Kenaikan HPP Beras Hanya Impas

Keputusan pemerintah menaikkan 13%-14% harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah atau beras dinilai tepat di saat memasuki panen raya April ini. Namun, kenaikan itu hampir setara dengan fleksibilitas Bulog untuk menyerap beras/gabah petani selama ini, sehingga Perum Bulog tetap akan kesulitan menyerap di lapangan.

Setelah lima tahun tak ada perubahan, pemerintah akhirnya mengubah HPP untuk gabah dan beras petani yang akan ditebus Perum Bulog untuk dijadikan cadangan pangan pemerintah. Namun, berbeda dengan aturan sebelumnya, kini perubahan HPP beras/gabah diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah atau Beras, yang diteken Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada 16 Maret 2020. Selama ini, aturan HPP selalu menggunakan instruksi presiden (Inpres), di mana aturan perberasan terakhir adalah Inpres No. 5 Tahun 2015.

Terbitnya Permendag sendiri ternyata mengacu Peraturan Presiden No. 48/2016 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Dalam Pasal 4 ayat (2) memang disebutkan, dalam rangka pengelolaan cadangan pangan pemerintah (yang akan dikelola Bulog), Menteri (Perdagangan) menetapkan HPP.

“Kebijakan HPP untuk gabah dan beras ini diterbitkan bertepatan dengan momentum jelang panen raya yang mundur ke April 2020 dan telah menyesuaikan kondisi harga saat ini. Melalui kebijakan HPP ini, diharapkan Perum Bulog akan lebih optimal dalam menyerap gabah atau beras dari petani untuk memperkuat stok Pemerintah dan dapat menjamin ketahanan pangan,” ujar Mendag Agus Suparmanto.

Hanya saja, kenaikan itu dinilai Dede Samsudin, Ketua Gabungan Kelompok Tani Sri Asih, Desa Ciptamarga, Kecamatan Jayakerta, Kabupaten Karawang, Jabar masih akan menyulitkan Bulog menyerap beras petani karena harga sudah lebih tinggi dari HPP terbaru sekalipun. Apalagi, kenaikan itu tak jauh dari angka fleksibilitas Bulog selama ini dalam menyerap beras petani, yakni 10% di atas HPP 2015. “Bagaimana Bulog bisa mendapatkan gabah kalau harga gabah di tingkat petani sudah lebih tinggi,” katanya, Sabtu (4/4/2020).

Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir juga sependapat. Meski kenaikan itu sinyal positif untuk perdagangan gabah ke depan, tapi dia menilai kenaikan itu hanya menyesuaikan dengan tingkat inflasi. “Harga itu sebetulnya tidak naik. Ya, sudah pas dengan harga break event point (titik impas), meski relatif jauh lebih bagus,” katanya. Itu sebabnya, agar Bulog optimal menyerap gabah petani, KTNA mengusulkan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) bisa ditangani langsung oleh Bulog selaku pemasok komoditas beras. Tanpa perubahan itu, Bulog akan kesulitan memasarkan berasnya, yang berimbas pada kemampuan Bulog menyerap gabah petani. AI

Laporan selengkapnya baca: Tabloid AgroIndonesia, Edisi No. 761 (7-13 April 2020)