Oleh: Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)
Berkat anugerah Tuhan, Indonesia dikaruniai hutan yang sangat luas yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera meliputi NAD, Sumut, Jambi, Riau, Sumsel, hampir sebagian besar Pulau Kalimantan meliputi Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim dan Kaltara dan Pulau Papua meliputi Papua dan Papua Barat. Menurut tipologi ekosistemnya, Indonesia mempunyai etalase formasi hutan yang lengkap dari mulai pantai sampai hutan hujan dataran tinggi. Tipe ekosistem hutan dari bawah adalah hutan pantai dan mangrove, hutan gambut, hutan tropika basah dataran rendah dan hutan tropika basah dataran tinggi. Sementara hutan tanaman banyak dijumpai di Pulau Jawa baik yang ditanam BUMN Perum Perhutani dengan kelompok hutan jati dan kelompok hutan rimba serta hutan rakyat yang ditanam di tanah milik dengan berbagai jenis kayu yang mudah dijual dan laku di pasaran. Sementara itu, hutan tanaman pada bekas hutan alam yang telah dieksploitasi sebelumnya pada umumnya tersebar di Sumatera dan Kalimantan melalui izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) yang dulu sering disebut hutan tanaman industri (HTI). Bagaimana kondisi hutan alam dan hutan tanaman di Indonesia. Mari kita bandingkan (komparasi) diantara keduanya.
Hutan Alam
Luas hutan alam Indonesia 125,2 juta hektare, yang terdiri dari hutan konservasi 27,3 juta hektare (21,80%), hutan lindung 29,5 juta hektare (23,56%) dan hutan produksi 68,6 juta hektare atau 54,79%. Seluas 29,1 juta hektare berupa hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare hutan produksi terbatas, dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan.
Pada awal berdirinya orde baru tahun 1967, hutan alam dipandang sebagai salah satu aset besar modal pembangunan yang dapat dimanfaatkan disamping hasil dari minyak bumi. Potensi kayu jenis Dipterocarpacae (Jenis kelompok meranti) yang pada saat itu laku dipasaran dunia, tak tertandingi oleh negara manapun. Dengan hanya bermodalkan menerbitkan Undang-undang (UU) No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU No 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, pemerintah membuka keran izin pengusahaan hutan alam kepada investor asing maupun dalam negeri untuk menghimpun pundi-pundi devisa negara. Meski turunan regulasi UU 5/1967 baru terbit tahun 1970 berupa Peraturan pemerintah (PP) No 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, namun pemerintah dengan aturan pendukung seadanya telah berani memberikan izin beberapa investor asing untuk mengusahakan eksploitasi hutan alam dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan yang lebih dikenal dengan sebutan HPH. Pemerintah selanjutnya menerbitkan PP No 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan dan Surat Keputusan Dirjen Kehutanan No 35/Kpts/DD/I/1972 tentang Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Habis Permudaan Alam (THPA). Dengan semakin lengkapnya peraturan yang mendukung kegiatan pengusahaan hutan dan ditambah dengan permintaan akan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi, maka usaha pemanfaatan hutan dalam mendatangkan investasi dan menghasilkan devisa dari ekspor kayu bulat (log) terus meningkat.
Tahun 1970/1971 produksi kayu bulat mencapai 10.899 ribu m3, pada tahun 1974/1975 mencapai produksi 23.280 ribu m3 dengan investasi tahun 1976 lebih dari 1 miliar dolar AS dan pada tahun 1997/1998 produksi kayu bulat mencapai 29.520 ribu m3. Pada tahun 1990-1995, produksi tercatat menguasai pasar kayu tropis (hardwood) dunia. Produksi industri kayu lapis (plywood) Indonesia dari HPH meningkat tajam sejak tahun 1985 dan mencapai puncaknya pada tahun 1992 sebesar 10,86 juta m3 dan merupakan produksi tertinggi yang sempat membanjiri pasaran dunia produk plywood jenis kayu tropis. Alhasil, pengusahaan hutan alam berhasil menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi nasional. Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan benar sebagai penggerak roda pembangunan, dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi. Akibatnya hutan alam diekploitasi habis habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan). Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) baik asing maupun domestik terus bertambah.
Meskipun rezim orde baru runtuh, dan pemerintahan berganti dengan era reformasi ditandai dengan terbitnya UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, HPH berubah nama dan berganti baju menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), namun cara dan sepak terjangnya dalam mengeksploitasi hasil hutan kayu alam polanya tidak jauh berubah. Jumlah izin baru IUPHHK juga terus bertambah. Pada tahun 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) atau IUPHHK-HA (Hutan Alam) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare. Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dolar AS per tahun terhadap pendapatan nasional.
Seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, banyak IUPHHK yang habis kontrak, izinnya tidak diperpanjang oleh pemerintah akibat banyaknya aturan yang dilanggar bahkan tidak aktif lagi karena produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah atau bahkan tidak ekonomis untuk diusahakan. Perkembangan jumlah IUPHHK-HA pada tahun 2010 sebanyak 304 unit dengan luas areal kerja dengan luas areal kerja lebih dari 25,05 juta hektare.
Sementara itu, hutan lindung tidak steril dari pemanfaatan untuk kepentingan pembangunan. Bersama-sama dengan hutan produksi, hutan lindung dapat digunakan untuk izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Data pemanfataan kawasan hutan lindung untuk kegiatan yang menggunakan kawasan hutan lindung seperti untuk IPPKH sejak 1979-2018 seluas 563.463 hektare, hutan desa seluas 1.551.601 hektare, hutan kemasyarakatan seluas 743.406,82 hektare, dan kemitraan kehutanan seluas 424.940 hektare, masih gabung dengan pemanfaatan hutan produksi sehingga data hutan lindung yang dimanfaatkan angkanya masih belum riil karena belum dipisahkan dari hutan produksi.
Hutan konservasi yang diharapkan sebagai benteng terakhir dari kawasan hutan alampun juga mengalami gangguan akibat terbatasnya jumlah SDM yang menjaganya. Data terakhir dari Ditjen KSDAE KLHK, tidak kurang dari 30% dari kawasan hutan konservasi telah mengalami deforestasi dan degradasi akibat perambahan hutan, illegal logging, illegal mining, kebakaran hutan dan sejenisnya.
Hutan Tanaman
Sementara IUPHHK-HT (Hutan Tanaman) sebanyak 284 unit dengan jumlah areal kerja 12,35 juta ha. Kinerja produksi dari IUPHHK-HA selama kurun waktu 2007-2012 terus mengalami penurunan. Sebagai contoh, kinerja produksi IUPHHK-HA pada 2 tahun berturut turut, kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri (BBI) nasional menurun dari 19,8% pada tahun 2007, menjadi 14,6% pada tahun 2008. Sebaliknya kinerja produksi IUPHHK-HT dalam memenuhi bahan baku industri (BBI) nasional pada 2 tahun yang sama meningkat dari 63,5% pada tahun 2007, menjadi 68,8% pada tahun 2008. Pada akhir tahun 2019, terjadi penyusutan jumlah, IUPHHK-HA menjadi sebanyak 255 unit dengan luas 18,7 juta ha dan IUPHHK-HT meningkat jumlahnya menjadi 293 unit dengan luas yang justru menyusut menjadi 11,3 juta ha. Bahkan pada tahun 2020, banyak pemegang IUPPHK-HA dan IUPHHK-HT industri pertukangan saat ini yang tidak operasional, bahkan mati dan tidak diperpanjang izinnya.
Di Jawa Perum Perhutani saat ini mengelola lahan seluas 2,4 juta ha diseluruh Indonesia yang mayoritasnya berada di pulau Jawa, untuk digarap hasil hutannya mulai dari kayu hingga getah (terpentin) yang dijadikan sebagai barang komoditas. Namun sayangnya dari luas lahan sebesar itu, perusahaan hanya bisa menggarap 900 ribu ha saja atau sekitar 37,5.% Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR, tanggal 28 September 2020, Direktur Utama Perum Perhutani mengatakan bahwa setiap tahunnya perusahaan melakukan evaluasi potensi untuk memetakan lahan 2,4 juta ha tersebut. Hasil pemetaan dibagi dalam 4 zonasi utama dimana kawsan yang benar-benar bisa dieksploitasi secara rutin hanya seluas 672 ribu saja. Selebihnya lahan itu telah dibagikan kepada kelompok-kelompok masyarakat. Zona-zona tersebut antara lain adalah zona ekologi yang merupakan kawasan perlindungan yakni ada hutan lindung seluas 932 ribu ha. Zona produksi yang saat ini dieksploitasi seluas 672 ribu ha. Selanjutnya zona konflik tenurial 101 ribu ha, zona ini merupakan lahan milik perusahaan yang diambil oleh pihak lain, bahkan terdapat bangunan diatasnya yang bukan milik Perhutani. Terakhir adalah zona adaptif seluas 728 ha. Total keseluruhan yang dapat dieksplotasi kira kira hanya sekitar 900 ribu ha.
Hutan rakyat yang produksi hasil kayunya juga diharapkan sebagai pengganti (substitusi) kekurangan hasil kayu dari hutan alam, potensi hutan rakyat di Indonesia mencapai 34,8 juta dengan komposisi dan luas di Jawa sebesar 2,7 juta ha dengan potensi 78,7 juta m3, sedangkan di luar Jawa luasnya 32,1 juta ha dengan potensi 912 juta m3. Hutan rakyat memasok 46,9% dari kebutuhan kayu log nasional. Jenis jenis kayu yang ditanam khususnya di Jawa adalah sengon, mahoni, jati, jabon, sonokeling dan sebagainya.