Polemik mengenai pembatasan impor garam guna mencegah terjadinya rembesan garam industri di pasar dalam negeri, tampaknya akan berakhir antiklimaks. Rapat terbaru yang digelar di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kamis (22/10) lalu menghasilkan sejumlah keputusan yang mengejutkan.
Menurut Direktur Industri Kimia Dasar Kemenperin, Muhammad Khayam, telah terjadi koreksi dari notulen rapat Menko Perekonomian mengenai impor garam, di mana pengenaan Bea Masuk (BM) hanya diberlakukan untuk impor garam kosumsi.
“Kebijakan BM tidak diberlakukan untuk garam industri,” ujar Khayam kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Selain itu, impor garam industri juga tidak lagi menggunakan skema lama, yakni berdasarkan kuota. Lewat regulasi yang tengah disusun, nantinya perusahaan pengguna garam dapat melakukan impor garam industri dengan volume sesuai kebutuhan.
“Dalam regulasi yang baru, tidak ada sistem kuota. Perusahaan diberikan kesempatan mengimpor garam sesuai kebutuhan dan nantinya dilakukan post-audit untuk memeriksa apakah volume impor garam yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan atau tidak,” jelasnya.
Rencana pemerintah itu tentunya bertolak belakang dengan keinginan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun petani garam lokal yang menginginkan adanya kebijakan ketat dalam kegiatan impor garam guna mencegah terjadinya perembesan garam industri, khususnya garam untuk industri makanan dan minuman ke pasar garam konsumsi di dalam negeri.
KKP menuduh telah terjadi perembesan garam asal impor ke pasar dalam negeri yang menyebabkan harga garam konsumsi hasil panen petani garam lokal mengalami penurunan.
Tuduhan KKP ini sempat ditanggapi pemerintah dengan membentuk sebuah tim kecil yang melibatkan instansi-instansi terkait, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Namun, belum sempat tim kecil ini menghasilkan keputusan, masalah tentang impor garam ditarik langsung oleh Kantor Menko Kemaritiman dan Sumber Daya.
Usai rapat yang digelar 21 September lalu — yang melibatkan Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Menteri Peridustrian Saleh Husin dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti — Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli mengumumkan lima langkah untuk mengatasi permasalahan yang membelit komoditas garam.
Pertama, penghapusan sistem kuota impor garam yang selama ini malah menciptakan oligopoli atau kartel garam untuk mengendalikan atau mempermainkan harga garam dalam negeri. Sebagai penggantinya, diusulkan pengenaan tarif impor garam sebesar Rp200/kg.
Kedua, Rizal meminta pengawasan terhadap peredaran garam impor diperketat. Ditengarai banyak garam untuk kebutuhan industri aneka pangan yang merembes ke pasar garam konsumsi atau rumah tangga. Padahal, pasar garam konsumsi tertutup untuk garam impor. Terkait hal ini, pelaku industri yang mengimpor garam tak lagi dibatasi oleh kuota, namun pemerintah akan melakukan post-audit untuk mencegah rembesan garam impor.
Ketiga, harus dibangun industri garam yang dapat memproduksi garam berkualitas tinggi untuk industri farmasi, kaca, dan sebagainya. Saat ini impor garam industri masih 2,2 juta ton/tahun, perlu industri garam modern untuk menekan impor tersebut.
Keempat, Menteri KKP Susi Pudjiastuti diminta benar-benar meningkatkan kualitas garam lokal agar dapat bersaing dengan garam impor. Garam rakyat harus diperbaiki kualitasnya.
Kelima, akan dibentuk Tim Monitoring yang terdiri dari pejabat eselon II Kemendag, Kemenperin, KKP, dan Sekretaris Menko Kemaritiman dan Sumber Daya. Tim ini akan bersama-sama menghitung impor garam, mengawasi peredaran garam impor, dan mengendalikan harga.
Penentangan
Dari lima langkah itu, keputusan untuk menerapkan tarif bea masuk impor (BM) mendapatkan penentangan dari sejumlah pihak, terutama kalangan pelaku industri.
Bahkan pemerintah Jepang ikut turun tangan dengan melakukan aksi protes terhadap rencana penerapan BM impor garam itu. Protes itu dilakukan Duta Besar Jepang untuk Indonesia Tanizaki Yasuzaki dengan mendatangi Kantor Kemenperin, tanggal 9 Oktober lalu.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengakui kedatangan duta besar negeri sakura tersebut untuk menanyakan ketersediaan garam industri bagi perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di Indonesia, seperti pada industri makanan dan minuman, petrokimia, kaca dan lain-lain.
Selain itu, pihak Jepang juga menyatakan keberatannya terkait rencana pemerintah melakukan pengenaan bea masuk garam pada tahun depan. “Mereka juga agak keberatan impor dikenakan bea masuk. Nanti cost-nya mereka jadi tinggi,” papar Saleh Husin.
Dia mencontohkan, selama ini pelaku industri bisa mendapatkan garam melalui impor dengan harga hanya 38 dolar AS/ton. Jika ditambah bea masuk 15 dolar AS, maka total jadi 53 dolar AS. “Itu jadi tinggi, dan industri tidak lagi efisien,” kata dia.
Terlebih lagi, ungkapnya, kebutuhan garam industri dari masing-masing industri tersebut cukup besar. Jika harus dibebankan dengan pengenaan bea masuk untuk bahan baku seperti garam, maka semakin memberati industri.
Keberatan Jepang
Pemerintah Jepang layak mengajukan keberatan karena banyak pelaku industri pengguna garam di negeri ini yang berasal dari negeri itu. Contohnya PT Asahimas. Pabrik lembaran kaca ini setidaknya membutuhkan pasokan sekitar 1,2 juta ton garam tiap tahun untuk kegiatan produksinya.
Keberatan atas rencna penerapan BM bagi kegiatan impor garam juga muncul dari pelaku industri nasional. Seperti yang dilontarkan Franky Wellirang, petinggi di Bogasari Grup. Dia mengingatkan bahwa kekurangan pasokan garam bisa mengancam kelangsungan usaha unit usahanya yang memiliki sekitar 5.000 karyawan.
Menteri Perdagangan Thomas Limbong pun sempat melontarkan pernyataan bahwa penerapan BM bisa mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional karena penerapan BM akan meningkatkan biaya produksi.
Keberatan dari pemerintah asing serta pelaku industri di dalam negeri mungkin menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk tidak menerapkan BM bagi impor garam untuk kebutuhan industri.
Sementara untuk impor garam konsumsi, penerapan BM-nya kini tengah dilakukan simulasi. “Kami sedang melakukan simulasi tentang penerapan BM garam konsumsi sebelum akhirnya diserahkan kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF),” ujar Khayam.
Jika telah diajukan ke BKF, paparnya, nantinya akan dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tentang besaran BM impor garam konsumsi.
Sementara itu, Plt Direktur Impor Kementerian Perdagangan, Nusa Eka menjelaskan, pihaknya siap melakukan revisi Permendag yang mengatur soal ketentuan impor garam.
“Kami siap melakukan revisi Permendag soal impor garam. Semua masukan dari instansi-instansi terkait akan kami terima,” ujarnya kepada Agro Indonesia. Dia optimis revisi Permendag itu akan selesai sebelum akhir tahun 2015 sehingga bisa diterapkan di tahun 2016.
Mengenai kemungkinan diterapkannya bukti serap sebagai persyaratan untuk impor garam konsumsi, Nusa Eka menjelaskan hal itu merupakan kewenangan KKP karena kegiatan pembelian garam dilakukan di sentra produksi dengan melibatkan asosiasi produsen garam dan dinas yang berwenang soal pergaraman.
“Silakan saja kalau KKP mau ajukan persyaratan bukti serap dalam revisi Permendag, namun mereka yang menguruskan soal persyaratan bukti serap itu di lapangan,” katanya B Wibowo