Koleksi Kayu Perkuat Pangkalan Data Cadangan Karbon Indonesia

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (Ketiga dari kiri) berfoto dengan (dari kanan) peneliti BLI KLHK Krisdianto, peneliti BLI KLHK Ratih Damayanti, Kepala Pusat Litbang Hasil Hutan KLHK Dwi Sudharto, dan Kepala Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK Agus Justianto, usai pemaparan tentang Xylarium Bogoriense di Paviliun Indonesia saat Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 24 di Katowice, Polandia.

Xylarium Bogoriense, perpustakaan kayu yang dikelola Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI KLHK) memiliki spesimen kayu terbanyak di dunia. Koleksi kayu tersebut penting untuk ikut mempromosikan perdagangan kayu legal dan memperkuat pangkalan data cadangan karbon Indonesia.

Demikian terungkap saat sesi diskusi panel yang digelar di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 24 yang berlangsung di Katowice, Polandia. Sejumlah peserta internasional terlihat antusias mengikuti sesi tersebut.

Agus Justianto, Kepala BLI KLHK yang juga penanggung jawab Paviliun Indonesia mengungkapkan, Xylarium Bogoriense mulai mengumpulkan spesimen kayu sejak tahun 1914. “Hingga saat ini telah ada lebih dari 193.000 spesimen kayu di Xylarium Bogoriense,”  kata dia dalam pernyataan yang dirilis, Rabu (5/12/2018).

Xylarium Bogoriense telah tercatat dalam Index Xylarium, Institutional Wood Collection sejak 1975 yang dikelola oleh International Assosiation of Wood Anatomists (IAWA). Xylarium Bogoriense kini mengungguli perpustakaan kayu yang ada di Belgia (69.000 spesimen),  Amerika Serikat (105.000 spesimen)  dan Belanda (125.000 spesimen).

Peneliti BLI KLHK Krisdianto menjelaskan, xylarium mendokumentasikan keragaman jenis  kayu yang bermanfaat sebagai penunjang penelitian dan sumber informasi ilmiah  seperti nama lokal, nama ilmiah, dan persebaran jenis kayu.  Xylarium juga menjadi rujukan utama identifikasi kayu dalam perdagangan produk kayu.

Dalam konteks pengendalian perubahan iklim, koleksi kayu juga punya banyak fungsi. “Pola lingkaran pertumbuhan pada kayu bisa dijadikan acuan untuk memprediksi pola iklim,” katanya.

Koleksi kayu yang ada di Xylarium Bogoriense, lanjut Krisdianto, memperkuat database (pangkalan data) cadangan karbon Indonesia. “Cadangan karbon yang tersimpan pada setiap jenis kayu berbeda berdasarkan berat jenis dan senyawa aktif yang tergantung di dalamnya,” katanya.

Alat Identifikasi Kayu Otomatis

Untuk memudahkan proses identifikasi kayu, BLI KLHK juga telah mengembangkan Alat Identifikasi Kayu Otomatis (AIKO). Peneliti BLI KLHK Ratih Damayanti menjelaskan, selama ini identifikasi kayu membutuhkan proses yang cukup lama, bahkan hingga 4 pekan. “Dengan AIKO, jenis kayu bisa diketahui dalam hitungan detik,” katanya.

AIKO bisa dioperasikan dengan telefon genggam yang ada di pasaran dengan menambahkan lensa pembesar pada bagian kamera. Kamera dimanfaatkan untuk memotret pola yang ada pada spesimen kayu. Setiap jenis kayu memiliki pola yang berbeda, seperti halnya sidik jari pada manusia. Informasi jenis kayu nantinya akan dikirimkan dari peladen (server) yang dikelola BLI KLHK. Data yang ada di peladen tersebut bersumber dari Xylarium Bogoriense.

Menurut Ratih, AIKO bisa mengidentifikasi secara akurat dan memberi informasi jenis kayu dengan komprehensif. “Informasi yang disediakan termasuk nama botani, nama dagang, klasifikasi kelas kayu komersial, kelas kuat kayu, dan potensi pemanfaatan,” katanya. Sugiharto