Kementerian Pertanian (Kementan) berkomitmen mengawal progam Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Pasalnya, lahan merupakan faktor utama dalam penentuan besaran produksi pertanian.
Seperti diketahui, peningkatan kebutuhan lahan membuat alih fungsi lahan pertanian — khususnya lahan sawah — dipandang sebagai objek yang paling seksi untuk dialihfungsikan. Melalui UU No. 41 Tahun 2009 dan produk hukum turunannya (PP), pemerintah berupaya melakukan pengendalian alih fungsi lahan pertanian melalui perlindungan lahan pertanian pangan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy mengatakan, salah satu amanat mendasar dari UU No. 41 Tahun 2009 adalah LP2B dalam Perda RTRW dan/atau RDTR Kabupaten/Kota.
“LP2B sesuai amanat UU No. 41 Tahun 2009 dan turunannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota yang dituangkan dalam Perda Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Provinsi maupun Kabupaten/Kota,” jelas Sarwo Edhy, Rabu (14/11/2019).
Guna mengintegrasikan Penetapan LP2B dalam Perda RTRW tersebut, sudah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 8 tahun 2017, yakni tentang Pedoman Pemberian Persetujuan Substansi Dalam rangka Penetapan Peraturan Daerah Tentang RTRW Provinsi dan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota.
Pada Pasal 9 Huruf d disebutkan, evaluasi materi Rancangan Perda Rencana Tata Ruang dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit 5 substansi. Salah satu di antaranya adalah LP2B. Lebih lanjut, Permen ATR/BPN No. 1 Tahun 2018 menetapkan persebaran KP2B dimuat dalam RTRW, penunjukan kawasannya digambarkan dalam peta tersendiri dan akan ditampilkan (overlay) dengan peta rencana pola ruang.
Melalui komitmen penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) dalam RTRW dan/atau RDTR Kabupaten/Kota diharapkan dapat mengendalikan lahan pertanian agar tidak dialihfungsikan menjadi peruntukan lainnya.
“Selain itu, Perda RTRW juga berfungsi sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang dan pemberian izin lokasi pembangunan skala besar. Sehingga terbentuk keselarasan, keserasian, keterpaduan, kelestarian dan kesinambungan pemanfaatan ruang,” tuturnya.
Dijelaskannya, rekapitulasi penetapan LP2B dalam Perda RTRW Kabupaten/Kota sampai sekarang adalah 481 Kabupaten/Kota telah menetapkan Perda RTRW. Dari jumlah tersebut, 221 Kabupaten/Kota telah menetapkan Perda RTRW dan 260 Kabupaten/Kota tidak menetapkan LP2B dalam Perda RTRW.
“Rekapitulasi penetapan Perda tentang PLP2B sampai sekarang adalah 67 Kabupaten/Kota dan 17 Provinsi. Sebagian besar Perda PLP2B yang ditetapkan tersebut hanya menyalin pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 41/2009 maupun peraturan perundangan turunannya.
Jika disesuaikan dengan amanat UU 41/2009 menyabutkan, penetapan LP2B cukup diintegrasikan dalam Perda RTRW kemudian ditindaklanjuti dengan pengaturan yang lebih rinci dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
“Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tetap menyusun dan menerbitkan Perda LP2B diharapkan mengakomodir muatan lokal dan operasional yang disesuaikan dengan kebutuhan Provinsi, Kabupaten/Kota yang bersangkutan,” tambah Sarwo Edhy.
Penyempurnaan
Sarwo Edhy menambahkan, upaya pemerintah daerah dalam penetapan LP2B patut diapresiasi. Namun, dalam pelaksanaannya, belum semua daerah menyelesaikan Perda RTRW, dan bahkan bagi yang sudah menetapkan RTRW ada yang belum menetapkan LP2B serta belum didukung data spasial yang menunjukan zonasi penetapan LP2B tersebut.
Salah satu upaya penyempurnaan penetapan LP2B adalah melalui Revisi Perda RTRW Provinsi, Kab/Kota. Setidaknya terdapat 2 provinsi, 74 kabupaten dan 11 kota Perda RTRW yang memasuki masa Peninjauan Kembali (PK) dan 10 provinsi, 126 kabupaten dan 38 kota Perda RTRW yang sedang proses revisi.
“Upaya pengawalan pelaksanaan perlindungan ini dapat dilakukan dengan integrasi data lahan sawah yang telah dilengkapi spasialnya untuk dipriorotaskan ditetapkan sebagai LP2B,” jelasnya.
Dalam upaya pengawalan percepatan, Kementan juga telah melakukan sejumlah langkah. Pertama, sosialiasi UU No. 41 Tahun 2009 dan turunannya kepada stakeholders terkait di tingkat Pusat dan Daerah, baik Dinas lingkup Pertanian, Dinas Tata Ruang Provinsi dan Kab/Kota, Kantor Wilayah Pertanahan dan Kantor Pertanahan.
Kedua, memasukkan LPPB secara eksplisit dalam Tata Ruang Wilayah Propinsi, Kabupaten Kota dengan mempertahankan lahan sawah yang ada secara maksimal dengan pengawalan kab/kota yang akan merevisi RTRW untuk menetapkan LP2B dengan didukung data spasial.
Ketiga, menyusun Rule Base dan Rencana Aksi Dukungan Kementerian Pertanian sebagai tindak lanjut Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Percepatan Penetapan Sawah Berkelanjutan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah.
“Keempat, Dinas Provinsi dan Kab/Kota berkoordinasi dalam menginventarisasi luasan dan sebaran LP2B. Kemudian segera mengusulkan kepada Dinas yang menangani Tata Ruang untuk ditetapkan dalam Perda RTRW,” katanya.
Purwakarta Zona Merah
Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta, Jawa Barat telah menetapkan empat kecamatan sebagai wilayah terlarang atau zona merah alih fungsi lahan. Empat kecamatan itu adalah Kecamatan Babakan Cikao, Bungursari, Campaka, dan Cibatu.
“Di empat kecamatan ini sudah kami tandai, tidak boleh ada satu jengkal pun lahan pertanian produktif yang beralih fungsi,” tegas Bupati Purwakarta, Anne Ratna Mustika, beberapa waktu lalu.
Anne berkomitmen akan terus mendorong dan memberikan motivasi kepada para petani melalui berbagai bantuan. Tahun depan pihaknya berencana menggelar sebuah event menarik sebagai upaya untuk mengajak kaum milenial agar tertarik pada sektor pertanian.
“Tahun depan ada event, biar generasi muda kita tertarik bertani,” katanya. Berdasarkan data dari Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta, luasan sawah baku tercatat mencapai 18.000 ha. Dari jumlah tersebut, 10.000 ha merupakan sawah irigasi teknis dan 8.000 ha di antaranya merupakan sawah tadah hujan.
Anne menambahkan, lahan-lahan produktif ini tidak boleh beralih fungsi dengan alasan apapun. Pihaknya akan menguatkan komitmen dengan para pemilik lahan supaya tak terlalu mudah menjual lahan pertanian mereka.
“Kalau dijual, nanti kami akan memintai keterangan kepada pembelinya itu kegunaan lahan tersebut selanjutnya untuk apa. Kalau untuk industri atau perumahan, tidak akan kami izinkan,” tandas Anne.
Menurut dia, Kabupaten Purwakarta saat ini menjadi salah satu daerah berkembang di Jawa Barat. Selama ini banyak investor yang masuk ke wilayah tersebut untuk mengembangkan sebuah perusahaan di bidang industri, ritel atau properti.
Atas dasar itu pula, Anne mengeluarkan kebijakan tegas guna melindungi lahan pertanian yang masih tersisa. Salah satu caranya yakni memperketat izin pembangunan perumahan baru di Purwakarta.
“Kami akui, semakin berkembangnya wilayah, maka alih fungsi lahan pun semakin menghantui. Ini yang harus kami antisipasi. Kalau tidak lahan pertanian bisa habis,” ujar Anne. PSP