Ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kembali muncul di sejumlah provinsi, terutama di lahan gambut. Bahkan, Provinsi Riau sudah menyatakan siaga darurat bencana asap, menyusul adanya sejumlah titik panas (hot spot). Namun, dua lembaga yang bertanggung jawab dalam urusan gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Restorasi Gambut (BRG), malah sedang bertikai panas. Ada apa?
Melampaui kewenangan. Itulah yang membuat Kementerian LHK meradang ketika BRG menyurati 25 perusahaan kehutanan agar merestorasi lahan gambut di areal konsesi mereka seluas 650.389 hektare (ha). Surat edaran Kepala BRG itu langsung “dimentahkan” Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, Ida Bagus Putera Parthama. “Saya sudah kirim surat ke BRG,” kata dia di Jakarta, Rabu (1/2/2017).
Menurut Putera, penugasan kepada perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) bukan kapasitas BRG. Mereka memperoleh izin dari KLHK, dan berkewajiban menyusuan dokumen Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk disahkan KLHK. “Kalau tiba-tiba BRG memerintah begini-begitu, padahal RKU belum (direvisi), kan malah melanggar, bisa kena sanksi,” kata Putera.
Gesekan antara KLHK dengan BRG memang “soal waktu”. Apalagi, badan nonstruktural yang bertugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut ini belakangan mengklaim telah melakukan intervensi restorasi gambut seluas 806.312 ha pada tahun 2016. Luar biasa, memang. Maklum, badan ini baru dibentuk 6 Januari 2016 oleh Presiden Jokowi melalui Perpres No.1/2016.
Tapi klaim itu membuat jengkel KLHK. Bayangkan, sebagai lembaga baru dan nonstruktur, klaim tersebut terasa bombastis, kalau bukan mengada-ada. Itu sebabnya, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, San Afri Awang sampai melontarkan kritik pedas. “BRG mengklaim telah membuat intervensi pemulihan gambut dalam bentuk persiapan masyarakat di 105 desa seluas lebih dari 800.000 ha pada tahun 2016. Ternyata, hampir semua intervensi ini hanya proses persiapan data,” kata Awang.
Namun, Kepala BRG Nazir Foead mengaku tidak ada yang salah dengan klaim tersebut. Menurutnya, intervensi restorasi gambut di 105 desa penting dilakukan agar saat restorasi fisik tidak ada penolakan. Hanya saja, soal surat Putera yang menganulir surat edarannya kepada 25 perusahaan, diakui Nazir. “Nanti yang memberi penugasan KLHK, karena perusahan kehutanan itu yang memberikan izin KLHK,” kata dia ketika dihubungi, Rabu (1/2/2017).
BRG dan KLHK memang harus kompak mengingat ancaman kebakaran hutan dan lahan sudah muncul kembali. Apalagi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut Riau sudah masuk musim panas fase pertama dan sejumlah hot spot pun sudah terpantau. Jangan sampai bencana asap terulang lagi hanya karena koordinasi yang jeblok, bahkan ada gesekan sesama aparat. AI