Oleh: drh Ida Lestari (MVU Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian)
PPagi hari, selagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Pertanian (Kementan) masih belum banyak yang hadir karena waktu belum memasuki pukul 07.30, beberapa ekor kucing, hewan kesayangan berkaki 4 yang tidak memiliki tuan atau lebih dikenal dengan stray cats, sudah menunggu dengan sabar di depan pintu masuk klinik utama Kementan. Mereka seolah menunggu urutan berobat ke dokter. Kucing-kucing itu sesungguhnya menunggu pemberian pakan dari pegawai Kementan yang berbelas kasih kepada mereka. Jujur, hal ini mengingatkan saya pada hal konkrit apa yang bisa kita (dokter hewan) kontribusikan kepada pemerintah via Kementan, khususnya menyambut World Rabies Day (WRD) yang akan diperingati 28 September 2019
Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari Negara-negara dunia harus selalu aktif dan turut serta dalam kolaborasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) dan Aliansi Global Pengendalian Rabies (GARC), serta lebih dari 100 Negara-negara endemik rabies lainnya di dunia yang berkomitmen menjalankan strategi global eliminasi rabies yang tertuang dalam dokumen berjudul “Zero by 30”.
Dihitung dari tahun 2019 kita masih punya waktu 11 tahun lagi menuju tahun 2030 untuk mencapai target nol kematian manusia akibat rabies yang ditularkan oleh HPR (Hewan Penular Rabies). Kementan sudah menyusun One Health Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030. Hal yang sangat tidak mudah sekali karena memerlukan komitmen dan kerja sama antar Kementerian dan Lembaga terkait. Perlu diingat waktu 11 tahun bukanlah waktu yang singkat bila kita tidak bergerak cepat.
Banyak strategi eliminasi rabies yang sudah tertuang dalam visi dan misi one health di atas. Salah satunya adalah melakukan vaksinasi Hewan Penular Rabies (HPR) seperti anjing, kucing dan kera. Lantas, hal konkrit yang mudah apa saja saat ini yang dapat kita lakukan walau dalam skala kecil namun berdampak luas, guna menunjang misi nasional itu?
Strategi yang tertuang guna mencapai sasaran eliminasi rabies nasional 2030 yang tertuang di roadmap adalah : a) eliminasi rabies pada anjing; b) pencegahan rabies pada manusia; c) penguatan surveilans pada manusia dan hewan; d) peningkatan kesadaran masyarakat; e) penguatan legislasi; f) pelaksanaan riset; g) penguatan koordinasi muktisektoral; dan h) mobilisasi sumber daya.
Vaksinasi massal pada hewan anjing (termasuk dalam strategi a dalam roadmap) dinilai sebagai suatu strategi panjang yang lebih hemat biaya (cost effective). Meski demikian kita masih terkendala dengan ketersediaan vaksin bantuan dari Badan Kesehatan Dunia/OIE maupun vaksin rabies produksi dalam negeri (Pusat Veteriner Farma). Diperkirakan, butuh 37 juta dosis untuk vaksinasi massal pada tahun 2019. Sementara untuk tahun 2020 diperkirakan butuh 40 juta dosis.
Indonesia sendiri sejak tahun 1884 sudah mengenal penyakit zoonosis rabies yang pertama kali ditemukan pada seekor kuda di suatu daerah di Jakarta. Sejak tahun 1996 di Indonesia diketahui terdapat 26 dari 34 propinsi yang sudah tertular penyakit rabies.
Perjuangan yang sangat berat bagi Kementan untuk mempertahankan kondisi saat ini dimana 8 daerah provinsi bebas rabies. Provinsi tersebut adalah Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Papua dan Papua Barat yang dinyatakan sebagai daerah bebas historis, sementara yang lainnya yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dinyatakan sebagai daerah yang dideklarasikan bebas rabies. Kita semua mengharapkan daerah yang bebas rabies di Indonesia akan terus semakin bertambah sampai akhirnya menuju benar-benar bebas rabies pada tahun 2030.
Manajemen Populasi
Di lain pihak mungkin tidak banyak orang yang memperhatikan ternyata di Kementan, kita memiliki sumber daya manusia dokter hewan yang cukup banyak. Dari rekaman data bagian kepegawaian sekretariat di Direktorat Kesehatan Hewan setidaknya kita memiliki sekitar 57 orang tenaga dokter hewan. Ditambah lagi sekitar 37 orang tenaga dokter hewan di Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dokter hewan yang ada di Kementan dapat diberdayakan untuk membantu eliminasi rabies.
Untuk mengingatkan, seorang lulusan dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan yang ada di Indonesia sebelum dinyatakan lulus harus memiliki kompetensi lulus dari bagian klinik dan bedah dimana dalam bedah minor, mereka setidaknya pernah dan bisa melakukan sterilisasi kucing jantan maupun betina.
Kemampuan melakukan sterilisasi pada kucing-anjing inilah yang bisa kita sumbangkan bagi Pemerintah Indonesia, tanpa harus memikirkan besarnya cakupan area yang akan jadikan target pensterilan kucing-anjing. Setidaknya lakukan pensterilan kucing-anjing di sekitar tempat tinggal atau kantor kita. Hal ini sangat membantu depopulasi jumlah anjing dan kucing khususnya yang liar.
Perlu diingat, hewan kucing dapat berkembang biak setahun 2-3 kali dengan jumlah kitten 4-6 ekor, dan anjng dapat berkembang biak sedikitnya 2 kali setahun dengan jumlah puppies 3-10 ekor. Kucing dan anjing sudah memasuki masa pubertas pada usia 6 bulan. Bila bertemu lawan jenisnya di usia remaja mereka, dalam hitungan kurun waktu 2 bulan masa kebuntingan nya, mereka sudah berhasil menjadi indukan. Juga jangan lupa usia hidup (life span) mereka bisa mencapai 10-12 tahun.
Jadi, apakah cukup vaksinasi kucing-anjing untuk mengeliminasi rabies? Tanpa pengendalian populasi melalui sterilisasi, apakah target bebas rabies akan terkejar?
Ketika kita merasa kasihan memberi makan kucing secara rutin tanpa memikirkan sterilisasi, kita melupakan satu hal. Kucing sangat cepat berkembang biak karena di-support makanan dari kita yang menyayangi mereka. Bila populasi kucing-kucing tersebut tidak dikendalikan, maka populasi/komunitas anjing-kucing liar tersebut akan menjadi bertambah banyak dan mereka berpotensi menjadi pembawa hama penyakit.
Apalagi bila komunitas kucing liar tersebut akan memilih tempat dimana mereka mudah memperoleh makanan yang disediakan rutin oleh manusia. Seperti pada suatu tempat atau dekat tempat jualan seperti kantin yang bila dibiarkan populasi terus bertambah tanpa kendali malah akan merusak suasana kenikmatan makan kita.
Sering kita alpa, bahwa ada beberapa penyakit pada hewan kucing yang dapat ditularkan ke manusia maupun ke kucing lainnya seperti rabies, toxoplasma (yang dapat menyebabkan meningitis dan keguguran), selain chlamydia (menyebabkan radang selaput mata), kutu kucing dan scabies (kudisan) maupun bulu kucing yang menyebabkan alergi pada kulit manusia, bila kita tidak merawat mereka.
Ketika ASN menderita sakit atau perlu berobat, Kementan memfasilitasinya dengan Klinik Utama bagi pegawainya. Namun bagaimana dengan kucing–kucing liar sekitar Kementan yang butuh pengobatan penyakit yang dapat menular kepada manusia maupun dalam hal manajemen populasi mereka? Maka sekitar 100 dokter hewan yang ada di Kementan yang memiliki naluri/kepedulian terhadap lingkungan kesehatan serta kesejahteraan hewan harus dapat diberdayakan.
Sebenarnya tidak jauh dari Kementan terdapat Rumah Sakit Hewan Jakarta/RSHJ yang beroperasi dari pagi sampai pukul 20.00. Namun RSHJ tidak dapat diakses oleh semua kalangan karena terkendala biaya. Selain itu dekat Kementan juga ada Pusat Kesehatan Hewan/Puskeswan UPTD DKI yang beroperasi dari hari Senin-Sabtu. Para tenaga medis di sana membantu pelayanan steril gratis namun terbatas dalam jumlah (kuota) dan berlaku hanya bagi mereka yang memiliki Kartu Tanda Pengengenal (KTP) DKI saja dan dibatasi 1 orang untuk 1 ekor saja.
Maka tidaklah berlebihan bila tenaga dokter hewan di Kementan juga mendarma baktikan profesionalismenya lewat sterilisasi kucing liar bagi sekitar Kementan bahkan bisa meluas bagi sekitar JABODETABEK. Semoga sumbangsih para tenaga dokter hewan dalam menyalurkan ilmu veterinernya pada klinik hewan milik Kementan bisa diwujudkan.