Tanpa melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Perdagangan mengubah ketentuan pemanfaatan dokumen Deklarasi Ekspor (DE) bagi industri kecil dan menengah (IKM) produk mebel dan kerajinan. Langkah tersebut dinilai bertolak belakang dengan komitmen perbaikan tatakelola kayu dan produk kayu yang dibangun lewat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Reaksi keras dari aktivis lingkungan pun bermunculan.
Ketentuan terbaru tentang DE diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.66/M-DAG/PER/8/2015 yang merevisi Permendag No.97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Berdasarkan ketentuan tersebut, ekspor untuk produk mebel dan kerajinan yang termasuk 15 HS Code tak wajib menggunakan dokumen sertifikat legalitas kayu (S-LK), tapi cukup DE.
Selain itu, tak ada tenggat atau batas akhir penggunaan dokumen DE. Padahal, dalam ketentuan lama, penggunaan DE dibatasi hanya sampai 31 Desember 2015, yang berarti mulai 1 Januari 2016 SVLK akan diimplementasikan secara penuh dan seluruh ekspor produk kayu harus menggunakan S-LK.
Belakangan, Kemendag malah sudah memberi sinyal bakal ada revisi susulan yang membebaskan produk yang termasuk dalam 15 HS Code tersebut. Nantinya tak perlu lagi menggunakan DE, sehingga industri mebel dan kerajinan IKM benar-benar terlepas dari SVLK.
Kementerian LHK setuju?
Langkah Kemendag sepertinya bakal mulus. Apalagi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengisyaratkan persetujuannya. “Karena kita sedang kejar investasinya,” kata dia di Jakarta Selasa (29/9/2015).
Menteri Siti mengatakan, tenggat waktu implementasi penuh SVLK per 1 Januari 2016 sepertinya belum bisa dipenuhi. Masih ada pelaku usaha mebel dan kerajinan yang kesulitan memenuhi persyaratan yang ditentukan SVLK. “Kelihatannya memang tidak bisa (diterapkan SVLK penuh 1 Januari 2016),” katanya.
Meski demikian, Siti secara diplomatis menyatakan bahwa sampai saat ini dia tetap optimis dan secara paralel akan terus mendorong pemenuhan SVLK. Sosialisasi dengan melibatkan multipihak akan dilakukan sehingga seluruh pelaku usaha kehutanan siap dengan implementasi SVLK.
Jika pengendoran tenggat waktu implementasi SVLK tersebut bisa berjalan mulus, berarti ini adalah yang kesekian kalinya. Sekadar mengingatkan, sebelumnya tenggat waktu yang ditetapkan adalah 31 Desember 2014. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak. Sementara dalam proses ekspor, ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.81 tahun 2013.
Termasuk yang wajib memiliki sertifikat SVLK adalah pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK), Izin Usaha Industri (IUI) dan IUI lanjutan, seperti furnitur, dan Tanda Daftar Industri (TDI).
Namun, lewat kompromi tiga menteri, yaitu Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri LHK, tenggat waktu implementasi penuh SVLK — khususnya untuk industri furnitur IKM — kembali diundur. Dari sini terbitlah Peraturan Menteri LHK No.P.95/Menhut-II/2014. Untuk proses ekspor, terbit Permendag No.97 tahun 2014.
Jangan diam
Ketua Majelis Perwalian Anggota Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Diah Y. Suradiredja berharap Menteri Siti Nurbaya terus berjuang agar kewajiban SVLK tak lagi diundur, apalagi sampai kemudian benar-benar dihilangkan. “Ibu Menteri LHK jangan tinggal diam dengan rencana dilonggarkannya SVLK,” katanya.
Diah menjelaskan, implementasi SVLK sesungguhnya adalah peluang untuk meningkatkan performa Kementerian LHK di tengah meredupnya sektor kehutanan dalam peta perekonomian nasional. SVLK, katanya, bisa mendongkrak ekspor produk-produk kehutanan karena mendapat pengakuan global.
Implementasi SVLK juga dinilai sebagai bagian dari deregulasi yang sebenarnya. Pasalnya, dengan SVLK ada tranparansi dan akuntanbel. Diah menuding, selama ini terjadi bisnis perizinan sebagai buah kongkalingkong antara oknum pemerintahan dan pelaku usaha. Implementasi SVLK yang prosesnya dilakukan secara online (daring) dan bisa dipantau secara transparan menghilangkan peluas bisnis haram itu. “Ditahannya salah satu pejabat di Kementerian Perdagangan oleh Kepolisian adalah bukti adanya mafia perizinan. Nah, implementasi SVLK bisa menghilangkan itu, makanya ada yang terganggu,” katanya.
Seharusnya memang tak perlu ada keraguan untuk implementasi penuh SVLK. Apalagi, faktanya pengguna DE saat ini tinggal sedikit. Mereka pun terus difasilitasi dan dibiayai oleh Kementerian LHK agar bisa mendapat S-LK sebelum 31 Desember 2015.
Berdasarkan data di Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian LHK, awalnya terdaftar 1.688 IKM yang potensial melakukan ekspor. Namun, yang mendapat persetujuan Kemendag untuk melaksanakan ekspor dengan DE sampai 27 September 205 adalah sebanyak 956 unit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 251 unit sudah melakukan sertifikasi secara mandiri.
Artinya, tersisa sebanyak 705 unit, di mana hanya 499 unit yang mendaftar dan memiliki hak akses ke SILK — yang merupakan sistem untuk memastikan legalitas kayu dan terhubung dengan sistem informasi kepabeanan. Pun demikian, dari 499 unit tadi, hanya 393 IKM yang aktif melakukan ekspor.
Kementerian LHK yang didukung Multistakeholder Forestry Programme III juga sudah memfasilitasi 499 unit pemilik hak akses tadi, dan sudah 294 unit yang berhasil memperoleh sertifikat SVLK. Jadi, dari ribuan IKM yang awalnya diidentifikasi, kini tersisa 205 unit saja yang belum memiliki sertifikat. Itupun tak semuanya melakukan ekspor.
Sementara itu, Forest Commodities Market Transformation Leader WWF Indonesia. Aditya Bayunanda menyatakan, dilanjutkannya penggunaan DE, apalagi sampai kemudian dihapuskan dari kewajiban SVLK bagi IKM mebel, berisiko menurunkan citra Indonesia di dunia internasional. “Indonesia juga akan kehilangan kesempatan untuk menguasai pasar global,” kata Dito, panggilan akrabnya.
Salah satu pengakuan SVLK datang dari UE melalui Lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Pengakuan itu datang melalui perjanjian kemitraan sukarela (VPA) yang telah dinegosiasikan bertahun-tahun.
Dito menegaskan, memperpanjang penggunaan DE, bahkan jika sampai menghilangkan kewajiban SVLK, mungkin menjanjikan bagi sebagian eksportir produk kayu. Tapi pada saat yang sama, hal itu juga mengancam kesempatan Indonesia sebagai negara pertama yang menyediakan produk kayu berlisensi FLEGT di pasar Eropa. “DE merupakan celah yang menyebabkan UE mengisyaratkan mundur untuk memberi pengakuan terhadap sistem legalitas kayu Indonesia,” katanya.
Dito mengingatkan, penggunaan DE bisa menjadi celah yang memungkinkan diekspornya produk kayu yang belum terverifikasi legalitasnya. Terlepas dari semangat pemberlakuan DE untuk mendukung industri kecil, tapi tidak seharusnya mengorbankan SVLK. “SVLK saat ini merupakan alat paling inovatif yang telah dikembangkan di Indonesia untuk memerangi penebangan liar,” katanya.
Dito sendiri menilai masih bisa dicari solusi untuk tetap menyertakan eksportir skala kecil ke dalam sistem SVLK, sehingga manfaat lisensi FLEGT juga bisa dirasakan oleh mereka.
Dia mengingatkan, penggunaan SVLK dari tahun ke tahun menunjukkan tren peningkatan. Jika pada tahun 2013 nilai baru sekitar sebesar 6 miliar dolar AS, untuk tahun 2015 hingga bulan Agustus saja telah mencapai nilai 7,1 miliar dolar AS. “Bila dibandingkan dengan nilai ekspor yang hanya menggunakan DE sebesar 140 juta dolar AS, maka tidak masuk akal apabila DE dipertahankan dan mengakibatkan kegagalan Indonesia diakui dalam lisensi FLEGT,” kata Dito. Sugiharto