan, dari 63 pabrik gula, sebanyak 53 unit di antaranya berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Seharusnya, ungkap Soemitro, program revitalisasi mesin pabrik gula digencarkan oleh pemerintah sehingga mesin-mesin yang dipakai bisa meningkatkan produksi gula. “Jangan tebu petani saja yang ditekan untuk menurunkan harga jual di pasar, tetapi tingkatkan rendemen agar biaya pokok produksi bisa turun,” tegasnya.

Demi stabilkan harga

Sementara itu Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menjelaskan bahwa surat instruksi tersebut bertujuan untuk menstabilkan harga gula kristal putih di pasaran yang menunjukkan kenaikan sejak awal puasa. Padahal, saat itu bersamaan dengan kegiatan musim giling.

Pada awal puasa, atau pekan kedua Juni 2015, harga gula kristal putih di pasaran sudah beranjak ke kisaran Rp12.000 hingga Rp13.000/kg. Bahkan di Papua, harga komoditas yang rasanya manis ini mencapai Rp14.000/kg.

“Kami ingin menurunkan harga gula di pasar agar masyarakat bisa mendapatkannya dengan harga yang wajar,” kata Mendag.

Dia menjelaskan, kalau lewat SE itu produsen gula kristal putih akan diminta pertanggungjawaban yang lebih besar lagi terkait dengan distribusi dan harga gula tersebut hingga sampai ke masyarakat.

“Mereka juga harus bertanggungjawab atas distribusi dan harga jual gula hingga ke konsumen,” ujarnya.

Sesuai Perpres

Sementara itu Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag, Srie Agustina menyatakan bahwa surat instruksi itu dikeluarkan setelah Kemendag melakukan pertemuan dengan instansi terkait dan mempertimbangkan struktur biaya dan harga gula. “Surat itu bukanlah suatu instruksi yang tiba-tiba dikeluarkan,” ujarnya.

Menurutnya, preferensi harga gula kristal putih sebesar Rp11.000/kg masih masuk dalam tingkat keekonomian dan telah memperhitungkan tingkat keuntungan yang diterima petani. “Seharusnya tingkat keekonomiannya masih pas,” tuturnya

Dia juga menjelaskan, penerbitan surat itu juga masih berada dalam koridor Peraturan Presiden No.71/2015 Tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Dalam Perpres tersebut, Kementerian Perdagangan diberikan kewenangan untuk mengatur harga khusus dalam kondisi tertentu, seperti ketika terjadi kelangkaan, gejolak harga, dan hambatan distribusi melalui aturan turunannya dalam bentuk Peraturan Menteri Perdagangan.

Lewat surat itu, ungkap Srie, nantinya produsen diberikan tanggungjawab untuk melaporkan perkembangan harga dan dicarikan solusi agar harga gula bisa berada pada tingkat kestabilan dan keekonomian. B. Wibowo

Biaya Tinggi, Rendemen Rendah

Saat ini keuntungan petani dalam kegiatan budidaya tebu terus menyusut. Hal ini antara lain disebabkan oleh makin naiknya biaya produksi yang harus dikeluarkan petani.

Menurut Menurut Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, budidaya tebu di luasan lahan satu hektare rata-rata hanya menghasilkan 60 ton tebu. Jika rendemen yang dicapai 7%, maka gula yang dihasilkan hanya sekitar 4,5 ton tiap hektarenya.

Dengan pola bagi hasil 3:1, di mana petani mendapat 66%, maka gula yang dimiliki petani dari budidaya tebu seluas satu hektare hanya sebesar 3 ton dan jika dikalikan dengan harga lelang sebesar Rp9.500/kg, maka hasil yang diperoleh petani dari budidaya tebu di lahan satu hektare hanya sekitar Rp28,5 juta.

Hasil yang diperoleh petani itu cukup minim jika dibandingkan dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Misalkan saja untuk sewa lahan seluas satu hektare, dibutuhkan biaya sekitar Rp10 juta hingga Rp14 juta. Belum lagi ditambah dengan biaya pupuk dan perawatan.

Besarnya biaya produksi ini yang ditambah lagi dengan minimnya tingkat rendemen tebu menyebabkan lahan tebu di Indonesia tidak mampu bertambah luas. Akibatnya, produksi gula sulit naik.

Bahkan, pada tahun ini diperkirakan produksi gula kristal putih nasional hanya berkisar di angka 2,1 juta ton atau turun jika dibandingkan dengan produksi tahun lalu sekitar 2,3 juta ton. Jika konsumsi gula tahun 2015 diperkirakan mencapai minimal 2,8 juta ton, mau dicari dimana kekurangan pasokannya? B Wibowo