Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menolak tudingan pihak yang menyebutnya tidak ramah terhadap produsen surimi. Surimi adalah daging ikan yang dihaluskan. Surimi biasa digunakan untuk bahan baku pembuatan berbagai aneka makanan olahan seperti siomay dan nugget.
Menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP, M. Zulficar Mochtar, industri surimi di berbagai negara lain juga terbelit persoalan serupa. Contohnya, Vietnam, Thailand dan Jepang yang tengah mengeluh pasokan bahan baku yang tidak memadai. Bahkan, Alaska Pollack yang kabar status suriminya stabil ternyata menurun.
“Ini karena nature dari bisnis surimi butuh sumberdaya ikan secara massif. Jadi, masalah bahan baku yang dikeluhkan industri surimi di Indonesia, solusinya bukan harus menangkap dengan cantrang,” ujar Zulficar via layanan WhatApp kepada Agro Indonesia.
Menurut Zulficar, perusahaan yang bergerak dalam industri sumberdaya ikan (SDI) harus memiliki perencanaan bisnis yang baik. Perusahaan juga harus mempunyai analisis sumber stok dan bahan baku yang ramah lingkungan. Perusahaan harus realistis dengan formulasi kebutuhan bahan baku dan sumber alternatifnya. Termasuk orientasi dan diversifikasi produk serta perlu mengadopsi prinsip perikanan berkelanjutan.
Apalagi, lanjutnya, sudah 2 tahun lebih pelarangan pukat tarik dan pukat hela diberlakukan. “Harusnya, perusahaan sudah bisa adaptasi, melakukan review opsi dan melakukan inovasi yg realistis. Bukan memaksakan cantrang untuk terus beroperasi,” kata Zulficar.
Zulficar mengaku terhenyak dengan pernyataan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan & Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), Budhi Wibowo yang menyebut kebutuhan bahan baku 15 pabrik surimi mencapai 1.000 ton ikan demersal per hari.
“Kalau benar, bisa 200.000-300.000 ton lebih dibutuhkan dalam setahun saja. Jumlah ini sangat fantastis, sekaligus kurang realistis kalau bergantung ke laut. Mau menangkap di WPP mana ikan-ikan demersal sebanyak itu setiap hari? Sementara, alokasi tahunan yang diperbolehkan untuk ditangkap di WPP khusus untuk ikan demersal saat ini tidak semassif itu,” papar Zulficar.
Zulficar pun membeberkan catatannya antara lain di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 yang meliputi perairan Laut Jawa, jumlah ikan demersal yang boleh ditangkap maksimal 256.346 ton. Kemudian, di WPP 713 yang mencakup perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali, dibatasi penangkapannya hanya 61.790 ton. Sementara, di WPP 714 yakni perairan Laut Banda dan Teluk Tolo dipatok cuma 79.840 ton.
“Apakah semua ikan-ikan itu akan ditangkap hanya untuk pabrik surimi yang ada? Apa ini tidak berarti memonopoli ikan RI dan juga menguras sumberdaya ikan? Bagaimana dengan hak dan kebutuhan ratusan ribu nelayan lain?” sergah Zulficar.
Cantrang bukan satu-satunya
Zulficar menegaskan, pemerintah tidak pernah melarang nelayan Indonesia menangkap ikan di laut Republik Indonesia. Yang dilarang adalah menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan.
“Karena merugikan negara dan juga tidak adil bagi nelayan lainnya. Alat tangkap cantrang bukan satu-satunya alat tangkap ikan yang ada di RI. Ada ratusan. Silakan menangkap ikan,” ujar Zulficar.
Menurut Zulficar, pemerintah ngotot melarang cantrang karena berbagai kajian sudah banyak dilakukan dan menunjukkan alat tangkap ini tidak berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial. “Sejak tahun 1980 cantrang sudah dilarang. Karena secara ekologis merusak, ekonomi tidak sustainable dan memicu konflik sosial di banyak wilayah,” kata Zulficar.
Zulficar membeberkan secara ekologis, meski pun cantrang berusaha menghindari terumbu karang tapi bisa merusak jika dioperasikan di sekitarnya. Selain terumbu karang, ekosistem pun bisa terusik di lokasi aktivitas cantrang. Belum lagi, tangkapan sampingan cantrang yang sangat besar hingga 50% lebih.
Secara sosial, cantrang mendorong nelayan ekspansi ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) lain yang akan memicu persoalaan baru. Banyak pula yang melanggar WPP akibat ketiadaan ikan. Belum lagi, rawan melahirkan koflik. Di berbagai lokasi, kapal-kapal cantrang diusir dan bahkan dibakar oleh nelayan lokal.
Kebijakan salah
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti pun keukeuh dengan kebijakan pelarangan cantrang. Karena kebijakan yang ditempuhnya ini demi keberlangsungan perairan Indonesia, seperti yang diamanatkan Presiden Joko Widodo kepadanya. Jadi, KKP tidak bermaksud mematikan kehidupan masyarakat nelayan. Pemerintah justru ingin menyelamatkan kehidupan nelayan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.
“Kalau lautnya terus dikeruk pakai trawl, cantrang, pukat hela dan pukat tarik, apa pun namanya, bisa habis nanti,” kata Susi mengingatkan.
Bos dua perusahaan besar, PT ASI Pudjiastuti Marine Product yang bergerak di bisnis perikanan dan Susi Air yang merupakan maskapai sewa dengan pesawat propeller ini pun bergeming dengan desakan beberapa pihak.
“Ada pihak-pihak yang mengatakan kebijakan saya salah. Ikan kalau tidak ditangkap mati. Saya bilang saja, ikan mati kan diurai dan bisa jadi makanan untuk ikan lain yang lebih besar. Being simple, being logic,” sergah Susi.
KKP menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen) Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPP Negara Republik Indonesia. Beleid ini pengganti Permen KP No. 2/MEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di WPP NRI.
Belakangan, KKP juga mengeluarkan Surat Edaran (SE) No.B.1/SJ/PL.610/I/2017 tentang Pendampingan Penggantian Alat Penangkapan Ikan yang Dilarang Beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
SE yang terbit pada 3 Januari 2017 ini KKP dan pemerintah daerah dalam jangka waktu 6 bulan akan mengambil langkah-langkah pendampingan atau asistensi seusai kebutuhan. Di antaranya, membentuk kelompok kerja (pokja) penanganan penggantian alat tangkap penangkapan ikan (API) yang melibatkan kementerian/lembaga terkait.
Ada pun untuk kapal cantrang di bawah 10 gross tonnage (GT), KKP akan menggantinya dengan alat tangkap yang ramah lingkungan. Untuk kapal cantrang 10-30 GT akan difasilitasi pembiayaannya dari lembaga keuangan untuk penggantian alat tangkap. Kemudian untuk cantrang diatas 30 GT akan difasilitasi perizinannya lewat gerai perizinan.
Pemerintah juga akan merelokasi daerah penangkapan ikan, mempercepat proses perizinan API pengganti yang diizinkan, memfasilitasi pelatihan penggunaan API pengganti dan tidak menerbitkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) baru untuk API yang dilarang.
Menurut Zulficar, pokja penanganan penggantian API sebagai bentuk amanah SE Pendampingan Penggantian API yang Dilarang Beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan NRI. “Dalam pokja, kami akan fokus pada pembinaan dan kami akan koordinasi dengan aparat hukum agar tidak melakukan penindakan.” Fenny
Regulasi KKP Tidak Ramah Investasi
Asosiasi Pengusaha Pengolahan & Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) khawatir dengan 15 anggotanya, produsen surimi yang terancam bangkrut akibat regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Bahkan, penanaman modal asing (PMA) dari Korea Selatan, PT Java Seafood mengancam akan hengkang dari Indonesia dan merelokasikan pabriknya ke negara yang ramah investasi. Persero dari negeri ginseng ini gerah, menyusul penutupan operasional pabrik suriminya beberapa bulan.
“Padahal, anggota kami sudah berinvestasi. Bahkan, PT Java Seafood investasinya mencapai 115 juta dolar AS. Tapi sekarang menghadapi masalah kekurangan bahan baku. Regulasi KKP tidak ramah investasi,” ujar Ketua Umum AP5I, Budhi Wibowo.
Ada pun beleid yang dimaksud Budhi yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 2/MEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI). Kemudian Permen KP 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPP NRI, beleid yang notabene pengganti Permen 2/2015.
Keluhan asosiasi pun direspon oleh wakil rakyat di Senayan. Anggota Komisi IV DPR (F-KB), Daniel Johan menyebut KKP telah menghancurkan industri hilir perikanan seperti pabrik surimi. “Ini bagus. Jadi prestasi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti,” sindirnya.
Menurut Daniel, partainya selalu bersuara keras dengan berbagai kebijakan KKP yang menghambat investasi. “Segala upaya sudah dilakukan PKB. Tapi pemerintah tetap keras dengan kebijakannya. Kita lihat saja gimana akhirnya,” sergah Daniel.
Pendapat serupa juga datang dari koleganya di Komisi IV DPR. Menurut Ono Surono (F-PDIP), pihaknya sudah lama selalu mengingatkan dampak pelarangan cantrang yang akan berimbas terhadap industri hilir.
“Kami Komisi IV DPR sudah mengingatkan dampak pelarangan cantrang. Selain nelayan, industri surimi yang bahan bakunya dari ikan-ikan hasil tangkapan cantrang juga pasti akan terimbas,” kata Ono. Fenny