KLHK Sebut RUU Omnibus Law Tetap Jaga Aspek Lingkungan

Sekjen KLHK Bambang Hendroyono

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan, rancangan undang-undang cipta kerja (omnibus law) tidak mengabaikan aspek lingkungan.

Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menyatakan penerapan standar pengelolaan lingkungan hidup diterapkan berbasis risiko.  Untuk risiko tinggi, tahapannya wajib memenuhi dokumen AMDAL, uji kelayakan, Keputusan Kelayakan Lingkungan, barulah keluar perizinan berusaha.

”Untuk risiko sedang dikelola melalui Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL dan UPL), dan risiko rendah dilakukan dengan sistem registrasi melalui standar baku sebagai alat kontrol,” kata Bambang saat Media Gathering di Yogyakarta, Sabtu (29/3/2020).

Sementara itu, terkait pasal pada UU 41 tahun 1999 mengenai pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya berubah menjadi ‘Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya’, dikatakan Tenaga Ahli Menteri LHK bidang legislasi legal dan advokasi, Ilyas Asaad, haruslah utuh membaca perubahan dari pasal per pasal.

”Membaca pasal 49 seharusnya juga membaca pasal 50 yang mengatur tentang larangan membakar serta pasal 78 ayat (3) tentang hukum pidana bagi pembakar hutan. Dengan demikian sebenarnya dilarang melakukan pembakaran hutan oleh siapa saja dan khusus kepada korporasi diberi tambahan kewajiban yaitu melakukan pencegahan dan pengendalian,” tegas Ilyas.

Sementara itu pakar Hukum Universitas Parahyangan Profesor Asep Warlan Yusuf, mengakui, omnibus law secara prinsip tidak mengubah upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan seperti diatur dalam UU No 32 tahun 2009.

”Prinsipnya asas dan norma lingkungan tidak ada yang berubah. Kebijakan memang ada yang berubah, teknis sebagian ada yang berubah, dan untuk prosedur memang banyak berubah menjadi lebih sederhana,” kata Asep.

Dia menilai omnibus law memang bertujuan untuk memangkas regulasi. Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Perekonomian, saat ini terjadi kompleksitas dan obesitas regulasi di pusat dan daerah, karena terdapat 43.511 peraturan. Penerapan metode Omnibus Law dikatakan Asep memiliki banyak kelebihan untuk menyelesaikan disharmoni regulasi di Indonesia.

Kelebihan tersebut antara lain dapat mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal secara cepat, efektif dan efisien. Selain itu mampu menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi.

Omnibus law juga dapat memangkas pengurusan perizinan lebih terpadu, mampu memutus rantai birokrasi yang berbelit-belit, meningkatkan hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu, serta adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pengambil kebijakan. Sugiharto