Payung hukum di tingkat peraturan menteri (permen) dan peraturan dirjen (perdirjen) akan diintegrasikan untuk mempercepat implementasi perhutanan sosial.
“Setelah masuknya pengaturan tentang Perhutanan Sosial dalam Undang-Undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, aturan-aturan di bawahnya harus segera dirapikan untuk mempercepat implementasi Perhutanan Sosial untuk rakyat,” ujar Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto di Jakarta, Jumat (19/3/2021).
Nantinya akan ada satu Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Permen itu mengintegrasikan beberapa peraturan menteri dan dirjen yang sebelumnya telah terbit.
Terkait penyiapan Permen LHK tentang Perhutanan Sosial itu, Direktorat Jenderal PSKL KLHK menggelar konsultasi publik secara hybrid (daring dan luring) dari Jakarta, Jumat (19/3/2021). Acara ini dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kementerian LHK Bambang Hendroyono.
Rancangan Permen yang disiapkan terdiri dari 12 Bab dan 218 Pasal, dimana ruang lingkupnya terdiri antara lain Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, Hak Kewajiban dan Larangan, Perhutanan Sosial di Lahan Gambut, Monitoring dan Evaluasi, Sanksi Administratif, serta Pembiayaan.
Lima Skema
Bambang Supriyanto menjelaskan prinsip penyusunan Permen ini salah satunya adalah mengakomodir dinamika dan fakta di lapangan yang selanjutnya pengaturannya akan dilakukan secara Holistik, Integrated, Tematik dan Spasial (HITS) mulai dari pra sampai pasca persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Beberapa hal yang dibahas khusus dalam konsultasi publik ini adalah terkait Perhutanan Sosial di Pulau Jawa yang menjadi pengaturan tersendiri pada Permen ini. Perhutanan sosial di Pulau Jawa akan diatur dengan lima skema yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan, atau Hutan Adat.
Pada ketentuan lama perhutanan sosial di Jawa hanya dilakukan dengan dua skema yaitu Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dan Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (KULIN KK).
Transisi dan transformasi usulan IPHPS dan KULIN KK ke sistem persetujuan pengelolaan perhutanan sosial juga diatur agar tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Proses pengajuan perhutanan sosial di Jawa ini, usulan masyarakat akan difasilitasi secara aktif oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang membawahi di suatu wilayah Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) perhutanan sosial di Jawa secara jemput bola. Hal ini agar mempercepat proses sekaligus memudahkan masyarakat yang berminat mengikuti program perhutanan sosial.
Pada pengaturan sebelumnya pengelolaan perhutanan sosial di Pulau Jawa dilakukan oleh Balai PSKL Jawa Bali dan Nusa Tenggara (Jabalnusra) dan Perum Perhutani, maka dengan Rancangan Permen baru ini Pengelolaan Perhutanan Sosial akan dilakukan oleh UPT pada areal KHDPK.
Areal KHDPK dikelola khusus oleh UPT yang ditetapkan oleh Menteri LHK sebagai unit manajemen kewilayahan, kegiatan operasional UPT dapat dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Sementara tugas dan fungsi UPT adalah menilai dan mengesahkan Rencana Pengelolaan Perhutanan Sosial Jangka Panjang dan Jangka Pendek pemegang persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial.
Selain itu mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi areal KHDPK untuk penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Dalam rancangan ini juga disertakan aturan tentang pengenaan sanksi adminitratif yang belum pernah diatur dalam peraturan sebelumnya. Sanksi administratif diatur bertingkat mulai dari teguran tertulis, denda administrasi, pembekuan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial hingga pencabutan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial.
“Dengan rancangan permen baru ini maka terminologi perizinan dalam pengelolaan perhutanan sosial digantikan dengan persetujuan, jadi sudah tidak ada lagi izin yang ada persetujuan,” kata Bambang Supriyanto.
Sugiharto