IPOP membuat para raksasa industri sawit terpadu seolah berada di garda depan dalam menjaga hutan dari deforestasi. Namun, fakta malah bicara beda.
Setidaknya, itulah temuan dari koalisi organisasi sipil yang tergabung dalam Eyes on The Forest (EoF). EoF menunjukan bagaimana minyak sawit mentah (CPO) — yang dihasilkan dari tanaman yang ditanam secara ilegal di kawasan hutan lindung — telah memasuki rantai pasokan sejumlah pemasok sawit terkenal dunia: Wilmar, Golden-Agri Resources (GAR), Royal Golden Eagle (RGE) dan Musim Mas. Perusahaan-perusahan ini merupakan anggota IPOP.
“Kami kecewa. Terlepas dari komitmen grup-grup perusahaan untuk menghentikan deforestasi, nyatanya tak satupun mampu melarang minyak sawit yang diragukan legalitasnya dari rantai pasokan mereka,” ujar Nursamsu dari divisi pemantauan deforestasi WWF-Indonesia.
Dia menegaskan, dalam satu lingkungan di mana sawit dihasilkan dari penanaman ilegal yang terus meningkat, bertambahnya jumlah pemasok dan pabrik sawit tanpa perkebunan sendiri, maka para pembeli perlu fokus melacak semua sawit yang dipasok secara menyeluruh hingga ke perkebunan.
Temuan tersebut dipublikasikan dalam laporan bertajuk “Tak Ada yang Aman”, yang dirilis 6 April 2016. EoF menemukan bahwa truk pengangkut tandan buah segar (TBS) ilegal menempuh jarak hingga 128 km dan menghabiskan 5 hari di perjalanan, cukup jauh untuk mencapai puluhan pabrik CPO.
Hasil analisa teridentifikasi, hampir seluruh pabrik CPO di Sumatera berisiko membeli buah sawit secara ilegal atau tercemar karena ditanam di area deforestasi. Lokasi dan jarak pabrik dari hutan alam dari pabrik sawit bukanlah indikator bagus akan adanya risiko membeli produk ilegal.
“Kami sepenuhnya setuju pada persoalan kompleks jika menelusuri TBS hingga ke sumbernya. Namun, kami peringatkan, hal ini bisa menjadi celah yang membiarkan pasokan tandan buah segar berasal dari perkebunan yang sangat merusak sumber daya alam negara ini,” tambah Nursamsu.
Dia menyatakan, pabrikan CPO seharusnya mempertimbangkan pendekatan kewaspadaan terhadap pemasok yang tak dapat membuktikan lokasi, legalitas serta keberlanjutan semua sumber TBS mereka.
Pada praktiknya, pemasok ditemukan menggabungkan TBS dari ‘perkebunan pihak ketiga’ yang berpotensi ditanam dari perkebunan sawit ilegal atau merusak lingkungan. Sementara sebaliknya para pembeli seharusnya hanya berurusan dengan pabrik yang mampu membuktikan mereka memiliki sistem kerja untuk melacak TBS yang mereka terima.
Segelintir elite
Sementara itu Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan menyatakan, beberapa perusahaan mencoba untuk bersembunyi di balik petani kecil dan mata pencahariannya sehingga ada alasan pembenaran agar sumber TBS mereka tak dipertanyakan. Namun, hasil dari investigasi ditemukan, banyak pengembang perkebunan ilegal malah dibiayai oleh segelintir elite dan perusahaan yang banyak meraup untung.
“Jika perusahaan benar-benar peduli terhadap petani kecil, mereka harus bekerja secara langsung dengan petani kecil di daerah sebagai gantinya.”
Kelompok-kelompok yang disebutkan dalam laporan ini merupakan kelompok industri yang banyak menerima keuntungan dari deforestasi di Sumatera selama bertahun-tahun. Asal tahu saja, tutupan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau hanya tersisa 18%, sisanya adalah sawit. TBS tersebut diproses dan diolah di pabrik.
EoF menghimbau agar perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pengrusakan habitat unik ini untuk mengatasi warisan perusakan hutan mereka dengan segera berkontribusi untuk konservasi dan restorasi ekosistem negeri ini yang telah jadi korban dari perluasan ilegal kebun sawit.
“Ini adalah waktu yang tepat bagi semua pemangku kepentingan bersama-sama mengatasi ilegalitas sistemik dan tidak berkelanjutan di sektor kelapa sawit Indonesia. Serta memastikan bahwa industri benar-benar mengubah jalannya menjadi ekonomi hijau dan berkelanjutan,” tambah Riko.
Pengakuan
Raksasa sawit yang disebut ternyata memberi tanggapan dalam laporan EoF. Wilmar, misalnya. Perusahaan ini mengakui belum sepenuhnya menelusuri TBS pihak ketiga hingga ke sumbernya di Indonesia. Ini membuat EoF menyimpulkan pasokan global Wilmar — termasuk ekspor biofuel — terus terkontaminasi oleh TBS yang ditanam secara ilegal.
Sementara GAR menyatakan, hingga Desember 2015 semua CPO menuju penyulingan dan semua TBS menuju pabrik CPO ditelusuri. GAR juga akan akan mempublikasikan satu rencana aksi untuk ketelusuran TBS penuh di akhir kuartal pertama 2016. Terhadap isu yang dilaporkan EoF, GAR akan melakukan lacak cepat penelusurana TBS di pabrik dan mencatat perusahaan yang disebutkan dalam laporan ini ke dalam prosedur keluhannya.
Sedangkan RGE dengan dua grupnya, yaitu Asian Agri dan Apical, sudah berjanji untuk menyelidiki pasokan ilegal terindikasi dan mengambil tindakan. Mereka menyatakan telah menginformasikan semua pemasok bahwa pabrik-pabriknya hanya akan menerima pasokan legal.
Hasil penyelidikan yang dirilis, Kamis (14/4/2016), Head of Corporate Communications Royal Golden Eagle Indonesia, Ignatius Purnomo mengungkapkan, kejadian yang terdapat dalam laporan EoF terjadi lebih dari setahun yang lalu, antara Januari dan April 2015. “Menyangkut pelanggaran itu dan berdasarkan investigasi yang kami lakukan, kami segera menghentikan kontrak dengan pemasok yang melanggar ketentuan pada Juni 2015,” ujar dia.
Musim Mas juga merespons laporan tersebut. Musim Mas menyatakan telah mengidentifikasi semua pemasok CPO untuk penyulingan di Indonesia dan menginformasikan pemasok CPO pihak ketiganya soal kebijakannya. Musim Mas juga sudah membagikan kuesioner untuk mengindikasikan sumber TBS mereka. Sugiharto
IPOP Malah Ingin Bantu Pemerintah
Terus ditekan pemerintah untuk membubarkan diri, Manajemen IPOP menyatakan justru membantu pemerintah untuk meningkatkan permintaan global terhadap produk sawit Indonesia.
“Komitmen IPOP sangat jelas, yakni membantu Pemerintah Indonesia. Bagaimana caranya, yaitu dengan menghasilkan sawit lestari yang ramah lingkungan, sesuai dengan standar yang diakui konsumen global,” jelas Direktur Eksekutif IPOP, Nurdiana Darus di Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Dia menjelaskan, IPOP berkomitmen untuk terus mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam menghasilkan sawit lestari dan ramah lingkungan sebagai kompetensi yang sangat diakui oleh konsumen global. Hal ini penting untuk terus didorong agar komoditas ini tetap terjaga sebagai kontributor perekenomian bangsa yang signifikan.
Salah satu komitmen IPOP adalah membantu meningkatkan kapabilitas dan produktivitas para petani sawit melalui program-program pemberdayaan. Misalnya, seperti integrasi kelapa sawit dan sapi yang berhasil dilakukan di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di mana pelepah sawit diolah sebagai bahan pakan sapi dan kotoran sapi dipakai untuk pupuk pohon sawit.
IPOP bersama sejumlah mitra juga memberikan program pendampingan dan pelatihan kepada smallholders tentang cara-cara bertanam sawit yang benar dengan tidak melakukan pembakaran lahan, tidak menanam di lahan gambut, melakukan pendataan untuk petani kelapa sawit, dan menyelesaikan persoalan teknis yang terjadi di lapangan. Ini menjadikan produk sawit yang dihasilkan sesuai dengan standar nasional dan global. Selain itu, IPOP juga dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap ISPO yang dicanangkan pemerintah selama ini.
Komitmen enam anggota IPOP, yakni Cargill, Wilmar, Asian Agri, Golden Agri Resources, Musim Mas, dan Astra Agro Lestari, merupakan komitmen bersama yang dinyatakan secara sukarela untuk secara bersama-sama menghasilkan sawit ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan cara melindungi hutan dengan nilai konservasi tinggi dan mengandung karbon yang tinggi, keanekaragaman hayati, saling menghargai hak-hak antar-manusia dan komunitas, serta memberikan manfaat untuk seluruh pemangku kepentingan terkait.
“Itu yang sebenarnya menjadi komitmen kami dan komitmen tersebut sudah menjadi kebijakan di setiap anggota IPOP. Dan apa yang sudah kami tandatangani bersama itu adalah untuk mencari solusi terbaik dalam menghasilkan sawit lestari. Tentunya upaya-upaya tersebut harus dilakukan bersama dengan para stakeholders, termasuk pemerintah,” lanjut Nurdiana.
Tidak melanggar
Sementara itu, terkait penyelidikan kartel yang dilakukan IPOP, Ibrahim Senen selaku tim legal IPOP mengatakan bahwa IPOP tidak melanggar ketentuan KPPU karena IPOP bukan market leader yang mengontrol pasar. IPOP juga bukan penentu harga, tidak memonopoli pemasaran barang, dan tidak dalam posisi dominan menciptakan barrier perdagangan sawit.
“Anggota IPOP dan sekretariat IPOP menghargai surat dari KPPU yang merekomendasikan langkah-langkah selanjutnya untuk mencegah IPOP menjadi kartel. Tidak ada yang dilanggar di sini (dalam peraturan KPPU). IPOP selalu berupaya patuh dengan peraturan yang ada. Justru karena itulah IPOP memiliki inisiatif untuk berkonsultasi dengan KPPU sejak awal kesepakatan ini dibuat. Kami harap semua pihak dapat melihat ini dengan perspektif yang benar, karena hal ini akan berdampak pada jalannya implementasi program IPOP yang akan menitikberatkan pada pemberdayaan petani kecil sawit,” jelas Ibrahim.
Anggota IPOP sejauh ini telah mengambil langkah-langkah proaktif untuk berkonsultasi dengan KPPU terkait komitmen tersebut dan implementasinya sejak Juni 2015. Pada periode antara Juli dan Oktober 2015, KPPU melakukan assessment formal atas komitmen bersama tersebut. IPOP dan anggotanya sangat menghormati rekomendasi-rekomendasi KPPU dan siap bekerjasama dengan pemerintah.
Ibrahim juga menyebutkan, anggapan anggota IPOP menguasai 70% produksi CPO di dalam negeri sesungguhnya kurang tepat. Menurutnya, data Kementerian Pertanian tahun 2013 menyebutkan, total produksi CPO yang dihasilkan swasta hanya sebesar 54%.
“Data menunjukkan, petani kecil yang memiliki luas lahan dua hektare, menguasai produksi CPO sebesar 35%. Sisanya 65% dikuasai oleh BUMN dan swasta. Dari 65% tersebut, swasta menguasai 54% dan sisanya sebanyak 11% dikuasai BUMN. Jadi, tidak benar kalau anggota IPOP menguasi 70% produksi CPO nasional,” tegasnya. Sugiharto/B Wibowo