Kebijakan moratorium perkebunan kelapa sawit nampaknya memang masih belum akan segera tuntas. Terbukti, Kementerian Pertanian (Kementan) saja masih mengusulkan kewenangan dalam draft Inpres yang bertajuk Evaluasi dan Penundaan Perizian Perkebunan Kelapa Sawit ini.
“Dari draft yang ada sekarang, kami menambahkan poin melakukan pengendalian izin usaha budidaya, dan pengelolaan hasil. Sebelumnya hanya pengendalian izin pabrik kelapa sawit (PKS) baru,” kata Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Dwi Praptomo Sudjatmiko kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (4/11/2016).
Selain itu, poin yang disempurnakan adalah soal kerjasama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP) untuk pengembangan sumberdaya manusia, penelitian dan pengembangan, peremajaan dan penyediaan sarana dan prasarana untuk perkebunan kelapa sawit, yang ditambahkan dengan kata promosi. “Kita sudah berapa kali rapat mengenai draft Inpres ini. Kita semua hati-hati agar moratorium ini berjalan baik,” katanya.
Dirjen Perkebunan, Kementan Bambang, ketika dihubungi mengatakan, penyempurnaan tambahan itu diusulkan kepada Kemenko Perekonomian. “Menko Perekonomian akan mengkoordinir sampai finalisasi menjadi Inpres,” katanya.
Bambang mengakui beberapa poin dalam draft Inpres itu dilakukan penyempurnaan. Maksudnya, agar lebih jelas wewenang masing-masing instansi.
Dia mengakui, pembahasan draft Inpres ini masih tahap penyempurnaan dari instansi terkait lainnya. Tidak hanya Kementan, instansi lain juga masih melakukan penyempurnaan. “Jadi, pemerintah tetap hati-hati agar moratorium ini tidak mengganggu pembangunan perkebunan,” tegasnya.
Menyinggung soal pengendalian Izin Usaha Budidaya (IUB), Bambang mengatakan pihaknya akan memperketat pengawasan. Jika dalam waktu tertentu tidak dilakukan usaha budidaya, maka izin akan dicabut.
“Selama ini, kalau tiga tahun lahan tidak digarap, pemegang izin tidak mendapat teguran apa-apa. Sekarang akan lebih tegas lagi. Jika tiga tahun tidak ada usaha budidaya, kemungkinan IUB akan kita cabut. Tentunya melalui prosedur surat peringatan lebih dulu,” tegasnya.
Dia menyebutkan, soal pelepasan lahan merupakan wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, untuk lahan Areal Penggunaan Lain (APL), mantan Kadis Perkebunan Provinsi Sultra ini mengatakan masih bisa digunakan untuk perkebunan sawit dengan catatan harus sesuai dengan prosedur.
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mendukung kebijakan Presiden Joko Widodo soal moratorium lahan sawit. Pasalnya, peningkatan produktivitas sawit tak lagi difokuskan pada perluasan lahan, tetapi lebih pada upaya pemanfaatan bibit-bibit unggul.
“Itu benar kata Pak Presiden. Kita intensifikasi. Kita ini produktivitasnya masih kurang banyak. Perlu intensifikasi, sama seperti yang kita lakukan kepada padi dan saya kira ini solusi tepat,” ujar Amran beberapa waktu lalu.
Menurut Amran, langkah intensifikasi ini memiliki keuntungan, terutama untuk mengangkat pendapatan petani. Sebab, beban biaya produksi yang akan dikeluarkan petani menjadi semakin kecil. “Kenapa turun? Karena produksi dibagi biayanya. Biayanya kan konstan. Tapi yang perlu peningkatan produktivitas,” katanya.
Dia menambahkan, saat ini produksi kelapa sawit merupakan yang terbesar di dunia. Pihaknya tengah berupaya membuka pasar dalam negeri untuk pemanfaatan biodisel, untuk menjaga harga komoditas sawit tetap seksi. “Kita buka pasar dalam negeri. Kita juga sudah koordinasi dengan Menteri ESDM. Mudah-mudahan bisa 7 juta ton,” katanya.
UU kelapa sawit
Sementara itu Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan, persoalan yang melingkupi industri sawit saat ini sangat kompleks. “Di industri ini juga banyak melibatkan banyak petani dan pengusaha. Industri ini juga mendatangkan devisa yang besar bagi negara. Oleh karena itu, kami merasa UU Perkelapasawitan jadi sangat penting agar masalah yang kompleks dan cukup luas ini dapat ditangani secara lebih baik,” katanya.
Menurut dia, dengan adanya UU Perkelapasawitan, diharapkan semua kepentingan dapat diperhatikan. “Tidak hanya kepentingan pengusaha, tapi juga petani, industri hilirnya, pemasarannya, tataniaganya, pengelolaan kebunnya,” kata Derom.
Yang tidak kalah penting, lanjut Derom, penelitian di bidang kelapa sawit juga harus diperhatikan. Sebab, industri sawit harus mendapat dukungan yang baik dari penelitian. “Apalagi saat ini banyak ancaman dari kompetitor minyak nabati lain, sehingga perlu adanya pembenahan supaya hal-hal negatif bisa diatasi secara bersama-sama,” katanya.
Soal standarisasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), menurut Derom, juga harus diperkuat. Karena di pasar internasional, CPO asal Indonesia masih sering dipersoalkan karena dianggap kurang lestari.
DMSI merupakan lembaga yang menaungi beberapa asosiasi di industri kelapa sawit. Di antaranya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni), dan Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi).
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Subagyo mengatakan, RUU Perkelapasawitan saat ini sudah pada pembentukan Panja Harmonisasi. “Itu nanti dibahas tahapan-tahapannya sampai kepada inisiatif dewan,” kata Firman, pekan lalu.
Firman menegaskan, RUU ini tidak berpihak kepada kepentingan kelompok manapun. Regulasi ini, kata dia, dibuat untuk kepentingan nasional. Supaya semuanya mendapatkan kepastian hukum, baik pelaku usaha besar maupun petani yang selama ini terkriminalisasi oleh gerakan-gerakan LSM yang selalu mendiskreditkan sawit sebagai perusak hutan.
“Ini harus kita luruskan, yang melanggar kita tindak. Itu harus ada aturan hukumnya. Bagi mereka yang benar, harus kita lindungi,” kata Firman, yang juga Anggota Komisi IV DPR ini.
Menurutnya, banyak juga para pelaku usaha besar yang bukan investor asing. Selain itu juga ada kebun kelapa sawit yang dimiliki oleh BUMN yang semuanya itu perlu mendapatkan perlindungan dari negara. Jadi, kata Firman, keberadaan RUU Perkelapasawitan ini tidak hanya melindungi pengusaha besar saja, namun juga kebun milik petani. Pasalnya, dari luas total sekitar 11 juta ha kebun sawit, sekitar 48%-nya milik petani.
“Itu kan harus mendapatkan kepastian hukum. Jangan sampai menjadi korban karena adanya izin yang diberikan kepada pelaku usaha besar. Ini keseimbangan yang harus kita jaga dalam RUU ini. Sehingga, hulu-hilirnya itu nanti betul-betul diatur sehingga ujungnya itu nanti pada kepentingan nasional,” katanya. Jamalzen
Non Litigasi untuk Keterlanjuran Kebun di Hutan
Selain berencana melakukan moratorium, Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup (KLHK) dan Kehutanan juga sudah menyiapkan penyelesaian masalah hukum di luar pengadilan. Penyelesaian non litigasi ini disiapkan untuk kebun yang terlanjur dibangun tanpa adanya izin pelepasan kawasan hutan. Langkah ini menjadi bagian dari kebijakan moratorium kebun kelapa sawit yang masih terus difinalisasi.
“Non litigasi itu, misalnya dikenakan denda atau sanksi lain. Tapi bukan pidana,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya di Jakarta, Selasa (1/11/2016).
Berdasarkan inventarisasi awal Kementerian LHK, ada sekitar 2,3 juta hektare (ha) kebun sawit tanpa izin pelepasan kawasan hutan. Menteri menegaskan, penyelesaian non litigasi bukanlah amnesti. Sebab, tetap ada sanksi yang akan dijatuhkan.
Menteri menuturkan, untuk mengimplementasikan langkah penyelesaian tersebut, Kementerian LHK bersama kementerian terkait akan mempelajari terlebih dahulu berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Termasuk UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan. Juga UU di sektor lain seperti di perkebunan.
“Jadi, kita pelajari saja dulu. Nanti, sama-sama semua elemen melihat peluang itu. Sebab mestinya kena pidana. Nanti naskah akademik disusun bareng,” kata Nurbaya.
Kehati-hatian memang diperlukan. Pasalnya, kusutnya kebun di kawasan hutan tak lepas dari sejarah pengukuhan hutan yang panjang. Situasi ini membuat ada kebun yang memiliki izin dari pemerintah daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Lihat riwayat
Menteri Nurbaya menyatakan, ada evolusi pengukuhan kawasan hutan. Dari awalnya sistem register hutan, menjadi tataguna hutan kesepakatan, kemudian penunjukan dan pengukuhan kawasan hutan dengan padu serasi di RTRW.
Itu sebabnya, kata Menteri, setiap kebun harus dilihat lebih dulu riwayat pembangunannya kasus per kasus. “Dilihat dulu seluruh sejarah itu. Dari 2,3 juta ha itu, bagaimana menurut sejarah, riwayat tanah dengan segala macam evolusi pengukuhan itu,” katanya.
Selain penyelesaian kebun keterlanjuran kebun di kawasan hutan, Menteri Nurbaya menyatakan kebijakan moratorium sudah hampir final, terutama hal-hal yang terkait kebijakan Kementerian LHK.
Termasuk tidak akan ada penerbitan baru untuk izin pelepasan kawasan hutan untuk kebun. Untuk permohonan yang sudah masuk, sepanjang memenuhi syarat dan tatabatasnya tuntas, izin bisa diterbitkan.
Menteri memastikan, izin pelepasan hanya akan diterbitkan di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dengan tutupan hutan yang sudah terdegradasi. “Kalau tutupan hutannya primer, tidak akan bisa,” kata Menteri Nurbaya.
Ketentuan lain yang juga sudah final adalah bakal dicabutnya izin kebun yang sudah diterbitkan namun belum dibangun kebun. Ini sesuai dengan ketentuan termaktub dalam izin kebun yang diberikan kepada pemegang konsesi.
“Kalau izin sejak tahun 2003, tapi tutupan hutannya masih primer, masih bagus, ya dicabut. Ada yang izinnya sejak tahun 1993 tapi hutannya masih primer, berarti kan tidak diapa-apakan,” kata Nurbaya.
Menteri Nurbaya mengungkapkan, finalisasi moratorium kebun terus dilakukan di bawah koordinasi Kantor Menteri Koordinasi Perekonomian. Menurut dia, Kemenko Perekonomian masih memberi kesempatan untuk Kementerian Pertanian dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk melengkapi informasi lebih detil tentang pendataan sawit dan hasil kebun yang masuk ke pabrik dan HGU.Dia juga mengungkapkan, jangka waktu moratorium akan berkisar 3-5 tahun. Sugiharto