Kementan Cabut 1.647 Izin Edar Pestisida

Kementerian Pertanian (Kementan) mencabut sedikitnya 1.647 izin edar pestisida karena melanggar ketentuan yang ditetapkan. Salah satunya akibat produsen mengurangi komposisi, sehingga tidak sesuai dengan yang terdaftar.

“Kita sudah mencabut sekitar 1.647 izin pendaftaran pestisida. Belum lama ini ada dua yang kita cabut,” kata Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy, di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, alasan pencabutan izin pendaftaran pestisida itu karena produk yang dipasarkan di bawah standar Kementan, sehingga kurang efektif jika digunakan petani. Hal ini berarti merugikan petani sebagai konsumen.

Sarwo Edhy mengingatkan agar perusahaan pestisida yang sudah mendapatkan izin dan produk dikemas dalam botol harus sesuai dengan yang sudah didaftarkan.  “Kami hanya meluruskan dan mengingatkan agar pestisida yang beredar di lapangan sesuai dengan komposisi yang didaftarkan,” katanya.

Apalagi, lanjut Sarwo, pengurangan komposisi pestisida yang dilakukan perusahaan telah merugikan petani dan merupakan dosa besar. “Itu merupakan pembohongan publik. Karena harganya lebih murah, sedangkan petani tidak mengetahui kalau komposisi pestisidanya berkurang. Kualitas seperti itu merugikan petani,” tegasnya.

Sarwo mengatakan, pencabutan izin pestisida itu bukan tanpa alasan. Sebab, pemerintah sudah melakukan pengujian lima sampel terhadap pestisida yang dicabut tersebut. “Kita ambil sampel di tiga provinsi sesuai saran Irjen Kementan, meski sebenarnya dua provinsi saja sudah cukup,” ujarnya.

Bahkan, saat ini ada enam merek lagi yang tengah proses pencabutan izin edarnya karena mengurangi komposisi. Selain itu, Sarwo menduga masih banyak beredar pupuk dan pestisida yang izinnya sudah dicabut dan izinnya sudah habis.

Bahkan pihaknya sudah mengirim surat ke daerah untuk menyampaikan daftar pupuk dan pestisida yang surat izinnya dicabut dan izinnya habis. “Ini supaya Pemda juga bisa ikut mengawasi peredaran pestisida yang ilegal. Kami juga minta tolong asosiasi dan KP3 ikut mengawasi di daerah,” katanya.

Jual Beli Izin

Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen PSP, Muhlizar Sarwani mengatakan, kini sudah banyak perusahaan pestisida yang tutup. Penyebabnya adalah perusahaan hanya memesan produk yang sudah jadi dari luar negeri dan dipasarkan di Indonesia.

“Ada juga yang sekadar mendapatkan atau memenangkan tender di daerah dalam pengadaan pestisida. Perusahaan itu termasuk yang 1.647 yang pemerintah cabut izinnya,” katanya.

Dalam Permentan No. 43 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Syarat Pendaftaran, pemerintah sudah mengatur lebih detail persyaratan pendaftaran pestisida, termasuk pestisida impor. Sebelum melakukan pencabutan izin, pihak Direktorat Pupuk dan Pestisida (PSP), Kementan telah melakukan verifikasi terhadap 5.387 formulasi.

Selain mengurangi komposisi, pencabutan izin dan nomer pendaftaran karena pestisida tersebut sudah tidak berproduksi lagi. Tidak berproduksi lagi karena memang habis masa berlaku nomer pendaftaran dan tidak diperpanjang lagi oleh pemiliknya, kata Muhrizal.

Dia menduga, banyak izin-izin pestisida yang sudah belasan tahun, tapi tidak berproduksi. Izin pendaftaran berlaku 5 tahun dan bisa diperpanjang. Persyaratan perpanjangan izin di antaranya melakukan uji mutu dan efikasi.

Bahkan, untuk perpajangan pertama/ganjil cukup melakukan uji mutu. Perpanjangan kedua/genap, melakukan uji mutu dan efikasi. Dengan ini produsen atau pemegang pendaftaran bisa saja melakukan perpanjangan tanpa harus berproduksi.

Artinya, izin pendaftaran masih berlaku, tapi tidak berproduksi. Izin seperti ini rawan diperjual-belikan. “Pencabutan izin ini, salah satunya, untuk menghindari jual-beli izin,” tegasnya.

Didukung

Asosiasi Crop Care Indonesia mendukung Kementan yang mencabut izin edar yang sudah tidak berproduksi lagi. “Kami tidak keberatan kalau pemerintan (Kementan) mencabut izin yang sudah tidak aktif lagi,” kata Ketua Crop Care Indonesia, Joko Suwondo kepada Agro Indonesia di Jakarta, pekan lalu.

Joko menyebutkan, kenyataan di lapangan memang banyak pemegang pendaftaran sudah tidak berproduksi lagi dengan berbagai alasan. “Dengan pencabutan ini akan diketahui produk mana saja yang masih bertahan,” tegasnya.

Dia menambahkan, memang banyak pemegang pendaftaran yang tidak berproduksi. Namun demikian, izin pendaftarannya masih berlaku. Menurut dia, tindakan tegas pencabutan izin  yang tidak aktif ini akan berdampak positif bagi dunia usaha, karena pelaku usaha ke depan tidak akan main-main lagi.

Menurut Joko, alasan izin tidak aktif lagi memang bervariasi. Misalnya, ketika mengurusi izin, pemegang pendaftaran hanya ingin ikut kegiatan lelang. Ada juga pemegang pendaftaran yang hanya maklon. Artinya, mereka tidak mempunyai pabrik.

“Banyak kejadian di Indonesia, seseorang yang tidak ada pabrik, tapi dia bisa memproduksi pestisida dengan cara maklon tadi. Bahan baku diimpor, kemudian di re-packing di sini dengan pasang stiker merek sendiri,” ungkapnya.

Menurut Joko, pemegang pendaftaran seperti ini sangat rawan melakukan jual beli izin pendaftaran atau izinnya tidak berproduksi sampai habis masa berlakunya lima tahun.

Joko mengakui, industri pestisida di dalam negeri masih terkendala proses registrasi. Meski sudah ada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang mengatur registrasi pestisida, tapi kadang ada peraturan yang tidak tertulis yang menghambat proses registrasi. “Kami rasakan paling cepat  2 tahun baru keluar registrasi pestisida baru, tapi rata-rata mencapai 2,5 tahun, seharusnya 1 tahun bisa selesai,” katanya.

Hitungan Joko, jika satu jenis pestisida diujicobakan untuk dua kali musim tanam, misalnya untuk tanaman padi atau sayuran, maka dengan umur tanam 2-3 bulan, hanya diperlukan waktu 6 bulan untuk mengetehui efektivitas pestisida. Artinya dengan proses yang lainnya, dalam waktu 1 tahun atau 1,5 tahun, proses registrasi sudah selesai.

“Dengan proses registrasi yang cukup lama tersebut, akan sulit menarik investor untuk masuk ke dalam industri pestisida,” ujarnya, seraya berharap agar pemerintah bisa memangkas proses registrasi tersebut untuk mendorong pertumbuha industri pestisida di dalam negeri.

Aliansi Stewardship Herbisida Terbatas (Alishter), Mulyadi Benteng mengatakan hal yang sama. Menurut dia, jangankan izin yang tidak aktif atau tidak memberikan laporan yang dicabut. Produsen pestisida terbatas pakai (paraquat) yang tidak melakukan pelatihan diusulkan juga dicabut.

“Tindakan tegas pemerintah yang akan mencabut izin pendaftaran yang tidak aktif kami sambut positif. Jangankan hanya itu, produsen pestisida terbatas pakai yang tidak melakukan pelatihan juga kami usulkan untuk dicabut izinnya,” tegas Mulyadi kepada Agro Indonesia di Jakata, pekan lalu.

Menurut Mulyadi, ketentuan dalam menjual pestisida terbatas pakai (bahan aktif paraquat), adalah melakukan pelatihan kepada petani pengguna. “Dari sekitar 77 produsen pestisida terbatas pakai, hanya sekitar 40 produsen yang melakukan pelatihan baik kepada petani maupun pedagang,” tegasnya.

Alishter, kata Mulyadi, akan memberikan laporan kepada pemerintah tentang pelatihan yang dilakukan asosiasi ini. Dari laporan ini diharakan ada tindakan tegas dari Kementan. PSP