Berbicara tentang lingkungan, siapa tak kenal sosok satu ini? Namanya sudah malang melintang di kancah nasional. Sekali langkahnya keluar dari rumah, yang ada dibenaknya mungkin adalah inovasi menciptakan bagaimana lingkungan bisa lestari. Siapa lagi kalau bukan Satrijo Wiweko atau yang akrab disapa dengan ‘Mas Kokok’.
Saat peringatan Hari Pendidikan Nasional 2019 lalu, Kokok bersama sang istri tercinta, Siti Annurijati Hatidja, meraih gelar Doktor secara bersamaan. Tentu saja prestasi akademik tertinggi, yang diraih pasangan suami istri dalam waktu bersamaan, adalah sesuatu yang luar biasa, atau bahkan sangat jarang terjadi.
Pada suatu kesempatan usai menjalani ujian terbuka di Universitas Brawijaya Malang, Kokok menceritakan, penelitian sang istri – yang merupakan karyawati di sebuah BUMN yang bergerak di bidang farmasi–, sempat membuat decak kagum para pengujinya. Kokok, yang juga meraih gelar Doktor, tampak sangat kagum dengan presatasi yang telah diraih sang istri. Kepada Agro Indonesia ia menuturkan beberapa hal, berikut cuplikannya:
Kami mendapat info penelitian istri anda merupakan “sesuatu” bisa anda ceritakan sedikit?
Menurut para penguji, hasil penelitian istri saya, masih bisa dikembangkan lagi menjadi penelitian lain. Penelitian istri saya, tidak jauh jauh dari hal yang berbau pelestarian lingkungan, yang telah berpuluh tahun saya geluti, yakni Kajian Pemanfaatan Limbah Industri Migas Sebagai Alternatif Sumber bahan Produksi Iodium. Istri saya cukup jeli melihat apa yang bisa dimanfaatkan dari limbah industri. Hingga diangkatnya sebagai kajian untuk meraih gelar Doktor.
Lalu, bisa anda ceritakan bagaimana penelitian anda sendiri?
Begini, saya dan istri meraih gelar Doktor di hari dan tanggal yang sama. Seperti telah anda ketahui saya memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap lingkungan. Tentu sudah bisa ditebak tema penelitian saya pasti tidak jauh dengan dunia yang sering saya geluti. Jangan kaget, saya menempuh kuliah S3 hingga meraih gelar Doktor ini juga tak lepas dari pemanfaatan sampah. Ini yang seringkali luput dari perhatian masyarakat luas.
Wah, bisa dikisahkan sedikit detail peneltian tersebut?
Penelitian untuk meraih gelar Doktor saya, mengambil tema tentang partipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Biaya yang dihabiskan untuk mengelola sampah di perkotaan seperti Surabaya, bisa menghabiskan anggaran sebesar Rp90 Miliar. Karena itulah, saya melakukan inovasi, bagaimana meningkatkan peran serta masyarakat untuk peduli terhadap pengelolaan sampah. Judul Disertasi Doktor saya, Model Partisipasi Masyarakat Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dalam Mewujudkan Surabaya Green and Clean.
Mengapa harus Surabaya?
Ya, karena Surabaya merupakan kota Metropolitan, yang sarat dengan kaum urban, jika sampah tidak dikelola secara serius, maka sampah bisa menjadi bom waktu. Satu hari saja, sampah rumah tangga yang dihasilkan Surabaya bisa ribuan ton, kalau tidak ada langkah untuk melakukan inovasi di masyarakat, suatu hari pemerintah kota pasti kebingungan bagaimana cara mengolah sampah. Masyarakat harus diajak berperan aktif. Pemilihan sampah basah dan sampah kering harus dilakukan sejak dibuang dari rumahan.
Infonya, saat menempuh sidang Doktor, ibu anda yang sudah sangat ‘sepuh’ ikut menunggui?
Ya benar. Ini yang membuat perasaan saya dan istri sangat mengharu biru. Bukan hanya ibu kandung saya yang hadir menunggui sidang terbuka Doktor, tetapi juga ibu mertua saya. Dua perempuan sepuh itu, ibu saya, Hj Siti Soemuati Tri harono yang sudah berusia 91 tahun dan ibu mertua Hj Siti Maryam M Hasa yang sudah berusia 82 tahun, ikut hadir menunggu kami ujian terbuka. Sejak kecil orang tua saya dahulu sudah menanamkan sikap pada anak-anaknya, termasuk saya untuk cinta lingkungan. Dulu kami sering dibelikan ayam, kemudian diberikan tanggung jawab untuk memeliharanya, atau kami diberi tanggung jawab satu tanaman di rumah, agar dirawat sebaik mungkin.
Meski dilahirkan dan besar di Surabaya, kenapa anda memilih bertempat tinggal di Kota kecil Mojokerto?
Saya ingin bertekad mengamalkan ilmu tentang lingkungan dan pengelolaan sampah dari kota kecil Mojokerto. Lagipula jaraknya dengan Kota Surabaya kan tidak terlalu jauh, hanya 50 km, akan semakin dekat setelah adanya tol Sumo (Surabaya- Mojokerto). Rumah sayapun tepat di tengah kota yang dekat dengan akses jalan tol menuju Surabaya. Di rumah saya yang tidak memiliki banyak lahan luas, saya menanam berbagai jenis pohon peneduh. Saya juga menjadi motivator bagi warga di lingkungan saya untuk mengelola sampah rumah tangga. Saya juga mendirikan bank sampah. Yakni sampah plastik bisa dijual ke bank saya. Lumayan buat beli jajan anak-anak atau kebutuhan rumah tangga yang kecil kecil.
Kabarnya anda juga mendirikan sekolah lingkungan di dekat rumah anda?
Ya, saya mendirikan sekolah lingkungan untuk anak-anak usia dini yang terletak di Jalan Apel, Magersari Indah, Kota Mojokerto. Di sekolah ini, siswa-siswinya boleh membayar dengan sampah untuk biaya pendidikan. Namanya sekolah Alam. Di sekolah alam ini, anak-anak sejak usia dini diajarkan cara memilah sampah plastik, sampah basah, sampah kering dan sampah lainnya. Ketika sejak dini mereka dikenalkan pada pelestarian alam, saat tiga puluh tahun ke depan, mereka akan tetap mengingat pelajaran yang diperolehnya saat kanak-kanak. Dan ini akan membentuk karakter mereka saat menjadi pejabat, pembuat keputusan yang berwawasan lingkungan.
Anda sangat tersohor di kalangan ibu-ibu, tampaknya usaha anda untuk mengelola sampah rumah tangga sangat disukai kaum ibu?
Saya melakukan pendekatan yang humanis membuat langkah edukasi tentang lingkungan sehingga mudah diterima oleh banyak kalangan. Mulai dari pemulung, ibu-ibu penggerak PKK, sampai kalangan birokrasi hingga akademisi. Aktivitas menjadi pembina pengolahan sampah tidak hanya dilakukan di Surabaya, tetapi juga dilakukan di daerah lain di Indonesia. Kadang saya mengeluarkan biaya sendiri untuk melakukan perjalanan ke daerah lain untuk memberikan edukasi soal pelestarian lingkungan.
Apa keinginan “besar” anda terhadap pengelolaan sampah ini?
Gelar tertinggi dalam bidang akademik yang saya raih beserta istri ini akan membukakan mata banyak orang. Ternyata banyak hal yang bisa digali dari sisi penngelolaan sampah dan limbah industri. Tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, cita-cita melestarikan lingkungan yang bebas dari sampah an organik akan lama tercapainya. Saat banyak orang lebih memilih menjadi pengusaha atau mencari proyek pembangunan fisik yang nilainya miliaran rupiah, saya lebih memilih berkomitmen pada lingkungan untuk tetap menjadi garda terdepan pelestarian. Ini bukan bidang untuk menumpuk materi duniawi, tetapi lebih pada keberkahan Yang Kuasa pada alam dan lingkungan untuk orang banyak. Kita manusia seharusnya hidup di dunia bukan untuk mencemari, tapi merawat dan menjaga lingkungan seperti yang sudah dianugerahkan Tuhan pada kita. Semua itu butuh uluran tangan kita.
Elsa Fifajanti