Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Pemerintahan Prabowo-Gibran membentuk Kementerian Kehutanan kembali kepada marwahnya dalam Kabinet Merah Putih untuk masa jabatan 2024-2029. Kementerian Kehutanan di era Prabowo ini dinahkodai oleh duo Raja Juli antoni dan Sulaiman Umar sebagai Menteri dan Wakil Menteri (Wamen). Dari profil pendidikan keduanya, nampaknya tidak satupun yang bersinggungan dengan masalah kehutanan. Menteri Raja mempunyai latar belakang pendddikan agama, sementara Wamen Sulaiman adalah seorang dokter yang banyak berurusan dengan rumah sakit. Kendati Menteri Raja pernah menjadi Wamen ATR/BPN lebih dari dua tahun mendampingi Menteri Hadi Tjahyanto dan Agus Harimurti Yudoyono (AHY), namun urusan kehutanan dan pertanahan diluar kawasan sangat berbeda jauh struktur dan permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, suka atau tidak suka praktis Menteri Raja dan Wamen Sulaiman harus beradaptasi dan belajar dulu masalah kehutanan minimal 6 bulan untuk memahami masalah kehutanan yang kian hari makin kompleks dan makin serus untuk ditangani dengan hal yang tidak biasa (business as unusual).
Arahan Presiden Prabowo kepada Menteri Raja tentang kehutanan adalah hutan harus tetap terjaga dan harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, harus berkeadilan sosial dan melestarikan lingkungan. Itu artinya hutan dan kehutanan harus dibaca dan artikan bahwa manfaat hutan harus dikembalikan sesuai dengan fungsinya. Undang-undang (UU) kehutanan 1999, mengamanatkan bahwa hutan dan kawasan hutan menurut fungsinya dibedakan menjadi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Menurut UU tata ruang tahun 2007, hutan konservasi dan hutan lindung harus dipertahankan ekosistem dan keberadaannya karena masuk dalam kawasan lindung. Sementara, hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi karena masuk dalam kawasan budidaya. Kondisi dan fungsi kawasan hutan di Indonesia pada saat ini, sebenarnya tidak sedang baik-baik saja, karena banyaknya masalah yang kompleks yang dihadapi seiring dengan tekanan laju penduduk Indonesia yang makin pesat.
Sebagai rimbawan dan pengamat kehutanan yang terjun langsung lebih dari tiga dekade (35 tahun), saya mencoba mengurai dan menganalisis kondisi dan masalah hutan dan kehutanan sesuai dengan fungsinya sebagaimana ulasan berikut:
Kawasan Hutan Konservasi
Menurut buku “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit Desember tahun 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) 120,5 juta hektare. Luas ini terdiri dari hutan konservasi 27,3 juta hektare, hutan lindung 29,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 26,8 juta hektare, hutan produksi biasa 29,2 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 12,8 juta hektare. Secara faktual (de facto), luas hutan Indonesia yang masih benar-benar mempunyai tutupan hutan 86,9 juta hektare ,yang terdiri dari hutan primer 45,3 juta hektare, hutan sekunder 37,3 juta hektare, hutan tanaman 4,3 juta hektare dan kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan (unforested) 33,4 juta hektare.
Sesuai dengan tingkat (level) prioritas kawasan hutan yang harus dijaga, dilindungi dan dipertahankan sebagai kawasan hutan berturut turut dari atas adalah hutan konservasi, hutan lindung dan terakhir hutan produksi.
Hutan konservasi diatur dan dilindung oleh dua undang-undang (UU) yakni UU no. 5/1990 yang diubah menjadi UU no. 32/2024 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDAE) dan UU no. 41/1999 tentang kehutanan. Sedangkan hutan lindung dan hutan produksi hanya diatur oleh UU no. 41/1999. Pada tingkatan hutan konservasipun juga diatur kawasan hutan yang diprioritaskan yakni secara berurutan kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan taman buru (TB). Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Sementara kawasan hutan pelestarian alam yang termasuk didalamnya adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.
Untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya, undang undang no.41 tahun 1999 mengatur bahwa kawasan konservasi cagar alam dan zona inti taman nasional tidak diizinkan/diperbolehkan dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang dimaksud dapat dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Rehabilitasi hutan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, dan penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif (pasal 41, UU no.41/1999). Nampaknya aturan perundangan mengisyaratkan bahwa prioritas tertinggi yang harus dilindungi, dijaga dan dipertahankan ekosistem, habitat dan kawasannya (high protected priority), adalah cagar alam dan zona inti taman nasional.
Kawasan hutan konservasi yang luasnya 27,3 juta ha atau 21,8 persen dari seluruh kawasan hutan di Indonesia, tidak luput dari permasalahan baik dari luas tutupan hutan, pengelolaan kawasan, maupun pengawasan kawasan yang sangat lemah. Secara matematis, tutupan hutan yang ada dalam kawasan hutan konservasi harus berfungsi secara optimal karena prioritas tertinggi kawasan hutan yang harus dijaga, dilindungi dan dipertahankan adalah kawasan hutan konservasi. Faktanya dilapangan, dari seluruh kawasan hutan Indonesia yang tidak mempunyai tutupan seluas 33,4 juta ha, 4,5 juta ha diantaranya adalah kawasan hutan konservasi. Bentuk kawasan hutan konservasi yang tidak mempunyai tutupan hutan adalah merupakan lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah terlantar akibat dari illegal logging, illegal mining dan perambahan hutan untuk kebun (termasuk untuk kebun kelapa sawit).
Masalah latent dan akut yang dihadapi kawasan hutan konservasi adalah organisasi pengelola kawsan hutan konservasi didaerah saat ini sudah tidak memadai lagi baik dari segi kuantitas maupun kualitas dengan perkembangan dan tuntutan zaman sekarang. Meskipun, pemangku wilayahnya jelas dan terstruktur dengan dukungan dana APBN. Dari seluruh kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian yang ada telah dibagi bagi penanggung jawabnya masing-masing (selain taman hutan raya (Tahura) yang tanggung jawabnya diserahkan kepada pemerintah provinsi setempat berdasarkan PP 62/1998 yang diperbaharui UU 23/ 2014).
Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA/BKSDA) terdapat dan berkedudukan di ibu kota provinsi seluruh Indonesia dan sebagai penanggung jawab/pemangku wilayah kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru diwilayah provinsi. Sedangkan Balai Besar/Balai Taman Nasional (BBTN/BTN) sebagai penanggung jawab/pemangku wilayah kerja taman nasional. BBKSDA/BKSDA dan BBTN/BTN sebagai unit pelaksana teknis (UPT) pusat bertanggung jawab kepada Menteri LHK melalui Dirjen KSDAE KLHK. Dari data statistik Direktorat Jenderal KSDAE KLHK tahun 2018, pemangku wilayah kawasan konservasi seluruh Indonesia dibagi menjadi 26 wilayah provinsi yang terdiri dari delapan BBKSDA (Sumut, Riau, Jabar, Jatim, Sulsel, NTT, Papua, Papua Barat) dan 18 BKSDA (provinsi yang belum terdapat BKSDA adalah Babel, Kepri, Banten, Kaltara, Sulbar, Gorontalo, Maluku Utara). Sementara itu jumlah pemangku taman nasional sebanyak 48 BBTN/BTN terdiri dari 8 (delapan) BBTN (Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan Selatan, Gunung Gede Pangrango, Bromo Tengger Semeru, Betung Kerihun dan Danau Sentarum, Lore Lindu dan Teluk Cenderawasih) dan 40 BTN yang tersebar di seluruh Indonesia.
Jumlah pegawai Ditjen KSDAE yang berstatus PNS dan CPNS sebanyak 6.643 orang yang terdiri 370 orang pegawai pusat dan 6.237 orang pegawai UPT didaerah. Dari sejumlah 6.643 orang tersebut, terdiri dari pejabat eselon (I-IV) sebanyak 563 orang, fungsional tertentu 3.576 orang dan fungsional umum 2.468 orang. Pejabat fungsional tertentu terdiri dari PEH (Pengendali Ekosistem Hutan) 1.111 orang, polisi hutan (jagawana) 2.162 orang, penyuluh kehutanan 266 orang. Sisanya pejabat fungsional umum.
Salah satu masalah fundamental yang dihadapi kawasan konservasi adalah mudahnya kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam dibobol dan dijarah manusia. Ada kecenderungan kerusakan lingkungan dalam taman nasional semakin tahun makin bertambah besar dengan skala yang lebih luas. Ibarat seorang petinju yang sedang berlaga di atas ring, agar tidak jatuh dipukul lawan, petinju ini bertahan dan bersandar ditali ring sampai dengan ronde terakhir. Demikian halnya, nasib taman nasional kita.
Kerusakan kawasan hutan konservasi khususnya yang tidak mempunyai tutupan hutan 4,5 juta ha dapat dipulihkan kembali secepatnya sesusai dengan fungsinya sebagai kawasan lindung yang mutlak harus mempunyai tutupan hutan dengan merehabilitasi kembali dengan penanaman tanaman hutan (revegetasi) yang cepat tumbuh, kecuali dalam kawasan cagar alam dan zona inti taman nasional sistem pemulihannya harus melalui suksesi alami (dibiarkan tumbuh vegetasinya secara alami).
Memang ada beberapa kelemahan dalam pengelolaan taman nasional ini. Pertama luas taman nasional tidak sebanding dengan jumlah petugas. Rata-rata luas taman nasional di atas 100 ribu hektare, bahkan ada taman nasional di atas 1 juta hektare. Sementara jagawana hanya 100-125 orang per taman nasional. Idealnya 1 petugas bisa efektif menjaga kawasan seluas 200-250 hektare. Kedua, tak ada kejelasan batasan antara zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Demikian juga pembagian blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya pada KPA dan KSA selain taman nasional. Pembuatan tata batas antar zona maupun blok membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Masalah lain yang cukup menonjol adalah perdagangan ilegal satwa liar dilindungi yang meningkat tajam. Modus perdagangan satwa liar terus berkembang dan yang terakhir dapat diungkap dengan memanfaatkan jasa pos di bandar udara Soekarno-Hatta.
Kawasan Hutan Lindung
Hutan lindung yang luasnya 29,9 juta ha itu pada kenyataannya di lapangan terdiri dari yang mempunyai tutupan hutan 24 juta ha (hutan prmer 15,9 juta ha, hutan sekunder 7,8 juta ha dan hutan tanaman 0,3 juta ha) dan tidak mempunyai tutupan hutan seluas 5,6 juta ha. Kawasan lindung (selain kawasan bergambut dan kawasan resapan air) yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya adalah kawasan hutan lindung.
Salah satu fungsi kawasan hutan yang terabaikan dan mencemaskan adalah hutan lindung. Hutan lindung nampaknya kurang menarik dan seksi untuk dibahas karena nilai ekonomisnya lebih kecil dibandingkan dengan nilai ekologisnya. Oleh karena itu, hutan lindung di banyak daerah kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah setempat (pemda provinsi/kabupaten/kota), apalagi pemerintah pusat. Terdapat suatu kecenderungan dari tahun ke tahun, hutan lindung mengalami degradasi dan deforestasi yang masif dan cepat. Meskipun kerusakan hutan lindung sebarannya nomor dua setelah hutan produksi, namun dampak ekologisnya terhadap lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kerusakan hutan produksi. Contohnya, banjir dan banjir bandang yang terjadi sekitar Danau Toba dan sekitarnya diakibatkan adanya kerusakan hutan lindung di daerah hulunya (kawasan daerah tangkapan airnya). Hampir sebagian besar sungai yang terdapat di Jawa, seperti Bengawan Solo, Berantas, Citanduy dan sebagainya, rata-rata telah terjadi kerusakan yang cukup parah pada hutan lindung yang berada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut.
Mengacu kelahiran regulasi kehutanan, dari tiga jenis fungsi hutan, yakni hutan konservasi, lindung, dan produksi, posisi hutan lindung abu-abu. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, hanya hutan lindung yang tidak mempunyai turunannya (derivative) sebagaimana hutan konservasi dan hutan produksi. Dalam UU Kehutanan tak ditemukan adanya penjelasannya. Juga tak ada di PP 44/2004, maupun PP 23/2021,selain hanya arti dan pengertiannya, serta kriteria penetapannya.
Hutan lindung ditetapkan berdasarkan kriteria mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40 persen; atau ketinggian paling sedikit 2.000 meter di atas permukaan laut (dpl) atau dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 atau lebih. Secara teori, keberadaan hutan lindung sangat sentral dalam menjaga keseimbangan ekologis, khususnya pada daerah dengan penduduk padat dan banyak sungai besar seperti di Pulau Jawa dan Sumatera, serta topografi berbukit dan bergunung-gunung.
Maka daerah tangkapan air sangat penting dalam areal daerah aliran sungai. Sementara DAS tidak mengenal batas wilayah administratif pemerintahan. Jika terjadi banjir, maka urusannya tak hanya pemerintah di hilir, juga di hulu. Meskipun hutan lindung terabaikan karena nilai ekonominya kurang dibandingkan dengan hutan produksi, namun faktanya dalam regulasi kehutanan, hutan lindung dimanfaatkan dan digunakan secara ekonomi tidak jauh berbeda dalam tanda kutip.
Dalam regulasi kehutanan pemanfaatan hutan secara ekonomi hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan termasuk di dalamnya adalah kegiatan pertambangan.
Karena wilayahnya dianggap abu-abu, maka hutan lindung juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan pembangunan kegiatan lumbung pangan (food estate). Melalui peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) no. P.24/2020 yang membolehkan food estate dalam hutan lindung. Meski menurut Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, kawasan hutan lindung yang digunakan untuk pembangunan food estate tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu dalam keadaan terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan. Dengan food estate, akan memulihkan hutan dengan pola kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan, ternak dan perikanan (pola agroforestry, silvipasture, wanamina). Tanaman hutan dengan berbagai kombinasi itu akan memperbaiki fungsi hutan lindung.
Kawasan hutan lindung paling luas tersebar di Maluku dan Papua, dengan luas total 10,65 juta ha. Di urutan berikutnya ada Kalimantan dengan kawasan hutan lindung 7,03 juta ha, Sumatera 5,60 juta ha, dan Sulawesi 4,33 juta ha. Bali dan Nusa Tenggara memiliki kawasan hutan lindung 1,21 juta ha. Sedangkan Jawa menjadi wilayah dengan hutan lindung paling sedikit, yakni 734.940 ha.
Yang mengkhawatirkan adalah keberadaan hutan lindung di Kalimantan yang luasnya mencapai 7,03 juta ha. Secara fisik dan kasat mata hutan lindung dan hutan produksi di Kalimantan sulit dibedakan antar yang satu dengan lainnya. Kita hanya tahu beda antar hutan lindung dan hutan produksi di atas peta pembagian kawasan fungsi saja. Lain halnya dengan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam dan seterusnya di lapangan akan jelas terlihat dengan tanda-tanda batas dan papan pengumuman serta dijaga dan dikelola oleh pemangku kawasan seperti Balai Taman Nasioanl (BTN) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. Kenapa di Kalimantan, hutan lindung dan hutan hutan produksi sulit dibedakan?
Jawabannya adalah faktor ketinggian paling sedikit di atas 2000 m dpl, jarang ditemukan di Kalimantan. Kalaupun ada, biasanya ada di daerah hulu di perbatasan dengan wilayah Kalimantan di pegunungan Verbeek. Di Kalimantan jarang temukan gunung tinggi, pegunungan dan bukit-bukit yang tinggi. Karena sungainya sangat panjang dan hulunya ada di perbatasan negara Malaysia, maka kondisi daerah aliran sungainya (DAS) sangat luas, seperti DAS Barito, DAS Mahakam, dan DAS Kapuas. Jadi kriteria penetapan hutan lindung di Kalimantan lebih banyak bertumpu pada curah hujan dan jenis tanah. Sementara ketinggian atau kelerangan lahan dianggap relatif rata atau datar. Di kawasan hutan gambutpun, yang disebut dengan hutan lindung adalah hutan gambut yang mempunyai kubah gambut saja, selebihnya adalah hutan produksi.
Di masa orde baru, di mana kawasan hutan di Kalimantan banyak dikavling-kavling untuk konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) dalam jumlah yang cukup banyak, boleh jadi banyak areal HPH mencaplok kawasan hutan lindung, baik secara sengaja (mencuri kayu di hutan lindung) atau tidak sengaja karena salah menafsirkan peta dengan pelaksanaan di lapangan. Lebih aneh lagi, dalam kawasan hutan mangrove, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih membagi kawasan fungsi hutan mangrove sebagaimana ekosistem hutan yang berada di daratan, yakni hutan konservasi (HK) 797.109 ha, hutan lindung (HL) 991.456 ha, dan hutan produksi (HP) 1.148.248 ha. Padahal, jelas-jelas dalam UU 26/2007 tentang penataan ruang kawasan lindung dalam kawasan hutan, hanya hutan konservasi dan hutan lindung. Dalam UU inipun dipertegas bahwa kawasan hutan pantai berhutan bakau telah dipertegas masuk dalam kawasan lindung (bukan kawasan budidaya yang secara otomatis bukan masuk dalam APL).
Kondisi dan alasan-alasan yang disebut di atas itulah yang saya sebut hutan lindung sebagai wilayah abu-abu, yang dapat ditarik kesana dan kemari baik untuk pemanfaatannya maupun penggunaannya yang hanya sekadar untuk keuntungan ekonomi semata.
Kawasan Hutan Produksi
Kawasan fungsi hutan yang mempunyai fungsi ekonomi penuh adalah kawasan hutan produksi yang dalam UU tata ruang masuk dalam kawasan budidaya. Sayangnya, kejayaan kawasan hutan produksi alam di Indonesia yang mencapai puncaknya pada era orde baru dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah migas kurang dimanfaatkan secara optimal di era reformasi yang telah berlangsung selama 26 tahun.
Luas hutan produksi yang ada sekarang secara de jure adalah 68,80 juta ha. Secara de facto yang masih mempunyai tutupan hutan seluas 45,5 juta ha. Sementara kawasan hutan produksi yang tidak mempunyai tutupan hutan seluas 23,3 juta ha, yang terdiri dari hutan produksi terbatas (HPT) 5,4 juta ha, hutan produksi biasa (HPB) seluas 11,4 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 6,5 juta ha.
Belum lama ini, Menteri Keuangan RI; Sri Mulyani Indrawati mengaku tak habis pikir bagaimana Indonesia yang memiliki hutan sangat luas, namun sumbangan ke keuangan negara sangatlah kecil. Sektor kehutanan secara keseluruhan, hanya memberikan setoran dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 5,6 triliun. Padahal, PNBP Indonesia sekarang sudah mencapai hampir Rp 350 triliun. Lebih jauh, Menteri Keuangan menjelaskan bahwa setoran PNBP dari hutan ini kurang masuk akal apabila dibandingkan dengan luas hutan Indonesia yang menguasai daratan Indonesia seluas 120,3 juta ha.
Kegundahan Sri Mulyani masuk akal, bagaimana tidak; sektor yang tadinya mampu memberikan pemasukan negara sebesar 16 miliar US $/tahun di era orde baru dan menyumbang devisa kedua sesudah migas, sekarang turun drastis menjadi 375 juta US $/tahun saja. Menteri Keuangan memprediksi bahwa sebenarnya dominasi PNBP dari basis kayu masih sangat tinggi, namun PNBP sektor kehutanan sangat kecil disebabkan karena kurangnya pengawasan, penegakan hukum yang lemah dan kurang komprehensif dan optimalisasi potensi termasuk aset yang dinilai masih menganggur (iddle time). Benarkah sinyalemen yang dikemukaan oleh Menteri Keuangan tersebut ?.
Salah satu isu, aset yang dinilai masih idle memang ada benarnya. Hutan produksi yang memang disiapkan untuk memproduksi hasil hutan kayu baik dari hutan alam/tanaman maupun hasil hutan non kayu, 50 persennya belum dimanfaatkan secara keseluruhan sebagai aset ekonomi yang sebenarnya yang mampu menghasilkan pemasukkan negara. Dari luas hutan produksi yang 68,80 juta ha tersebut, yang telah dibebani hak (dengan perizinan) seluas 34,18 juta hektare (izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (IUPHHK-HA) 18,75 juta ha dengan 257 unit korporasi, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK_HT) 11,19 juta ha dengan 292 unit korporasi dan IUPHHK-RE (restorasi ekosistem) seluas 0,62 juta ha). Sisanya hutan produksi seluas 34,62 juta ha belum dibebani hak (belum ada perizinan). Bilamana hutan produksi yang belum berizin ini segera dimanfaatkan dan dioptimnalkan untuk kegiatan ekonomi yang produktif maka penerimaan negara dari sektor kehutanan niscaya akan dapat ditambah dan ditingkatkan jumlahnya.
Konsep multi usaha kehutanan (MUK) yang digadang-gadang mampu meningkatkan nilai usaha hutan berlipat kali ternyata belum terbukti sukses storynya, karena banyak kendala dalam pelaksanaan di lapangan. MUK sebagai konsep juga mempunyai kelemahan antara lain, pertama produksi kayu dari hutan alam menurun sejak 2005 dan turun dititik nadir sejak ditetapkan moratorium permanen hutan alam tahun 2019. Banyak industri kayu, seperti pabrik kayu lapis, kayu gergajian dan industri perkayuan lainnya, kolaps atau beroperasi on and off. Kedua, dari aspek agroklimat lahan konsesei tersebut rata-rata lahan yang miskin hara dengan keasaman tinggi (lahan bergambut). Kalau dipaksakan misalnya untuk budidaya tanaman pangan, perlu perlakuan khusus (pengapuran dolomit agar tanah menjadi basa dan pemupukan dengan dosis tinggi) yang membutuhkan biaya besar. Ketiga, dari sisi penyediaan tenaga kerja, MUK untuk penyediaan pangan misalnya, selain padat modal, juga padat karya yang tidak sama dengan usaha pemanfaatan kayu yang selama ini dilakukan. Belum tentu juga sumber daya manusia yang dibutuhkan ada dilokasi terdekat.
Pajak karbon, sebenarnya mampu mendongkrak pendapatan negara dari sektor kehutanan, namun sayang pelaksanaannya ditunda sampai dua kali. Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak yang dihasilkan dapat mencapai Rp 26 triliun hingga 53 triliun atau 0,2% hingga 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar US% 5 – 10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi. Dengan analogi terbalik berdasarkan prosentase penyumbang emisi karbon paling besar yakni sektor kehutanan yang mencapai hampir 50 %, -berdasarkan hitung-hitungan Bahana Sekuritas tersebut- ; maka dari pajak karbon sektor kehutanan mampu menambah kontribusi kepada negara sebesar Rp 14 triliun hingga 26 triliun setiap tahun. ***