Komoditi Lainnya Menyusul Tumbang

Apel impor membanjiri pasar domestik. Akibatnya, petani apel di Malang menjerit karena tidak mampu bersaing karena harga jual apel lokal hanya Rp2.500/kg, sementara biaya produksi mencapai Rp6.000/kg.

Di tengah keterpurukan petani apel tersebut, pemerintah cq. Kementerian Pertanian (Kementan) pun nampaknya tidak mempunyai kepedulian yang cukup untuk mengatasi penderitaan petani apel tersebut.

Padahal, Kabupaten Malang, Kota Batu dan Pasuruan, Provinsi Jawa Timur (Jatim) merupakan satu-satunya sentra produksi apel di Indonesia. Semestinya pemerintah mempunyai perhatian khusus untuk menyelamatkan petani apel tersebut.

Ketua Dewan Hortikultura Nasional (DHN) Benny Kusbini mengatakan, pemerintah sekarang ini memang geblek. Tidak ada blue print yang jelas dan konkret untuk pertanian. Apalagi komoditas hortikultura.

DHN menilai Predisen Susilo Bambang Yudhono tidak memenuhi janji-janji kampanyenya yang dilakukan lima tahun lalu. Jadi, sangat wajar jika petani apel demo. “Ke depan, mungkin akan demo juga petani cabe, petani bawang merah, kentang, tomat, petani padi dan petani lainnya,” katanya pada Agro Indonesia.

Ketika ditanya siapa yang patut disalahkan dengan terpuruknya petani apel Malang, Beny tegas menjawab, ”Semuanya salah! Kementan tidak membina petani-petani, termasuk petani apel. Sementara Kemendag keterlaluan membuka izin impor melebihi kebutuhan dan permintaan pasar lokal. Jadilah begini. Apel lokal tidak laku. Apel impor, karena oversupply, dijual rugi. Akhirnya petani dan importir rugi semua.”

Menurut dia, semestinya pemerintah melindungi petani dalam negeri, khususnya petani apel yang jumlahnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan petani padi sawah.

“Jangan karena jumlah petani apel yang kecil, pemerintah tidak memperhatikan mereka. Apel Malang satu-satunya apel di Indonesia. Mestinya dilindungi, bukan dihancurkan,” sergahnya.

Menurutnya, saat ini apel Malang lebih banyak dikonsumsi kelas menengah-bawah. Sementara apel impor menyerap semua konsumen, mulai dari kelas bawah hingga atas. Dengan banyaknya apel impor, maka secara tidak langsung mereka merangsek pasar apel lokal. Jika ini tidak segara diatasi, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi apel Malang akan punah.

Pemerintah, lanjut Beny Kusbini, semestinya mendorong bagaimana apel lokal dapat menjadi produk unggulan, termasuk dengan memberi bantuan bibit unggul dan pendampingan. Selain itu, pemerintah harus melindungi pasar dalam negeri.

Di Thailand, nasionalismenya tinggi, terhadap produk pertaniannya. Sementara masyarakat Indonesia, nasionalismenya masih rendah sehingga masyrakatnya lebih senang mengkonsumsi produk-produk pertanian impor.

Dia menilai, jika apel Malang dapat berkembang tentu akan besar multiplier effect-nya. Selain pariwisata, dia juga akan menyerap tenaga kerja. Jika apel dapat panen dua kali dalam satu tahun dapat menghasilkan 60.000 ton, hal itu diyakini dapat mendorong pertumbuhan industri lainnya, seperti packaging dan tenaga kerja.

Revitalisasi

Beny mengatakan, selama ini Indonesia terjebak pada target swasembada lima komoditas pangan pokok, seperti padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Program swasembada ini menyedot anggaran yang tidak sedikit, meskipun sampai sekarang swasembada tersebut belum tercapai.

Swasembada merupakan program prioritas pertanian, sehingga program lain sepertinya diabaikan, yang akhirnya impor produk pertanian terutama jenis buah-buahan semakin membanjiri pasar lokal. “Jangan-jangan impor dipelihara sebagai mainan partai politik dan pemerintah membuka besar-besaran karena ada fee-nya,” katanya.

Itu sebabnya, DHN menyarakan pemerintah perlu segera merevitalisasi pertanian dan segera melaksanakan amanat UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3). “Pemerintah jangan menyalahkan importir karena tidak bisa dipenuhi kebutuhan di dalam negeri. Yang harus dilakukan pemerintah adalah membentuk agar harga kompetitif,” katanya.

Izin impor bengkak

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Hortikultura Nasional (AHN) Ramdansyah mengatakan  anjloknya harga apel Malang itu terkait dangan pemberian izin impor Apel yang terlalu besar.

Tahun ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan rekomendasi impor yang mencapai 775.798 ton dan rekomendasi impor apel mencapai 200.483 ton. “Volume impor apel paling besar dibanding komoditas lainnya,” katanya.

Menurut dia, tahun lalu pihaknya telah melaporkan hal itu kepada Menteri Pertanian Suswono. Namun, dia mengatakan penentuan impor itu adalah kewenangan Menteri Perdagangan (Mendag).

Dia menyebutkan pemerintah seharusnya menjadi regulator dan tidak melepas petani begitu saja di pasar bebas. Pemerintah semestinya mampu mengatur agar petani memperoleh harga yang layak, masyarakat bisa membeli dengan harga yang terjangkau, dan pedagang mendapat kepastian hukum. Jamalzen

Kemendag ‘Membunuh’ Petani Lokal

Kasus petani apel di Malang yang melakukan demo karena merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah cq. Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang membuka impor buah. Impor buah apel mestinya tidak dilakukan pada saat petani lokal sedang panen raya. Hal ini dimaksudkan agar apel lokal tetap eksis di pasar.

“Kemendag sepertinya tidak peduli dengan petani apel Malang. Pelaksanaan impor apel mestinya disesuaikan dengan jadwal panen petani lokal. Dengan demikian, petani lokal merasa dilindungi,” kata Dirjen Hortikuktura Kementerian Pertanian (Kementan) Ibrahim Hasanudin kepada Agro Indonesia, di Jakarta, pekan lalu

Menurut dia, apel merupakan tanaman subtropis, sehingga yang paling logis bagi petani apel di Indonesia adalah diarahkan ke sektor agrowisata apel dan bukannya menjadi produsen apel.

“Kalau kita dipaksa head to head dengan apel subtropis, itu seperti memaksa Amerika Utara atau Eropa bersaing dengan Indonesia dalam produksi beras,” katanya.

Ibrahim, menilai produksi apel lokal tidak mungkin ditingkatkan sebesar potensi pasar karena karena ada produk hortikultura lainnya yang juga harus dikembangkan dan membutuhkan lahan. “Apel harganya harus bagus, maka sektor ini akan berkembang. Tapi komoditasi ini tidak menarik, petaninya akan pindah ke komoditas lainnya,” tegas Ibrahim.

Produksi apel dalam negeri saat ini 2.500 ton atau 2,5% dari total kebutuhan apel nasional yang mencapai 100.000 ton/tahun. Impor apel saat ini yang terbesar kedua dengan nilai Rp800 miliar-Rp1 triliun/tahun dengan volume 90.000 ton/tahun.

Dia menilai, untuk mempertahankan pasar apel lokal diperlukan apresiasi kepada apel tropis, terutama dalam soal harga. Misalnya, jika harga apel impor Rp20.000/kg, seharusnya harga apel lokal Rp25.000/ kg. “Ini masalah taktik dagang,” ujarnya.

Untuk mengurangi beban petani apel, Ibrahim menyarankan Pemerintah Daerah memberikan subsidi transportasi. “Kalau ada transportasi angkutan yang disubsidi, maka harga apel lokal dapat bersaing,” katanya.

Apel bukan kebutuhan pangan pokok masyarakat Indonesia. Jika masyarakat tidak mengkonsumsi apel, tidak mengakibatkan menjadi mati, karena itu pula nampaknya Kementan tidak punya keseriusan untuk mengembangkan tanaman apel. Apalagi areal yang cocok untuk tanaman apel hanya di tiga daerah, yaitu Malang, Batu dan Pasuruan.

“Kita pernah coba kembangkan apel di Lampung, tapi ternayata tidak bisa. Begitu juga di beberapa daerah lainnya. Apel itu haru dikembangan di areal sekitar 750 meter di atas permukaan laut,” katanya.

Menurut Mantan Sekjen Kementan ini, pengelolaan apel saat ini dilakukan lebih sebagai pelestarian peninggalan Belanda. “Kalau bicara buah tropis, ada rambutan, pepaya. Kalau apel bicara orang lain,” kata dia.

Dia juga menyebutkan jika petani apel di Jawa Timur ingin meningkatkan pendapatan, sebaiknya petani juga melakukan pengembangan agrowisata hortikultura. Saat ini PTPN VIII telah menyiapkan lahan 3.000-8.000 hektate (ha) untuk agrowisata.  Upaya yang perlu disiapkan untuk agrowisata tersebut adalah marketing. Misalnya, wisata petik apel dan selanjutnya bisa ditambah menjadi wisata religi, alam, atau sejarah.

Selain itu, dalam agrowisata itu bisa ditanam komoditas lain seperti mawar dan stroberi sehingga dapat meningkat daya saing.

Saat ini ada 4.200 ha kebun apel di tiga kabupaten, yaitu Pasuruan, Malang, dan Batu dengan produksi 2.500 ton/tahun. Varietas yang dikembangkan, yaitu roombeauty, anna, manalagi, dan wangli.

Menteri Pertanian Suswono mengatakan, pihaknya akan meneliti apakah demo petani apel beberapa waktu lalu akibat dampak Gunung Kelud atau ada hal lain.

Ibrahim menambahkan, petani apel belum pernah mengeluh ke Kementan. Protes tersebut dilakukan karena mereka kesakitan dalam pemasaran. “Kementan membantu mereka meskipun mereka tidak minta,” ujarnya.  Jamalzen