Kementerian Pertanian (Kementan) telah menyiapkan strategi untuk mengantisipasi musim kemarau. Salah satunya dengan menurunkan tim khusus untuk penanganan kekeringan di wilayah sentra produksi padi.
Tim ini akan berkoordinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Mereka akan bekerja sama untuk memetakan potensi permasalahan kekeringan di sejumlah daerah serta menyiapkan solusi berupa ‘penggelontoran’ air dari bendungan,” kata Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy di Jakarta, Rabu (26/6/2019).
Tim ini diharapkan melakukan identifikasi ke wilayah yang terdampak kekeringan. Jika masih terdapat sumber air (air dangkal), maka tim ini mendorong Dinas Pertanian setempat untuk mengajukan bantuan pompa air kepada instansi terkait.
Menurut Sarwo Edhy, salah satu penyebab kekeringan di lahan-lahan pertanian adalah sistem pengairan air yang terhambat. Kementan sendiri telah berupaya membenahi tata kelola air dengan memfasilitasi pembangunan infrastruktur air untuk lahan pertanian selama tiga tahun terakhir.
“Kita sudah berhasil memperbaiki jaringan irigasi tersier. Sedikitnya 3,1 juta hektare (ha) lahan dapat merasakan dampak dari program rehabilitasi jaringan irigasi itu,” tegasnya.
Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan semua pihak mewaspadai potensi kekeringan akibat musim kemarau. Berdasarkan pemantauan BMKG, sebanyak 35% wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau.
Wilayah yang telah memasuki musim kemarau meliputi pesisir utara dan timur Aceh, Sumatera Utara bagian utara, Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan bagian tenggara, pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir utara Sulawesi Utara, pesisir dalam perairan Sulawesi Tengah, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.
“Musim kemarau tidak berarti tidak ada hujan sama sekali. Beberapa daerah diprediksikan masih berpeluang mendapatkan curah hujan. Pada umumnya prospek akumulasi curah hujan 10 harian ke depan berada pada kategori Rendah (<50 mm dalam 10 hari),” tambahnya.
Meski demikian, beberapa daerah masih berpeluang mendapatkan curah hujan kategori menengah dan tinggi. Curah hujan kriteria Menengah (50-150 dalam 10 hari) diprakirakan dapat terjadi di pesisir Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan bagian barat, Jambi bagian barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah bagian utara, Sulawesi bagian tengah, Papua Barat bagian utara dan Papua bagian utara.
Curah hujan kriteria Tinggi (>150 dalam 10 hari) diprakirakan dapat terjadi di pesisir timur Sulawesi Tengah dan Papua bagian tengah.
Pantauan BMKG dan beberapa Lembaga Internasional terhadap kejadian anomali iklim global di Samudera Pasifik menunjukkan kondisi El Nino Lemah. Sedangkan Anomali SST di wilayah Samudera Hindia menunjukkan kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) positif. “Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga Oktober, November, Desember (OND) 2019,” ujarnya.
AUTP
Untuk meminimalisir kerugian petani yang lahannya terkena dampak kekeringan, Sarwo Edhy menyebutkan pihaknya memfasilitasi Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP).
Asuransi tersebut memungkinkan petani mendapatkan ganti rugi apabila terdampak musibah kekeringan maupun banjir. “Fasilitas ini supaya tidak mengganggu produksi pangan nasional nantinya,” ucap Sarwo.
Untuk mendapatkan AUTP, sebut Sarwo, petani cukup membayar premi Rp36.000/ha/musim. Tarif tersebut dinilainya dapat dijangkau oleh para petani. Dengan membayar premi Rp36.000/ha, petani bisa mendapatkan ganti hingga Rp6 juta/ha.
Kasubdit Iklim Konservasi Air dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian, Andi Halu menuturkan, jika dam parit merupakan upaya antisipasi perubahan iklim terutama kemarau.
“Karena memang manfaat infrastruktur air seperti embung, dam parit maupun long storage baru terasa ketika kemarau datang,” tuturnya.
Dia mencontohkan, di Desa Girimukti, Kabupaten Bandung Barat, keberadaan dam parit mampu meningkatkan indeks pertanaman menjadi 2,5 dengan luas sawah yang terlayani adalah 50 ha karena terhubung dengan jaringan irigasi tersier sepanjang 3 km.
Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Edy Purnawan mengatakan, pihaknya secara kontinyu mengedukasi petani untuk berbudidaya tanaman dengan baik, sesuai iklim dan kondisi setempat.
Dia juga menyebutkan, untuk daerah rawan kekeringan, Kementan telah menyiapkan benih yang berumur genjah dan toleran terhadap kekeringan, seperti Inpari 38, Situpatenggang, Limboto, Situbangendit, dan varietas lokal lainnya yang memiliki sifat toleran terhadap kekeringan.
“Kami juga menyebarkan informasi prakiraan iklim musim kemarau 2019. Informasi ini sebagai bahan pertimbangan petani untuk melaksanakan budidaya tanaman,” tegasnya.
Selain itu, lanjutnya, disediakan juga aplikasi KATAM atau Kalendar Tanam Terpadu yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam bercocok tanam. Aplikasi ini bisa diakses melalui website Balitbangtan.
Pada daerah yang memiliki sifat hujan di Bawah Normal (BN), terutama di Provinsi Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jatim, NTT, Kalteng, Sulut, Sulsel, Sultra, Malut dan Papua, perlu dilakukan upaya antisipasi terjadinya kerusakan tanaman akibat kekeringan dan serangan OPT.
“Untuk daerah yang memiliki sifat hujan di bawah normal, kami telah antisipasi dengan pembuatan sumur suntik, pembuatan penampungan untuk panen air dan pembuatan biopori,” tegasnya. PSP