Pembahasan tataniaga impor garam nampaknya memang tidak menguntungkan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Terbukti, Menteri KKP Susi Pudjiastuti kerap bersuara keras dan bernada “miring” untuk menarik perhatian. Hanya saja, kegundahan Susi kerap tidak tercermin di jajaran aparat KKP.
Tak percaya? Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sjarief Widjaja contohnya. Jika Susi kerap bersuara minor terkait dukungan koleganya di kementerian lain terkait garam, Sjarief justru bersikap anteng.
“Kita didukung kok sama kementerian lain,” ujar Sjarief kepada Agro Indonesia seusai meresmikan acara bazaar intermediasi dan kemitraan lembaga kemitraan mikro pesisir pekan lalu di kantor KKP.
Menurut Sjarief, sistem pengenaan bea masuk (BM) bisa jadi lebih baik dibandingkan kuota yang selalu dipermainkan. Apalagi, hal itu terbukti dengan ditangkapnya Partogi Pangribuan selaku Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag beberapa waktu lalu. Tim penyidik Polda Metro Jaya menemukan fakta yang terkait dengan dugaan penyimpangan tataniaga garam, sehingga merugikan negara dan petani garam.
Direktur Jasa Kelautan, Direktorat Jenderal Ruang Pengelolan Laut, KKP, Riyanto Basuki juga mengakui kebijakan tarif BM punya dua sisi, positif dan negatif. Di satu sisi, jika sistem ini diberlakukan, maka akan membuka peluang kompetisi yang lebih sehat. “Karena siapa pun bisa menjadi importir,” katanya.
Kemudian untuk urusan harga akan lebih kompetitif. “Harga impor yang selalu murah jika dikenai tarif BM maka akan naik. Ini bisa mendorong garam lokal tidak terlalu jatuh. Minimal harga bisa saling mendekati. Petambak lokal pun terpacu untuk meningkatkan kualitas garamnya,” kata Riyanto.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, pihaknya sudah menganggarkan dana Rp180 miliar di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) antara lain untuk pemberdayaan petani garam yang diperkirakan mencapai 37.000 orang.
Berbagai kabupaten/kota di Indonesia diupayakan KKP untuk mengadopsi teknologi dari Korea Selatan, Ulir Filter (TUF) dan geomembran. Dengan dua teknologi ini, selain penguapannya lebih cepat, hasilnya juga jauh lebih bersih. Tingkat garamnya juga lebih dari 94,7%.
“Dengan perbaikan-perbaikan itu kualitas garam rakyat akan meningkat. Sehingga, garam rakyat bisa bersaing dengan garam impor,” kata Riyanto.
Riyanto melanjutkan, jika tarif BM jadi diterapkan, maka yang perlu diawasi betul adalah aspek pengawasan dan hukum yang harus ditegakkan jika ada rembesan garam impor. “Ini sisi negatif yang dikhawatirkan, jika tarif BM diberlakukan.”
Belum ada sikap resmi
Namun, Riyanto menolak saat didesak apa yang menjadi keputusan KKP terhadap wacana tarif BM. “Saya belum bisa jawab. Karena saya belum begitu paham dengan sistem ini secara detail. Lagi pula, KKP belum pernah diundang resmi untuk membahasnya,” sergahnya.
Pernyataan Riyanto pun dibenarkan oleh Sjarief. “Kami belum bisa menentukan sikap resmi. Karena KKP belum pernah duduk bareng dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman untuk membahasnya.”
Sementara itu dari Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman memilih bungkam. Deputi II Bidang Koordinasi Sumberdaya Alam dan Jasa, Agung Kuswandono tidak mengangkat telepon selulernya. Mantan Direktur Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan ini juga tidak menghiraukan pesan WhatsApp yang dikirim.
Sedangkan Asisten Deputi Sumberdaya Mineral, Energi dan Non Konvensional, Deputi Bidang Sumberdaya dan Jasa, Amalyos berkilah dalam memberikan keterangan harus melalui satu pintu, Menko Kemaritiman atau Deputi Bidang SDA dan Jasa.
“Kami mempunyai kebijaksanaan satu pintu dalam memberikan keterangan kepada teman-teman pers. Menko Kemaritim sudah mengadakan press conference,” terang Amalyos.
Namun, beberapa awak media yang hadir dalam konferensi pers tersebut mengaku wacana tarif BM yang tadinya dijanjikan dibahas, ternyata tidak pernah disebut-sebut oleh Menko Kemaritiman, Rizal Ramli.
Yang jelas, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim menilai, jika benar tarif BM akan dikenakan kepada garam konsumsi, maka kesejahteraan petambak garam nasional dipertaruhkan. “Impor garam jelas berdampak buruk terhadap kesejahteraan petambak garam,” tegas Halim.
Dia juga menyangsikan pernyataan KKP yang tidak tahu detail tarif bea masuk impor garam, karena pengelola garam nasional adalah KKP, Kemenperin dan Kemendag. “Sulit dinalar jika KKP tidak mengetahui detail wacana pengenaan tarif bea masuk impor garam,” kata Halim. Fenny YL Budiman
Sebelum Impor, Serap Garam Rakyat Dulu
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam Jatim, Mohammad Hasan tidak mempermasalahkan sistem kuota atau tarif bea masuk (BM). “Yang penting, importir wajib menyerap garam rakyat sebelum mengimpor. Yang perlu ditambahkan dalam revisi Permendag No.58/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Garam adalah jika importir tidak melakukannya maka ada sanksinya,” tegas Hasan.
Hasan mengungkapkan, saat ini harga garam rakyat rendah. Untuk garam kualitas produksi (KP/KW1) hasil geoisolator dihargai Rp500/kg dan garam KP/KW 1 tanpa geoisolator laku Rp400/kg. Sementara garam KP/KW 2 jeblok, Rp300/kg.
Itu sebabnya, Hasan menuntut PT Garam mengambil inisiatif, meski penyertaan modal negara (PMN) dari pemerintah belum kunjung cair. “Sebaiknya PT Garam serap dulu garam rakyat. Toh nanti juga dibayar oleh pemerintah,” usulnya.
PT Garam memang akan mendapat suntikan modal dalam bentuk PMN dari pemerintah sebesar Rp300 miliar. Dalam pelaksanaannya, sebanyak Rp222 miliar dialokasikan untuk menyerap 300.000-400.000 ton garam rakyat. Sementara Rp68 miliar untuk membangun 4 pabrik garam olahan di Camplong, Kabupaten Sampang, Madura. Sedangkan Rp7 miliar untuk persiapan pengembangan lahan di Nusa Tenggara Timur dan sisanya, Rp3 miliar untuk aplikasi teknologi geo membran di on-farm PT Garam.
Jeblok
Sementara petani garam rakyat di Kabupaten Sumenep juga mengeluh jebloknya harga jual garam musim produksi tahun ini. Sebab, harga komuditas tersebut masih di bawah ketentuan Pemerintah.
Ketua Paguyuban Petani Garam Rakyat Sumenep, Hasan Basri mengeluh harga garam yang merupakan hasil produksi tahun 2015 ini terjual pada kisaran Rp300 hingga Rp400/kg. “Harga tersebut masih di bawah ketentuan Pemerintah,” katanya, kemarin.
Dia menegaskan, patokan harga yang ditetapkan Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sebesar Rp750/kg untuk kualitas satu (KW 1) dan Rp550/kg untuk KW 2. “Untuk petani yang menggunakan geomembran, garam yang dihasilkannya bisa terjual pada kisaran Rp520/kg hingga Rp550/kg, tapi tetap di bawah ketentuan pemerintah,” ucapnya.
Dia menjelaskan, sesuai laporan dari rekan-rekannya sesama petani garam rakyat, hingga sekarang tidak ada garam rakyat yang dibeli pengusaha dengan harga sesuai ketentuan Pemerintah. “Kalau soal harga memang belum ada perubahan, sama saja dengan harga di setiap tahunnya, harga garam rakyat memang di bawah ketentuan Pemerintah,” bebernya.
Dia meminta Pemerintah melakukan intervensi agar harga garam rakyat di Sumenep ini bisa sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. “Kami hanya bisa berharap Pemerintah bisa kometmen dengan ketentuan harga yang telah ditetapkan dan bisa mengintervensi masalah harga ini,” imbuhnya.
Sementara itu, pekan lalu anjloknya harga garam rakyat di kisaran Rp350-Rp400/kg membuat Asosiasi Petani Garam Rakyat Seluruh Indonesia (Apgasi) meminta pemerintah serius untuk membentuk lembaga stabilisator harga garam rakyat supaya harga komoditas bisa stabil.
“Harga garam rakyat anjlok adalah persoalan yang nyaris terjadi setiap tahun, karena itu wajib dibentuk lembaga stabilisator harga garam rakyat guna melindungi nasib petani,” kata Ketua Apgasi, Syaiful Rahman di Sumenep, pekan lalu.
Dia menjelaskan lembaga stabilisator harga untuk melindungi nasib petani garam rakyat sebenarnya wacana lama atau sudah dibicarakan sejak beberapa tahun lalu. “Pada 2012, wacana tersebut menguat dan PT Garam sempat disebut oleh pemerintah untuk bertindak sebagai lembaga stabilisator harga. Namun, hingga sekarang ternyata sebatas wacana. Saat ini, harga rata-rata garam rakyat Rp400/kg,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan peraturan tentang harga garam rakyat, yakni Rp750/kg untuk KW-1 dan Rp550/kg untuk KW-2. “Namun, amanat peraturan pemerintah itu tidak pernah terealisasi. Hingga sekarang, tidak satu pun pabrikan atau pengusaha yang membeli garam rakyat sesuai amanat peraturan tersebut, karena mereka berdalih harga beli garam rakyat menyesuaikan dengan mekanisme pasar,” ucapnya. Fenny/Elsa Fifajanti