Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Penulis Buku Seputar Kehutanan)
Belum habis keheranan kita tentang penghentian dua proyek karbon di Taman Nasional (TN) Sebangau, Kalimantan Tengah, dan Taman Nasional (TN) Batang Gadis, Sumatera Utara oleh KLHK (Forest Digest, 10 Juli 2021 dengan judul Pemerintah Hentikan Dua Proyek Karbon), saya dikejutkan lagi dengan adanya berita dari WhatsApp (WA) group angkatan alumni Fahutan IPB, 11 September 2021 yang menyatakan bahwa Pemerintah RI memutuskan untuk mengakhiri Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara Kerajaan Norwegia tentang Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+), terhitung mulai tanggal 10 September 2021.
Keputusan Pemerintah RI tersebut diambil melalui proses konsultasi intensif dan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran Result Based Payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017, yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional. Bilamana informasi ini, benar dan valid maka betapa sedihnya kita sebagai bangsa dipermalukan untuk kedua kalinya apapun alasannya.
Untuk kasus yang pertama, yakni proyek karbon di TN Sebangau dan TN Batang Gadis, kita dapat memaklumi karena dua proyek karbon tersebut adalah kemitraan pemerintah Indonesia dengan dua LSM internasional. Proyek karbon tersebut dituding oleh KLHK dilakukan secara ilegal. Namun untuk kasus kedua, tidak mungkin sama dengan kasus yang pertama karena kerjasama ini bersifat antar pemerintah (G to G).
Pertanyaan yang muncul sekarang ini adalah bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apakah pemerintah Indonesia dalam hal ini KLHK kurang hati-hati dan terlalu cepat percaya dengan hitung-hitungan dolar dalam perdagangan karbon ini, tanpa memverifikasi lebih dahulu integritas, kapasitas dan pengalaman negara yang diajak kerjasama dalam perdagangan karbon ini?
Kronologis Kerja sama
Tanggal 26 Mei 2010, pemerintah Indonesia dan pemerintah Kerajaan Norwegia menandatangani kerjasama Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) tentang Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+). Dengan berbagai persyaratan yang diminta oleh pemerintah Norwegia diantaranya adalah menghentikan sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium). Permintaan ini telah dipenuhi, bahkan kebijakan moratorium dapat diperpanjang dan kemudian dipermanenkan, walau dalam LoI moratorium hanya akan diberlakukan 2 tahun.
Meski sejumlah persyaratan lain diajukan, namun Indonesia masih bisa memenuhinya. Ini membuat pemerintah Norwegia akhirnya setuju untuk menyalurkan dana RBP tahap pertama dari total 1 miliar dolar AS (6 miliar kroner Norwegia/NOK) yang dijanjikan. Besarnya 56 juta dolar AS dihitung dari pengurangan emisi GRK Indonesia pada periode 2016-2017 yang sebesar 11,23 juta ton setara CO2 (CO2eq).
Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Vegard Kaale, di Jakarta tanggal 27 Mei 2020 silam menyatakan Norwegia akan segera menyalurkan dana kompensasi Result-based Payment (RBP) pegurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) kepada Indonesia dengan tambahan satu syarat lagi yang mesti dipenuhi Indonesia yakni Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai institusi pengelola dana RBP REDD+ benar-benar telah beroperasi. Persyaratan inipun, juga telah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia.
Komitmen Norwegia untuk menyalurkan dana tersebut bahkan sudah diumumkan pada situs resmi pemerintah Norwegia www.regjeringen.no, 3 Juli 2020. Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Sveinung Rotevatn menyatakan, angka pengurangan emisi GRK Indonesia, jika telah diverifikasi, akan menjadi dasar untuk penyaluran RBP Norwegia ke Indonesia.
Indonesia dijanjikan paling lambat akhir Desember 2020, dana RBP tahap pertama akan masuk ke rekening BPDLH. Dana kompenasi tersebut sangatlah bisa mendukung aksi-aksi Indonesia untuk mendorong rehabilitasi hutan dan penanggulangan degradasi dan deforestasi hutan di lapangan.
Tanggal 4 Maret 2021, Pemerintah Kerajaan Norwegia menyatakan pencairan dana result based payment (RBP) untuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari degradasi hutan dan deforestasi (REDD+) kepada Indonesia masih dalam proses diskusi diantara kedua Negara. Diskusi antara Pemerintah Norwegia dan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan proses pencairan sedang berlangsung, tulis Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta, kepada beberapa harian di Jakarta.
Tanggal 10 September 2021, pemerintah Indonesia mengakhiri kerja sama dengan pemerintah Kerajaan Norwegia tentang perdagangan karbon karena tidak ada kejelasan realisasi pembayaran tahap pertama yang dijanjikan.
Kontroversi Perdagangan Karbon
Selama ini kita dininabobokkan oleh perdagangan karbon yang memberikan harapan besar tentang manfaat ekonomi karena penyerapan emisinya bisa dijual kepada para produsen emisi, bisa lokal bisa internasional. Perdagangan karbon diartikan sebagai skema dimana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon alami, seperti negara-negara tropis yang mempunyai hutan alam tropika basah seperti Indonesia, Brasil dan seterusnya.
Negara-negara berkembang yang masih memiliki karbon kredit yang banyak dibandingkan dengan negara industri bisa menjual karbon kreditnya kepada negara yang memproduksi emisi. Jadi sebenarnya ini hanyalah jual beli di atas kertas belaka.
Ini adalah sistem pay of performance bukan sistem jual beli dimana ada komitmen uang langsung ada. Negara yang membeli karbon kredit dari Indonesia akan melihat apakah dalam beberapa tahun yang dikomitmenkan benar-benar dapat menurunkan emisi karbon.
Indonesia sendiri sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antar negara. Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon ini yang nilainya berkisar antara 82 miliar sampai 100 miliar dollar AS. Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Pengalaman menarik diperoleh dari masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo. Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare. TUI Airways hanya membeli 6.000 ton. TUI Airways, perusahaan penerbangan di Eropa. Perusahaan ini membayar 36.000 dolar AS (sekitar Rp 400 juta) untuk 6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) dari kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba).
Perdagangan karbon mempunyai indikasi bermotif bisnis dan yang menikmati bukan alam dan mereka yang hidup di sekitar alam. Disamping itu, berpotensi memberikan celah bagi perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif untuk tidak benar-benar secara serius menurunkan emisi gas buang. Padahal, mereka seharusnya dapat mentransformasi bisnisnya dari energi tak ramah lingkungan ke energi baru terbarukan (EBT). Namun dengan adanya karbon kredit, sektor industri dapat leluasa mengompensasi, membayar sejumlah uang tanpa harus repot-repot menjaga emisi gas buang yang dikeluarkan. Perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif akan terus melanjutkan aktivitasnya, terus menghasilkan emisi dengan membeli karbon di tempat lain.
Pengalaman kerja sama perdagangan karbon dengan pemerintah Kerajaan Norwegia merupakan pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), agar kelak dikemudian hari tidak terjadi lagi kerjasama yang model seperti ini. Sebaiknya pemerintah harus lebih hati-hati lagi dalam melegalkan aturan perdagangan karbon ini, kalau tujuannya hanya demi mencari keuntungan semata. Semoga.***