SVLK Bukan Dokumen Kepabeanan

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Paket deregulasi jilid I yang dikeluarkan pemerintah pada September lalu telah dijadikan momen yang tepat bagi Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) untuk mendorong pemerintah menghapus regulasi yang menghambat kegiatan usaha.

Sesuai dengan fokus deregulasi jilid I yang bertujuan memangkas perizinan yang dinilai menghambat, AMKRI telah mengajukan permintaan kepada pemerintah agar industri kecil dan menengah (IKM) sektor furnitur tidak lagi dikenakan persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dalam kegiatan ekspornya.

“Kami telah mengajukan permintaan agar 14 nomor HS, yang mayoritas adalah sektor industri perkayuan, agar tidak dikenakan persyaratan SVLK,” ujar Sekjen AMKRI, Abdul Sobur kepada Agro Indonesia, pekan lalu.

Menurutnya, dalam kondisi perekonomian global yang sedang lesu dan berdampak pula pada perekonomian Indonesia, pemerintah harus mendorong industri di dalam negeri untuk bisa meningkatkan ekspor. Salah satunya adalah dengan memberikan kemudahan kepada pelaku industri dalam menjalankan kegiatan produksi dan pemasarannya, baik di dalam negeri maupun ekspor.

Sobur menilai, penerapan SVLK terhadap produk hilir di industri furnitur, khususnya yang dilakoni oleh industri kecil dan menengah (IKM), menjadi regulasi yang menghambat kegiatan IKM untuk mengekspor produknya.

“SVLK kan sudah diberlakukan di industri hulu, tak perlu lagi diterapkan di industri hilirnya yang dikerjakan oleh IKM,” ucapnya.

Selain itu, SVLK juga belum menjadi persyaratan dalam dokumen kepabeanan (Custom Document) yang diterapkan oleh negara-negara di kawasan Uni Eropa. “SVLK baru sebatas pengakuan mengenai asal-usul kayu, belum menjadi dokumen kepabeanan di negara importir,” ucapnya.

Karena alasan inilah, maka produk furnitur asal Malaysia, Vietnam, Tiongkok bahkan Kamboja, bisa melenggang dengan mulus memasuki pasar Uni Eropa tanpa harus menyertai persyaratan, seperti SVLK yang diterapkan negaranya.

“Hanya pemerintah kita saja yang menerapkan aturan SVLK untuk kegiatan ekspornya. Karena itu, kami minta agar persyaratan tersebut dihapuskan untuk IKM furnitur,” katanya.

Tidak antipati

Sobur sendiri menjelaskan, pihaknya tidak antipati terhadap penerapan SVLK yang dilakukan pemerintah. Hanya saja, dia minta penerapannya tidak diwajibkan kepada seluruh produsen di sektor hilir yang ingin mengekspor.

“Kalau bagi perusahaan yang ingin mengurus SVLK, silakan saja. Atau ada perusahaan yang tetap mengggunakan SVLK dalam kegiatan ekspornya, kami juga tidak permasalahkan. Kami hanya ingin persyaratan SVLK itu tidak diwajibkan kepada industri furnitur IKM, yang notabene adalah industri hilir,” tegasnya.

Pemerintah Indonesia sendiri saat ini tengah mendorong Uni Eropa untuk menerapkan aturan SVLK terhadap produk-produk berbasis hasil kehutanan yang masuk ke kawasan itu.

Terkait hal ini, Sobur mengingatkan kalau hal tersebut tidaklah mudah karena setiap aturan yang diterapkan Uni Eropa terlebih dulu harus mendapatkan ratifikasi dari parlemen dan disetujui oleh kepala pemerintah masing-masing negara anggota Uni Eropa.

Jika kebijakan tersebut diterapkan juga terhadap semua produk hasil kehutanan yang masuk ke wilayahnya, Uni Eropa akan berhadapan dengan negara-negara pengekspor seperti Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Malaysia dan bahkan terhadap Jerman — yang notabene adalah anggota Uni Eropa.

Karena itulah, dia meminta pemerintah tidak perlu melakukan persyaratan wajib SVLK terhadap industri hilir furnitur selama Uni Eropa belum meratifikasi SVLK sebagai persyaratan bagi semua produk yang masuk ke kawasan itu.

Sobur juga menjelaskan, industri furnitur di dalam negeri saat ini menghadapi banyak tantangan. Selain masih adanya regulasi yang menghambat kegiatan ekspor, industri furnitur di dalam negeri juga diterpa oleh daya beli di dalam negeri yang melemah serta kenaikan biaya produksi yang terutama dipicu oleh kenaikan upah tenaga kerja.

“Saat ini saja sudah ada industri yang terpaksa mem-PHK-kan karyawannya dan investor asing sudah menutup pabriknya dan pindah ke Vietnam yang dinilai lebih menjanjikan,” paparnya.

AMKRI sendiri saat ini menaungi sekitar 2.000 industri furnitur, dari 5.040 industri furnitur di dalam negeri. Dari jumlah itu, sekitar 5% adalah industri furnitur milik asing. B Wibowo

Angin Segar dari Kemendag

Keinginan AMKRI menghapus kewajiban SVLK terhadap IKM Furnitur mendapat angin segar dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag, Nus Nuzulia Ishak menyatakan, saat ini Kemendag tengah merevisi Permendag soal penerapan SVLK terhadap IKM furnitur.

“Kita tunggu saja dalam beberapa hari nanti revisi dari Permendag tersebut,” ujar Nus di saat peluncuran Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2016 di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (29/9/2015) pekan lalu.

Dia memang belum mau memberikan bocoran mengenai hal apa saja yang akan direvisi dalam Permendag itu. Namun, Nus mengisyaratkan adanya angin segar dari Permendag itu bagi kemudahan kegiatan ekspor IKM furnitur. “Ya, mungkin saja nantinya SVLK hanya diterapkan di hulu saja,” ujarnya.

Dari 32 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), yang terdiri dari 24 Peraturan yang didebirokratisasi dan 8 Peraturan yang dideregulasi, pekan lalu Kemendag baru mengumumkan 9 Permendag baru yang diterbitkan setelah ditandatangani oleh Mendag. Permendag baru lainnya akan diumumkan setiap pekannya.

Selain perbaikan regulasi, untuk mendorong kegiatan ekspor, Nus juga meminta pelaku usaha di sektor furnitur untuk terus meningkatkan inovasi dan kreativitas dalam pembuatan produknya.

“Inovasi dan kreativitas dapat mendorong terciptanya produk-produk unggulan yang memiliki nilai tambah optimal dan dapat menjadi market leader di pasar global. Kita harus membangun citra positif di tingkat internasional bahwa Indonesia adalah salah satu negara penghasil produk mebel dan kerajinan terbaik di dunia,” jelas Nus.

Inovasi tiada henti, lanjut Nus, merupakan keharusan bagi industri furnitur agar maju dan berkembang sehingga mampu bersaing dengan produk serupa dari negara lain.

Data Kemendag menyebutkan, permintaan dunia atas produk furnitur sangat tinggi dengan nilai 163,2 miliar dolar AS. Tren pertumbuhannya sangat positif, yaitu sebesar 7,76% dalam lima tahun terakhir.

Dari total ekspor furnitur dunia ini, Indonesia baru mampu memasok 1,09% (2014) sehingga menempatkan Indonesia di posisi ke-19 dunia. Sementara Vietnam sudah menyuplai 3,68%, dan Malaysia 1,50%.

Sementara untuk periode Januari-Juli 2015 nilai ekspor produk furnitur mencapai 1,01 miliar dolar AS, mengalami penurunan 4,38% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

“Ini tantangan industri furnitur kita. Tidak ada cara lain kita harus meningkatkan daya saing produk dengan memanfaatkan era keterbukaan dan kebutuhan dunia atas produk berkelanjutan,” lanjut Nus.

Bantalan Ekonomi Nasional

Nus juga menegaskan bahwa industri mebel dan kerajinan nasional merupakan bantalan ekonomi yang kuat saat krisis ekonomi seperti saat ini. “Industri ini telah menjadi jalan keluar dalam penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.

Industri ini tetap eksis dan menghasilkan devisa di saat industri lain terkena imbas krisis karena didukung local content yang cukup besar. Ditambah semakin kondusifnya iklim investasi, diharapkan pertumbuhan ekspor produk mebel dan kerajinan nasional dapat terus meningkat dalam lima tahun ke depan.

“Ketersediaan bahan baku hasil hutan yang melimpah, sumber daya manusia yang terampil dalam jumlah besar, dan revitalisasi teknologi dalam industri furnitur dan komponen furnitur di Indonesia harus mampu meningkatkan kinerja sektor mebel dan kerajinan,” kata Nus optimistis. B Wibowo