Omnibus Law dan Wajah Baru Birokrasi KLHK

Pelantikan Pejabat KLHK
Bambang Winarto

Oleh: Bambang Winarto (Konsultan paruh waktu Yayasan Sarana Wana Jaya, Pensiunan Kehutanan, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gorontalo, Penyusun Kamus Rimbawan dan Kamus Konservasi.)

MMenyimak kembali pidato Jokowi usai dilantik jadi Presiden RI 2019-2024, ada 5 point besar yang akan dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, yaitu:  pembangunan SDM, pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, Penyederhanaan Birokrasi  dan  transformasi ekonomi.

Berdasarkan pengalaman selama 5 tahun memimpin Indonesia, Jokowi merasa bahwa rantai birokrasi terlalu panjang. Itulah sebabnya apapun kebijakan yang disampaikan untuk ditindaklanjuti para menteri tidak secepat yang diharapkan. Birokrasi yang panjang harus dipangkas. Jika rantai struktural sekarang ini sampai pada 4 level : eselon I, eselon II, eselon III dan  eselon IV, maka Jokowi minta untuk disederhanakan menjadi 2 level saja. Para pejabat eselon III dan IV  dialihkan menjadi jabatan fungsional, suatu jabatan  yang menghargai keahlian dan kompetensi.

KEBIJAKAN GILA

Jika kita ingat beberapa saat setelah Jokowi-Maruf Amin secara resmi diumumkan oleh KPU sebagai pemenang Pilpres 2019, Jokowi mulai memberikan pesan optimisme kepada masyarakat dan akan membuat “kebijakan gila”, kebijakan tidak populer tetapi bertujuan untuk membuat Indonesia maju.

Penyederhanaan Birokrasi mungkin lebih tepat “Revolusi Birokrasi” dengan hanya ada pejabat struktural eselon I dan eselon II merupakan “kebijakan gila”, suatu kebijakan yang sama sekali tidak populer di mata ASN, terutama para pejabat struktural.

Jokowi sadar betul bahwa kelima program andalannya  saling berhubungan dan hanya akan terwujud secara cepat dan efisien apabila ditopang dengan birokrasi yang handal:  birokrasi profesional yang mampu secara cepat dan tepat menterjemahkan kebijakan presiden.

Jokowi paham betul bagaimana mekanisme kerja para birokrat di pemerintahan. Instruksi kepada Menteri ditindaklajuti dengan disposisi kepada Dirjen (eselon I), oleh Dirjen ditindaklanjuti disposisi kepada Direktur (eselon II), oleh Direktur ditindaklanjuti disposisi kepada Kepala Sub Direktorat (eselon III), oleh Kepala Sub Direktorat ditindaklanjuti disposisi kepada  Kepala Seksi (eselon IV) dan bahkan kadang kadang dari Kepala Seksi masih di disposisi kepada staf. Suatu alur yang panjang, sehingga dapat dimengerti mengapa hampir semua kebijakan pada berbagai level mengalami kelambanan. Padahal Jokowi dalam setiap kesempatan selalu mengatakan: kerja, kerja dan kerja serta cepat, cepat dan cepat.

Adanya “Revolusi Birokrasi” selain mempercepat proses pengambilan kebijakan juga akan menghemat anggaran negara terutama dalam memberikan berbagai fasilitas kepada para pejabat struktural eselon III dan IV (mobil, biaya operasional, rumah dsb). Namun, tidak kalah pentingnya adalah akan lebih berfungsinya tugas dari para pejabat fungsional. Bukan rahasia lagi bahwa pejabat fungsional merupakan pejabat “kelas dua”. Banyak pekerjaan yang seharusnya menjadi porsi nya pejabat fungsional diambil alih sama pejabat struktural. Mungkin hanya pejabat fungsional widyaiswara dan peneliti saja yang telah dapat berfungsi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

SHORT CUT

Menurut data dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) per 11 Juni 2019 jumlah  PNS Indonesia 4.285.576, dengan jumlah Jabatan Struktural mencapai 10,76 %.  Secara lebih rinci jumlah jabatan struktural adalah : eselon I : 615, eselon II: 19.537, eselon III: 98.947,  eselon IV: 327.771 dan  eselon V: 14.430. Total jabatan struktural eseleon III, IV dan V adalah 441.148 yang akan hilang dengan “Revolusi Birokrasi”. Itu baru jabatan instansi pusat beserta Unit Pelaksana Teknis-nya, belum termasuk instansi daerah (Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota). Sementara itu, menurut Biro Kepegawaian Kementerian LHK jumlah pegawai pusat dan daerah sebanyak 16.341 orang. (Data per 19 Novmber 2019). Jika 10% merupakan pejabat struktural, maka pejabat struktural eselon I sampai IV berjumlah sekitar 1.600 orang. Suatu jumlah pejabat yang cukup besar.

KemenPAN-RB sedang menggodok konsep dan tahapan pemangkasan eselon III, IV, dan V di kementerian/ lembaga. Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mematok paling lama enam bulan konsep tersebut rampung. Sebagai langkah awal KemanPAN-RB akan membuat “Short Cut” organisasi Kementerian, dengan  Kementerian PAN-RB sebagai “role model” nya. Sebagai bentuk keseriusannya  pada November 2019, KemenPAN-RB akan memindahkan eselon III dan IV menjadi analis kebijakan.

Referensi utama dalam  “Revolusi Birokrasi” Kementerian Negara adalah Peraturan Presiden Nomor Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara. Ini mengindikasikan bahwa struktur organisasi Kementerian dianggap tetap untuk eselon I dan eselon II. Hanya eselon III dan IV yang akan dihilangkan. Mudah bukan? KemenPAN-RB sudah mempunyai konsep kriteria pengalihan unit organisasi eselon III ke bawah yang mempunyai potensi dapat dialihkan dan  unit organisasi eselon III kebawah yang mempunyai potensi tidak dapat dialihkan.

Unit organisasi eselon III ke bawah yang mempunyai potensi dapat dialihkan  yaitu : 1)Tugas dan fungsi melaksanakan analisis dan penyiapan bahan kebijakan; 2)Tugas dan fungsi melaksanakan koordinasi, pemantauan, dan pelaporan; 3) Melaksanakan tugas teknis tertentu dalam mendukung penyelenggaraan urusan pemerintahan pada Kementerian; 4) Melaksanakan tugas dan fungsi teknis yang bersesuaian dengan tugas dan fungsi jabatan fungsional. Dari kriteria ini dapat dipastikan bahwa unit eselon III dan IV yang berada di kementerian dipastikan akan hilang. Sebagai dampaknya  Pejabat eselon I dan II akan bekerja jauh lebih berat.

Di Kementrian LHK, paling tidak tersedia 16 jabatan fungsional : 1) Analis Kepegawaian; 2) Arsiparis; 3) Auditor;  4) Peneliti; 5) Pengendali Dampak Lingkungan; 6) Pengendali Ekosistem Hutan;7) Penyuluh Kehutanan; 8) Perancang Peraturan Perundang-Undangan; 9) Perencana; 10) Polisi Kehutanan; 11) Pranata Hubungan Masyarakat; 12) Pranata Komputer; 13) Pustakawan; 14) Statistisi; 15) Surveyor Pemetaan; 16) Widyaiswara. Para pejabat eselon III dan IV dapat memilih salah satu dari 16 jabatan fungsional tersebut atau Menteri langsung menetapkan jabatan fungsionalnya yang dianggap dapat meningkatkan kinerja kementerian. Pada umumnya para pejabat eselon III dan IV akan memilih jabatan fungsional Widyaiswara, karena merasa mempunyai pengalaman dalam bidangnya yang memungkinkan untuk mengajar di Pusat Diklat LHK. Beberapa jabatan fungsional kurang dikenal di Kementrian LHK  diantaranya :  Arsiparis, Pranata Hubungan Masyarakat, Pranata Komputer,  Pustakawan,  Statistisi,  Surveyor Pemetaan, Perancang Peraturan Perundang-Undangan.

Sementara unit organisasi eselon III kebawah yang mempunyai potensi tidak dapat dialihkan: 1) Tugas dan fungsinya sebagai kepala Satuan Kerja yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran atau pengguna barang/jasa; 2) Tugas dan fungsinya berkaitan dengan: a. kewenangan otorisasi, legalisasi, pengesahan, atau persetujuan dokumen;  b. kewenangan kewilayahan. Unit organisasi ini yang perlu pemikiran yang mendalam dan komprehensif, apakah eselonnya ditingkatkan, misalnya Taman Nasional ditingkatkan menjadi Balai Besar Taman Nasional sehingga tetap sebagai eselon II. Apalagi pembahasan eselonisasi di Pemerintah Daerah apakah Provinsi atau Kabiupaten/Kota akan jauh lebih rumit, tidak segampang pengalihan ke jabatan fungsional di kementerian.

GUGATAN KE PTUN

Bukan rahasia lagi bahwa keberhasilan prestasi PNS di ukur dari jabatan struktural yang diembannya. Menjadi pejabat struktural tidaklah mudah. Penuh persaingan. Bahkan untuk menduduki jabatan ada panitia khusus yang menilai layak tidaknya seseorang menjabat sebagai pejabat struktural. Setelah menjabat eselon III atau IV tiba tiba eselonnya di hilangkan dan yang bersangkutan dialihkan menjadi pejabat fungsional. Padahal secara regulasi jabatan eselon III dan IV itu tercantum paling tidak di 2 Undang-undang (UU). Lihat  UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang  Aparatur Sipil Negara, Pasal 131, terhadap jabatan PNS dilakukan penyetaraan:

  1. jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah nonkementerian setara dengan jabatan pimpinan tinggi utama;
  2. jabatan eselon Ia dan eselon Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya;
  3. jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama;
  4. jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;
  5. jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan
  6. jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelaksana,

Lihat juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural yang merupakan turunan dari UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dalam PP secara jelas dan diatur jabatan struktural eselon III dan IV.

Dengan pengalihan dari pejabat struktural eselon III atau eselon IV menjadi pejabat fungsional dapat dikatakan bahwa negara telah berbuat sewenang wenang. Apalagi dasar hukum yang digunakan hanya berupa Peraturan Presiden. Sementara keberadaan eselon III dan IV tercantum dalam UU dan PP. Untuk itu, bagi pejabat eselon III dan IV yang merasa tidak terima pengalihan menjadi pejabat fungsional dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) baik  secara sendiri sendiri atau secara berkelompok. PTUN lah yang akan menilai sah tidaknya pengalihan pejabat struktural ke pejabat fungsional.

OMNIBUS LAW

Untuk menghindari negara berbuat semena mena terhadap pejabat eselon III dan IV, maka pemerintah harus mempercepat “Revolusi Birokrasi” melalui UU.  Jokowi sudah punya resep yang bernama Omnibus law, yaitu akan menerbitkan satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU yang berhubungan dengan birokrasi, misalnya: UU Nomor 43 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2014. Dengan menggunakan konsep Omnibus law maka kedua UU tersebut beserta turunannya secara otomatis akan “mati”. Menyempurnakan beberapa UU menjadi satu UU tidak mudah, perlu waktu dengan melibatkan banyak ahli. Konseptor harus mempelajari berbagai UU yang saling berhubungan untuk dirumuskan dalam bentuk satu UU. Jika UU ini dapat terwujud dalam satu tahun saja sudah merupakan prestasi bagi pemerintah. Pengaturan pejabat struktural dan pejabat fungsional tentu tidak bertentangan dengan UU.

PENUTUP

“Revolusi Birokrasi” hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan sistem Omnibus law.  Jika sistem ini dipergunakan, maka patut dicatat dalam sejarah, karena untuk pertama kalinya Omnibus law dilakukan di Indonesia. Sambil menunggu Omnibus law, wajah birokrasi dalam 6 bulan ke depan organisasinya akan langsing. Eselon III dan IV hilang dari peredaran. Sementara para eselon I dan II tugasnya semakin berat. Disposisi semakin jarang.  Mereka harus mempunyai kemampuan dalam:  bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, bidang teknologi informasi, statistik kehutanan, net working dan menyampaikan berbagai kebijakan kepada masyarakat secara cepat. Sementara pejabat fungsional akan bertambah. Widyaiswara nampaknya menjadi pilihan sebagian besar pejabat eselon III dan IV.  Semoga dalam waktu 6 bulan ke depan tidak terjadi gejolak di Kementerian LHK.