Alih-alih mendapatkan citra bersih dari deforestasi, raksasa-raksasa sawit yang tergabung dalam IPOP (Indonesia Palm Oil Pledge) malah dituding menciptakan praktik kartel yang terlarang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemerintah pun makin semangat untuk membubarkan perjanjian yang disuarakan di New York, Amerika Serikat dengan mengambil momentum Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk perubahan iklim, September 2014.
IPOP diteken raksasa-raksasa sawit nasional, seperti Golden Agri Resources, Cargill Indonesia, Wilmar, Asian Agri, dan Kadin. Belakangan raksasa sawit lainnya Musim Mas dan Astra Agro Lestari ikut meneken perjanjian tersebut. Mereka menyatakan akan membebaskan pasokannya dari deforestasi. Ini mencakup seluruh operasionalisasi perusahaan dan anak usaha di seluruh dunia, mencakup minyak sawit dan produk turunannya yang diperdagangkan, dan semua pemasok pihak ketiga. Metode High Carbon Stock (HCS) dijadikan indikator bebas deforestasi.
Namun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) punya pandangan lain. IPO justru berpotensi sebagai praktik kartel yang berarti melanggar UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bahkan saat ini KPPU sedang menyelidiki dugaan tersebut. “IPOP sebagai kesepakatan pelaku usaha telah berlaku efektif dan berdampak negatif terhadap persaingan usaha sehingga diduga melanggar UU No 5 Tahun 1999, maka KPPU akan melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran tersebut,” kata Kepala Bagian Humas KPPU, Dendy R Sutrisno di Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Penyelidikan dugaan kartel adalah langkah lanjutan KPPU setelah hasil kajian komisi itu tak digubris oleh perusahaan-perusahaan yang menandatangani perjanjian IPOP. Sebelumnya, KPPU memang pernah melakukan kajian dan analisa terhadap IPOP. Menariknya, kajian KPPU dilakukan justru atas permintaan Kadin dan juga manajemen IPOP.
Menurut KPPU, IPOP berpotensi mendistorsi pasar dengan menyepakati ketentuan yang membatasi pelaku usaha lain dalam industri sawit yang telah memenuhi ketentuan sesuai regulasi. “Oleh karena itu, maka kesepakatan IPOP sebaiknya tidak diimplementasikan,” tulis Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf, dalam surat Tanggapan KPPU terhadap IPOP yang dikirim kepada konsultan hukum Kadin, Ibrahim Senen, 22 Oktober 2015. Ibrahim juga merupakan tim legal IPOP.
Berdasarkan analisa KPPU, IPOP memang kesepakatan antarpelaku usaha yang mengikat. Implementasinya akan membawa dampak bagi pelaku usaha lain, seperti pemasok tandan buah segar (TBS), termasuk di luar pelaku usaha yang bersepakat.
KPPU juga menilai IPOP tidak sejalan dengan ISPO, regulasi resmi untuk pengelolaan lingkungan perkebunan sawit. Ada perbedaan signifikan di antara keduanya. ISPO menggunakan kriteria High Conservation Value Forest (HCVF) untuk memastikan kebun sawit dibangun dengan tidak membuka hutan. Sementara IPOP menambahkan metode HCS.
Berkaitan hal itu, menurut analisa KPPU, akan ada kondisi di mana seluruh aktivitas perusahan yang telah sesuai regulasi pemerintah, namun bertentangan dengan IPOP. Ini berdampak pada persaingan, karena pelaku usaha yang memenuhi regulasi pemerintah akan dianggap melanggar IPOP, sehingga tidak bisa menjalin kerjasama dengan perusahaan yang tergabung dalam IPOP.
Berdasarkan analisa KPPU, pelaku usaha yang tergabung dalam IPOP menguasai pangsa pasar CPO yang cukup besar, sehingga anggota IPOP memiliki kekuatan pasar yang cukup besar.
KPPU pun menyarankan, jika anggota IPOP menginginkan agar nilai-nilai IPOP diimplementasikan dalam hukum Indonesia tanpa melanggar UU No. 5 tahun 1999, maka sebaiknya pelaku usaha mendorong pemerintah untuk mengadopsi nilai-nilai itu dalam regulasi resmi pemerintah sebagaimana diatur dalam ISPO.
Pasti dibubarkan
Gerak maju KPPU makin membakar semangat pemerintah untuk membubarkan IPOP. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menegaskan, Indonesia tidak memerlukan standar selain ISPO untuk perkebunan sawit berkelanjutan. “Kita sudah punya ISPO. Jadi, kita mengacu kepada standar kita,” katanya, usai Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Amran menjelaskan, ISPO saat ini sedang didorong menjadi standar yang diterima secara internasional bersama dengan standar yang dikembangkan Malaysia, MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil). Amran juga menyerukan agar kampanye hitam untuk kelapa sawit dihentikan. Pasalnya, ada 16 juta jiwa masyarakat yang bergantung secara langsung dengan usaha perkebunan sawit. Jumlahnya membengkak hingga 30 juta jiwa jika menghitung lapangan kerja tidak langsung yang ditimbulkan. “Orangutan harus kita perhatikan. Tapi orang benerannya juga diperhatikan,” katanya.
Dia mengingatkan, jika masyarakat tidak bisa hidup dari kebun sawit, yang dikhawatirkan adalah mereka akan melakukan penebangan liar — yang pasti berdampak negatif bagi kelestarian hutan.
Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir menambahkan, pemerintah pasti akan membubarkan IPOP. Pembubaran itu akan dikoordinasikan langsung oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. “Menteri Pertanian sudah diminta membuat surat rekomendasi pembubaran untuk disampaikan ke Kementerian Perekonomian. Nanti pembubarannya dilakukan di tingkat Menko,” kata dia.
Gamal menegaskan, IPOP harus dibubarkan meski alasan pendiriannya untuk mendorong pengelolaan sawit lestari. Pembubaran penting karena IPOP melanggar UU, karena ada sekelompok perusahaan yang membuat aturan sendiri soal pengelolaan perkebunan sawit. “Kita punya regulasi, pemerintah negara merdeka, dasar hukumnya UUD 1945. KPPU sudah melakukan penyelidikan, ini bagus,” ujarnya. Sugiharto
Pemerintah Bentuk Tim Panel
Bicara soal deforestasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang paling berwenang. Meski awalnya sempat begitu keras terhadap IPOP, belakangan Kementerian LHK lebih bersikap hati-hati. Saat ini, Kementerian LHK sudah membentuk Tim Panel Analisis Kebijakan Sustainability Kebun Sawit dan IPOP untuk mengkaji lebih dalam implementasi IPOP dan dampaknya.
“Kami perlu tahu apa yang ada di pemikiran para pendiri IPOP,” kata Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK, San Afri Awang.
Tim Panel dibentuk Maret 2016, yang akan memverifikasi IPOP sebagai program korporasi sawit dalam rantai pasokan, mempelajari konsekuensi dan ekses IPOP secara hukum, politik, dan praktis bagi dunia usaha, dan para petani kebun.
Tim Panel juga akan melakukan diskusi kelompok yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan sektor kelapa sawit.
“Kami tidak dalam kapasitas mengambil tindakan apapun dengan IPOP. Kami ingin mengetahui secara mendalam dasar pemikiran dan keterkaitan IPOP dengan negara, perdagangan internasional, semua pemangku kepentingan, petani, dan upaya mengurangi deforestasi,” kata Awang.
Dia menuturkan, pesan yang ingin dibangun IPOP adalah tidak membangun perkebunan sawit dengan cara merusak hutan, apalagi gambut. Tentu tidak ada yang tidak setuju dengan pesan utama itu. Namun, tegas Awang, caranya tidak boleh melanggar peraturan.
“IPOP itu melarang orang membangun kebun sawit dari kawasan yang punya karbon stoknya tinggi. Tingginya itu digunakan patokan kandungan karbon 35%. Yang menentukan itu seharusnya pemerintah,” kata Awang. Sugiharto